Powered By Blogger

Sabtu, 21 Mei 2016

sejarah perkembangan hukum islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Periodisasi sejarah hukum  islam
            Pada dasarnya, sejarah merupakan penafsiran terhadap peristiwa dimasa lampau yang dipelajari secara kronologis. Ulama berbeda-beda pendapat dalam menentukan periodisasi sejarah hukum islam diantara mu’arikh hukum islam yang menentukan periodisasi sejarah hukum islam adalah Muhammad A’ali Al-Sayyis, Muhammad Khudlari Byek, ‘Abd Wahhab Khallaf, Musthafa Sa’id Al-Khinn,’Umar Sulaiman Al-Asyqar, Dan T.M Hasbi As-Shiddiqi.
            Muhammad A’ali Al-Sayyis berpendapat bahwa periodisasi hukum islam adalah sebagai berikut:
1.      Hukum islam zaman rasul
2.      Hukum islam zaman khulafa.
3.      Hukum islam zaman pasca-khulafa hingga awal abad II H.
4.      Hukum islam zaman awal abad II H. hingga pertengahan abad IV H.
5.      Hukum islam zaman pertengaha abad IV H. hingga Baghdad hancur.
6.      Hukum islam zaman sejak kehancuran Baghdad hingga kini.
Menurut Muhammad Khudlari Byek , periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut:
1.      Hukum islam zaman rasul
2.      Hukum islam zaman sahabat besar
3.      Hukum islam zaman sahabat kecil.
4.      Hukum islam zaman fikih menjadi ilmu yang mandiri.
5.      Hukum islam zaman perdebatan untuk membela imam masing-masing.
6.      Hukum islam zaman taklid.

Pembagian yang lebih sederhana dikemukakan oleh abd al wahab khallaf. Ia menetapkan bahwa periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut:
1.      Hukum islam zaman rasul
2.      Hukum islam zaman sahabat
3.      Hukum islam zaman pendiri mazhab
4.      Hukum islam zaman statis (jumud)

Mustafa sa’id al-khinn berpendapat bahea periodisasi hukum islam adalah berikut ini:
1.      Hukum islam zaman rasul
2.      Hukum islam zaman sahabat
3.      Hukum islam zaman tabi’in
4.      Hukum islam zaman taklid
5.      Hukum islam zaman sekarang[1]

‘umar sulaiman al-asqar berpendapat bahwa periodisasi hukum islam adalah sebagai berikut:
1.      Hukum islam zaman rasul
2.      Hukum islam zaman sahabat
3.      Hukum islam zaman tabi’in
4.      Hukum islam zaman pendiri mazhab
5.      Hukum islam zaman statis
6.      Hukum islam zaman sekarang
Ulama Indonesia pun ada turut menjelaskan periodisasi sejarah hukum islam, diantaranya T.M hasbi al-shiddiqi memaparkan periodisasi sejarah hukum islam sebagai berikut:
1.      Hukum islam zaman pertumbuhan
2.      Hukum  islam zaman sahabat dan tabi’in
3.      Hukum islam zaman kesempurnaan
4.      Hukum islam zaman kemunduran
5.      Hukum islam zaman kebangkitan

Hukum islam dalam artian fikih,fatwa,atau ketetapan adalah produk pemikiran ulama secara individual. Oleh karena itu, mempelajari fikih atau fatwa berarti mempelajari pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang dimilikinya.
            Mempelajari pokok pemikiran ulama dan langkah ijtihadnya menjadi penting, karena merupakan upaya konstruktif dalam memahami produk pemikiran dan pola yang digunakannya. Dalam salah satu kaidah dikatakan bahwa salah satu tugas kita adalah memelihara produk pemikiran ulama dan langkah-langkah ijtihadnya serta mengembangkannya sehingga lebih maslahat (al-muhafazhat ‘aala al-qadim al-shlih wa al-ahdz bi al-jadid al-ashlah). Dengan demikian,mempelajari sejarah hukum islam berarti melakukan langkah awal ijtihadnya untuk ditransmisikan sehingga kemaslahatan manusia senantiasa terpelihara.
            Dengan demikian, di antara kegunaan mempelajari sejarah hukum islam, paling tidak, adalah dapat melahirkan sikap hidup yang toleran, dan dapat mewarisi pemikiran ulam klasik dan langkah-langkah ijtihadnya serta dapat mengembangkan gagasannya.[2]
B.     Rumusan masalah
1.      Untuk megetahui fatwa di zaman rasulullah
2.      Untuk mengetahui fatwa di zaman shahabat
3.      Untuk mengetahui fatwa di zaman/ dikalangan ulama mazhab
BAB II
PEMBAHASAN 
A.    Fatwa pada masa rasulullah
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad nabi Muhammad saw. Terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari allah. Sebagian ulama asy’ariah dan kebanyakan ulama mu’tazilah berpendapat bahwa nabi Muhammad saw tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, diantaranya abu yusuf al-hanafi dan al-syafi’I membolehkannya. [3]
Sebagian sahabat al-syafi’I, al-qadli ‘abd al jabar, dan abu hasan al-bashri berpendapat bahwa  nabi Muhammad saw melakukan ijtihad dalam berperang, bukan dalam bidang ilmu hukum.
Menurut sebagian ulama, nabi saw tidak berijtihad sebab perkataan, perbuatan, dan ketetapannya adalah al-sunnah juga berdasarkan firman allah:


Artinya: “dan tiadalah yang di ucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS.Al-najm: 3-4)

            Ibnu hazm, ibnu taimiyah, ibnu khaldun, dan kamal ibn al-hamam berpendapat bahwa nabi Muhammad saw melakukan shalat. Salah satu contoh intihadnya adalah tentang panggilan dan pemberintahuan untuk melakukan shalat. Sebagian sahabat berpendapat, sebaiknya menggunakan lonceng  (nuqus) seperti lonceng nashara; sebagian menganjurkan untuk menggunakan terompet (bauq) seperti terompet yahudi. Kemudian umar bertanya kepada nabi saw:”mengapa tuan tidak mengutus seseorang untuk mengajak shalat?” nabi Muhammad bersabda :”hai bilal, berdirilah dan ajaklah shalat.”.
‘Abd Jalil ‘Isa mengungkapkan beberapa contoh ijtihad Nabi:
  1. Cara memperlakukan anak-anak musyrikin yang ikut berperang, Nabi menjawab, “seperti bapak-bapaknya”.
  2. Qiblat ke Bait al-Maqdis (16-17 bln) sebelum ditetapkan ke arah Ka’bah
  3. Abdullah ibn Ubai (tokoh munafik) yang meminta Nabi memintakan ampun, Nabi menyanggupi dan memohon agar ia diberi petunjuk, tapi kemudian malah turun at-Tawbah (9): 80[4]
  4. Khawalah binti Tsa’labah bertanya tentang suaminya (Aus ibn Shamit) yang telah zhihar, Nabi menjawab: “kamu haram bagi suamimu yang telah zhihar”, berarti zhihar = cerai. Kemudian Allah turunkan al-Mujadilah (28): 1-4. Zhihar tidak termasuk talak, tetapi yang bersangkutan harus melakukan kafarat zhihar, yaitu memerdekakan budak atau berpuasa dua bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin, sebelum bercampur kembali dengan isterinya.[5]
Ijtihad Sahabat pada Masa Nabi
Sahabat yang melakukan ijtihad adalah mereka yang diutus menjadi qadli atau hakim, yaitu Ali ibn Abi Thalib (ke Yaman), Mu’adz ibn Jabal (Yaman), dan Khudzaifah al-Yamani yang diutus Nabi untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga yang sama-sama mengakui miliknya. Ijtihad Sahabat pada masa Nabi antara lain:
  1. Suatu hari para Sahabat berkunjung ke Bani Quraizhah. Nabi berpesan” la yushalliyanna ahadukum al-ashra illa fi bani quraizhah-jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di Bani Quraizhah”, ternyata belum sampai, waktu ashar hampir habis. Ada yang shalat di jalan, ada yang tetap dengan pesan Nabi (shalat di Bani Quraizhah). Ketika berita ikhtilaf tersebut disampaikan kepada Nabi, beliau membenarkan keduanya.
  2. Dua orang sahabat melakukan perjalanan. Waktunya shalat tidak ada air.mereka tayamum dan shalat. Setelah shalat mereka mendapatkan air. Seorang berwudhu dan mengulang shalat, sedang yang seorang lagi tidak. Mereka lalu menghadap Nabi, Nabi berkata kepada yang tidak mengulangi shalat “Ashabta as-Sunnah, Engkau mengerjakan sesuai sunnah”, sedang kepada yang mengulangi shalat, Nabi bersabda: “al-Ajr marratain, Engkau dapat pahala dua kali”.[6]
B.     fatwa pada masa sahabat (11-40 H/632-661 M)
      1. Kedudukan Fatwa Dan Hukum Islam
Perlu diketahui bahwa fatwa berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum pada masa sahabat. beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh para sahabat, diantaranya:
a. sahabat khawatir akan kehilangan Al-qur’an karena banyaknya sahabat yang hapal al-qur’an meninggal dunia dalam perang Yamamah .
b. sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah saw.
c..Sahabat khawatir umat islam akan menyimpang dari hukum islam.
  1. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syari’at islam karena hal tersebut belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-qur’an dan sunnah
Dalam menghadapi kekhawatiran –kekhawatiran diatas, Abu Bakar, atas usul umar, mengumpulkan Al-qur’an berdasarkan bahan-bahan yang ada, yaitu hapalan dan catatan. Sahabat yang paling intens keterlibatannya dalam pengumpulan Al-qur’an adalah Zaid bin Tsabit karena beliau adalah sekretaris Nabi Muhammad saw.
Disamping berkenaan dengan al-qur’an, persoalan yang dihadapi saat itu juga berkenaan dengan sunnah. Persoalaannya muncul dari dua arah, dari umat islam itu sendiri dan dari kaum munafiq. Umat islam telah melakukan kesalahan dan perubahan dalam sunnah tanpa bermaksud mengubahnya karena lupa atau keliru dalam menerima atau menyampaikannya. Sedangkan orang-orang munafiq sengaja melakukan pendustaan dan kebathilan dalam sunnah dengan maksud merusak agama islam.
Tindakan yang dilakukan para sahabat dalam periwayatan hadis adalah “kehati-hatian” dalam meriwayatkannya.Abu Musa pernah dimintai bukti (saksi) dalam meriwayatkan hadis oleh Umar bin Khattab.Selain hati-hati,sahabat juga melakukan “cegahan” penulisan hadis kepada rekan-rekannya,karena dikhawatirkan akan bercampur dengan Al-Qur’an.
Sahabat,terutama khalifah adalah pengganti Nabi dalam memimpin negara dan agama.Karena itu,mereka sering dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang dalam Al-Qur’an dan Sunnah belum ada ketentuannya.
Di bawah ini adalah salah satu wasiat Umar r.a. kepada seorang qadli (hakim) pada zamannya,yaitu Syuraih.
a. Berpeganglah kepada Al-Qur’an dalam menyelesaikan kasus.
b. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an,hendaklah engkau berpegang kepada Sunnah.
c. Apabila tidak didapatkan ketentuannya dalam Sunnah,berijtihadlah.
Dari beberapa temuan diatas,dapat diketahui bahwa pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut :
Pertama, sahabat melakukan penelaahan terhadap Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan suatu kasus.Apabila tidak didapatkan dalam Al-Qur’an dan Sunnah,mereka melakukan ijtihad.
Kedua, sahabat telah menentukan thuruq al-istinbath dalam menyelesaikan kasus yang dihadapi.[7]
3.      Sumber-sumber hukum islam pada zaman sahabat
Sumber atau dalil hukum islam yang digunakan pada zaman sahabat adalah Al-qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. Ijtihad yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan suatu kasus hukum . hasil musyawarah sahabat disebut ijmak.
Mengenai fatwa sahabat pada waktu Rasulullah masih hidup, menurut pengklasifikasian Hasan  Ahmah Mar’i dalam bukunya yang khusus membahas Al –Ijtihad fi syari’ah al – Islamiah terdapat tidak kurang dari enam pendapat yang berkembang di kalangan ulama. Keenam pendapat itu ditinjau dari sudut kemungkinannya secara aqli (teoritis). Deskripsi berikut ini akan memaparkan pendapat – pendapat yang berkembang secara ringkas, sehingga terlihat argumentasi yang bervariasi, dan sebagiannya terasa agak dipaksa – paksakan.[8]
1.      Pendapat yang didukung oleh sebagian besar ulama dari berbagai mazhab seperti al-Ghazali, imam al –Razi, Ibnu Taimiyah, al-Baidawi, dan al-Qadi ‘Abd Al-Jabbar mengatakan bahwa fatwa sahabat dimungkinkan (Al – Jawas) secara mutlak, baik dihadapan Rasulullah maupun di belakangnya.
2.      Bertolak belakang dengan pendapat pertama ialah pendapat yang didukung oleh sekelompok kecil ulama, sebagai dikemukakan oleh Hasan Ahmad Mar’i, yang mengatakan bahwa fatwa sahabat terhalang (al –man’a) sama sekali pada waktu hidup Rasulullah. Alasannya ialah bahwa para sahabat dianggap mampu untuk berhubungan langsung dengan Rasululah untuk mendapatkan keyakinan dengan ketegasan nash dari Rasulullah. Dan selama ada yang yakin (mutlak/absolut) tidak boleh berpindah kepada yang zhan (relatif).
3.      Sahabat boleh berfatwa mana kala mereka berjauhan dengan Rasulullah, dengan syarat ada penunjukan atas diri mereka sebagai qadhi atau wali (penguasa). Sahabat – sahabat yang ternyata tidak mendapat mandat untuk jabatan seperti itu tidak boleh berfatwa. Pendapat ini dikemukakan oleh al – Amidi dan dianggap sebagai salah satu pendapat yang berkembang tentang kebolehan fatwa sahabat. Hadis Mu’adz Ibn Jabal yang menceritakan penunjukan Rasulullah atau Mu’adz ke Yaman sebagai Qadhi dijadikan oleh mereka sebagai alasan.[9]
4.      Ibn Subki menukilkan pendapat suatu kaum yang memandang bahwa kebolehan fatwa bagi sahabat yang berjauhan dengan Rasulullah berlaku secara mutlak, artinya tanpa di batasi oleh adanya penunjukkan dari Rasulullah. Orang-orang yang berjauhan dengan Rasulullah dianggap sebagai orang yang tidak bisa sampai ke tingkat yakin, karena sulit untuik berjumpa dengan Rasulullah.
5.      Pendapat yang dipilih oleh Abu al-Husein al-Bashri dan Abu al-Khathib dari Hanabilah ialah kebolehan fatwa bagi sahabat baik di hadapan Rasulullah atau dibelakang Rasulullah dalam kondisi-kondisi tertentu. Mereka boleh berfatwa setelah ada permintaan atau izin dari Rasulullah atau dalam kasus yang memerlukan keputusan hukum sesegera mungkin, sementara waktu yang tersedia relatif singkat untuk berhubungan dengan Rasulullah.
6.      Pendapat yang terakhir ini juga menekankan harus ada keizinan Rasulullah. Bagi mereka yang telah mendapat izin boleh melakukan fatwa dimana dan kapan saja. Karena fatwa tanpa ada keizinan khusus dari rasullullah dapat diartikan sebagai pendapat liar yang tidak mempunyai alasan, yang pada gilirannya akan melahirkan berbagai fatwa atas nama Nabi. Tindakan yang terakhir ini jelas tidak dapat di tolerir sama sekali.[10]
Dari ke enam pendapat yang berkembang dikalangan ulama itu nampaknya dapat disederhanakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memandang bahwa fatwa sahabat-sahabat tidak mungkin ada pada waktu hidup Rasulullah dan pendapat semacam ini didukung oleh sekelompok kecil ulama. Sedang kelompok kedua memandang adanya peluang bagi sahabat-sahabat untuk berfatwa pada masa Rasulullah, kendatipun dengan berbagai persyaratan dan pembatasan yang mereka buat, seperti tampak pada lima dari enam pendapat yang telah disebutkan diatas.
Contoh Fatwa Sahabat Yang Dilakukan Di Hadapan Rasulullah, Antar Lain :
a.      Diriwayatkan bahwa rasulullah pada suatu hari berkata kepada ‘Amr Ibn al-‘Ash, katanya: berilah hukum terhadap kasus ini. Mendengar perintah rasulullah itu ‘Amr Ibn al-‘Ash kembali bertanya: apakah aku akan berfatwa padahal engkau ada hadir (disini)? Lalu rasulullah menjawab : Ya, jika engkau betul, maka engakau mendapat dua pahala dan jika engkau salah, engkau mendapat satu pahala.[11]
b.      Selain dari peristiwa di atas, Sayyid Musa juga menunjuk berbagai macam pendapat dan fatwa Umar Ibn al-Khattab, yang menurut perhitungannya mencapai lima belas peristiwa, yang diantaranya mendapat konfirmasi al-Qur’an seperti yang telah di kemukakan pada pembicaraan terdahulu. Oleh karena itulah, menurut Sayyid Musa, Rasulullah mengatakan: bahwa sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lidah dan hati Umar. [12]

Contoh Fatwa Sahabat Yang Dilakukan Di Belakang Rasulullah, Antar Lain:
a.      Di waktu Ali bertugas di yaman, datang kepadanya tiga orang yang bersengketa tentang seorang anak. Masing-masing mengakui bahwa anak itu adalah anaknya. Untuk menyelesaikan persengketaan itu, Ali mempergunakan undian. Ali menyerahkan anak itu kepada yang menang dalam undian serta membebankan 2/3 diyat harus diberikannya kepada dua orang yang lain, yang ternyata kalah dalam undian. Mendengar keputusan itu, rasulullah tersenyum dan gembira atas tindakan yang diambil oleh Ali.[13]
b.      Dua orang sahabat sedang dalam perjalanan. Ketika waktu sholat datang, keduanya tidak menjumpai air untuk berwudhu. Namun demikian, keduanya tetap mengerjakan sholat tidak selama setelah itu, kedua sahabat itu menemukan air. Karena masih dalam waktu, maka seorang mengulang sholatnya kembali, sementara yang alin tidak mengulangnya.setelah peristiwa itu diketahui oleh Rasulullah, kedua perbutan itu dibenarkan oleh beliau, sambil berkata kepada yang tidak mengulang: engkau telah berbuat sesuai dengan sunnah dan sholat mu sudah cukup. kepada yang mengulang, Rasulullah berkata : untuk mu dua pahala.[14]
C.    Fatwa Pada Masa Tabi’in / ulama mazhab (Bani Umayyah, 661-750M).
Periode ini berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah “Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1) Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai sekarang.[15]
Masa tabi’in adalah suatu masa setelah masa sahabat dan merupakan kelanjutan dari masa sahabat tersebut. Mereka sebenarnya telah lahir pada masa sahabat Rasulullah SAW. Para tabi’in telah mewarisi riwayat, hukum, fatwa, ijtihad, dan metode istinbat dari para sahabat. Mereka telah memahami illat-illat maqashidiyah dan maslahiyah mereka dan sebagainya. Hal itu dapat membantu mereka untuk mengikuti jejak para sahabat dan memudahkan mereka untuk menjelaskan beraneka ragam hukum yang berbeda-beda.
Para tabi’in telah mendapatkan kekayaan riwayat dan ijtihad dari para sahabat, sehingga mereka mempunyai dua tugas penting, yaitu[16]:
1.      Menggabungkan dua kekayaan itu. Para tabi’in harus mengumpulkan riwayat-riwayat dari hadits-hadits Rasul SAW, lalu mengumpulkan perkataan-perkataan para sahabat dan ijtihad-ijtihad mereka. Ini tergolong mudah karena setiap tabi’in itu merupakan murid dari para sahabat atau kebanyakan orang itu biasanya mentransfer ilmunya kepada generasi setelahnya. Di antara para sahabat itu ada yang mempunyai beberapa murid, seperti Abdullah bin Umar yang juga telah mengeluarkan beberapa murid, diantaranya Sa’id bin Musayyab, Nafi’ yang merupakan keluarganya, dan Salim anaknya sendiri, dan seterusnya. Setiap sahabat itu ada orang yang khusus mempelajari ilmu mereka dan kebanyakan murid-murid mereka itu adalah dari anak keturunnya mereka sendiri, bukan dari orang-orang Arab. Para tabi’in itulah yang menjadi murid-murid dan menempati posisi para sahabat dalam perjumpaan dengan Rasul SAW. Mereka menjadikan perkataan-perkataan sahabat itu sebagai hujjah.
2.      Mereka harus berijtihad terhadap suatu perkara yang belum diketahui penjelasannya dari para sahabat, tidak terdapat suatu nash pun dari Al-Qur’an dan sunnah yang membahas perkara itu. Maka mereka punya hak untuk berijtihad setelah mempertimbangkan hadits-hadits dan fatwa-fatwa, serta mereka tidak boleh keluar dari manhaj sahabat yang telah menggambarkannya kepada mereka dan kepada orang-orang yang datang setelah mereka.
Menurut ahli seorang anggota Majma' Al-Buhust Al-Islamiyah Universitas Al-Azhar, ijtihad yang terjadi pada masa tabi'in adalah ijtihad mutlak yaitu ijtihad yang dilakukan tanpa ikatan seorang mujtahid terlebih dahulu dan yang secara langsung diarahkan untuk membahas, meneliti, dan memahami yang benar.
Di antara tabi’in yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyab (15H – 94H) di Madinah, Atha bin Abi Rabah (27H – 114H) di Mekah, Ibrahim An-Nakha’i (w. 76H) di Kufah, Al-Hasan Al-Basri (21H/642 M – 110H/728 M) di Basrah, Makhul di Syam (Suriah) dan Tawus di Yaman. Mereka kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat.[17]
Para tabi’in ini selanjutnya diikuti juga oleh generasi penerusnya yaitu para tabi’ tabi’in. Para tabi’ tabi’in ini mengambil dan menerima pengetahuan dari para tabi’in sebagaimana halnya yang mereka terima dari para sahabat, yaitu mengenai al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqih, dan rahasia-rahasia tasyri’ (hukum Islam) serta metodenya. Kemudian selanjutnya pada generasi tabi’ tabi’in sebagai tempat belajar dan menerima informasi oleh generasi imam-imam mujtahid yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal) dan tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang hidup sezaman dengan mereka.[18]
Ketika tokoh-tokoh tasyri’ dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir periodenya, maka kekuasaan tasyri’ diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu para tabi’in. Kemudian setelah periode tabi’in juga berakhir, maka pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka yaitu tabi’ tabi’in. Selanjutnya, sesudah masa tabi’ tabi’in ini juga berakhir, maka para imam mujtahid yang empat bersama tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan hukum Islam.
.                
                  Faktor Yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Diantara faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam antara lain adalah:
1.      Perluasan Wilayah
Sebagaimana diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman khalifah. Langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan adalah memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus. Mu’awiyah kemudian melakukan ekspansi ke barat hingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair, dan Maroko sampai ke pantai samudra Atlantik. Penaklukan ke Spanyol dilakukan pada zaman pemerintahan Walid ibn Abd al-malik (705-715 M).
Banyaknya daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat Islam, persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam. Karena ini merupakan petunjuk dari manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat mendorong perkembangan hukum Islam; karena semakin luas wilayah yang dikuasai berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk, semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan.
2.      Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada zaman ini, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran hadits dan aliran ra’yu.aliran hadits adalah golongan yang lebih banyak menggunakan riwayat dan sangat “Hati-hati” dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan aliran hadits. Munculnya dua aliran pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan iktilaf, dan pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam.[19]
4.      Telah ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai landasan untuk membangun serta mengembangkan fikih islam.
5.      Telah tersedia para ahli hukum yang mampu berijtihad untuk memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat.[20]
Sumber-sumber hukum islam (fatwa) zaman tabi’in
            Secara umum, tabi’in mengikuti langkah-langkah penetapan dan penerapan hukum yang telah dilakukan sahabat dalam istinbath al-ahkam. Langkah- langkah yang mereka lakukan adalah sebagai berikut:
a.       Mencari ketentuan dalam al-quran
b.      Apabila ketentuan itu tidak didapatkan dalam alquran, mereka mencarinya dalam as-sunnahh
c.       Apabila tidak didapatakan dalam al-quran dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat.
d.      Apabila pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum islam pada masa periode ini adalah (1) al-quran, (2) as-sunnah, (3) ijmak dan pendapat sahabat, (4) ijtihad.[21]
       Pada periode inilah muncul para mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan pendapatnya diikuti oleh umat Islam diberbagai belahan dunia. Mereka itu diantaranya adalah:
1.      Imam Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M
            Ia lahir di Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H. Sebagaimana ulama yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan untuk berdiskusi berbagai ilmu agama. Semula materi yang sering di diskusikan adalah tentang ilmu kalam yang meliputi al-Qada dan Qadar. Kemudian ia pindah ke materi-materi fiqh Al-Khatib al-Bagdadi menuturkan bahwa Abu Hanifah tadinya selalu berdiskusi tentang ilmu kalam.
            Sebagaimana ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Al-Snnah, akan tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang diterimanya. Lahannya menerima hadis yang diriwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh fuqaha di suatu negeri dan diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari sahabat dalam jumlah yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di pertentangkan.
            Abu Hanifah dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas.
2.      Malik Bin Anas: 713-795 M
            Ia lahir pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik  bin Anas tinggal di Madinah dan tidak pernah kemana-mana kecuali beribadah Haji ke Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an sebagai sumber hukum pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang mutawatir atau masyhur.
3.      Muhammad Idris Al-Syafi’i: 767-820 M
            Ia lahir di Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam Malik di Madinah. Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan nyantri di tempat sang guru hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i pernah juga berguru kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tinggal di Bagdad selama dua tahun, kemudian kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Irak pada tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.[22]
            Dalam pengembaraannya, ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-Hadis. Ia berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil sama halnya tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan tetapi menurutnya tidak baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka masing-masing. Dengan demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap salah satu mazhab, bahkan berusaha menempatkan diri sebagai penegah antara kedua metode berpikir yang ekstrim. Ia berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang tidak manshus.
Menurut Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah:
·         Al Qur’an dan Al-Sunnah
·         Bila tidak ada dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, ia berpindah ke Ijma.
4.      Ahmad Bin Hambal (Hanbal): 781-855 M 
            Ia lahir di Bagdad pada tahun 164 H. Ia tinggal di Bagdad sampai akhir hayatnya yakni tahun 231 H. Negeri-negeri yang pernah ia kunjungi untuk belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah, Syam dan Yaman. Ia pernah berguru kepada Imam Syafi’i di Bagdad dan menjadi murid Imam Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid sendiri.
            Menurut Imam Ahmad, sumber hukum pertama adalah Al-Nushush, yaitu Al Qur’an dan Al Hadist yang marfu. Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode ijtihad”. Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka Imam akan memilih pendapat yang paling dekat dengan Al Qur’an dan Al Sunnah.





BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
·         Fatwa pada masa rasulullah
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad nabi Muhammad saw. Terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari allah. Sebagian ulama asy’ariah dan kebanyakan ulama mu’tazilah berpendapat bahwa nabi Muhammad saw tidak boleh melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, diantaranya abu yusuf al-hanafi dan al-syafi’I membolehkannya
·         Fatwa pada masa sahabat
Perlu diketahui bahwa fatwa berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum pada masa sahabat. beberapa persoalan penting yang dihadapi oleh para sahabat, diantaranya:
a. sahabat khawatir akan kehilangan Al-qur’an karena banyaknya sahabat yang hapal al-qur’an meninggal dunia dalam perang Yamamah .
b. sahabat takut akan terjadi pembohongan terhadap sunnah Rasulullah saw.
c..Sahabat khawatir umat islam akan menyimpang dari hukum islam.
  1. Sahabat menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syari’at islam karena hal tersebut belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-qur’an dan sunnah
·         Fatwa masa tabi’in/ulama mazhab
Periode ini berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah “Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1) Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai sekarang.[23]
Masa tabi’in adalah suatu masa setelah masa sahabat dan merupakan kelanjutan dari masa sahabat tersebut. Mereka sebenarnya telah lahir pada masa sahabat Rasulullah SAW. Para tabi’in telah mewarisi riwayat, hukum, fatwa, ijtihad, dan metode istinbat dari para sahabat. Mereka telah memahami illat-illat maqashidiyah dan maslahiyah mereka dan sebagainya. Hal itu dapat membantu mereka untuk mengikuti jejak para sahabat dan memudahkan mereka untuk menjelaskan beraneka ragam hukum yang berbeda-beda.




[1] Jaih mubarok,sejarah dan perkembangan hukum  islam, (bandung : PT. remaja rosdakarya  .2000)hal.13
[2] ibid hal.16
[3] Jaih mubarok,sejarah dan perkembangan hukum  islam, (bandung : PT. remaja rosdakarya  .2000)hal.30
[4] ibid hal.32
[5] Ibid hal.32
[6] Ibid hal 34
[7]Hasby Ash-Shiddiqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1971 )hal.83
[8] Amiur nuruddin, ijtihad umar bin khattab, (Yogyakarta: rajawali pers .1991) hal. 85
[9] ibid hal.86
[10] Amiur nuruddin, ijtihad umar bin khattab, (Yogyakarta: rajawali pers .1991) hal. 87
[11] Ibid hal.90
[12] Ibid hal 92
[13] Ibid hal. 94
[14] Ibid hal 95              
[15]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182
[16]Abu Zahrah, Tarikh al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 29
[17]  Dedi Supriyadi, Sejarah Hukum Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2007), hal. 84.
[18] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan Perkembangan Hukum Islam, terj. Wajdi Sayadi (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 74-75.

[19] Jaih mubarok hal. 54
[20]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal.165
[21]Jaih mubarok hal.56
[22]Jaih mubarok,sejarah dan perkembangan hukum  islam. hal.98
[23]Mohammad Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182

1 komentar: