BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar belakang
Periodisasi
sejarah hukum islam
Pada dasarnya, sejarah merupakan
penafsiran terhadap peristiwa dimasa lampau yang dipelajari secara kronologis.
Ulama berbeda-beda pendapat dalam menentukan periodisasi sejarah hukum islam
diantara mu’arikh hukum islam yang menentukan periodisasi sejarah hukum islam
adalah Muhammad A’ali Al-Sayyis, Muhammad Khudlari Byek, ‘Abd Wahhab Khallaf,
Musthafa Sa’id Al-Khinn,’Umar Sulaiman Al-Asyqar, Dan T.M Hasbi As-Shiddiqi.
Muhammad
A’ali Al-Sayyis berpendapat bahwa periodisasi hukum islam adalah sebagai
berikut:
1.
Hukum islam zaman rasul
2.
Hukum islam zaman khulafa.
3.
Hukum islam zaman pasca-khulafa hingga awal abad II H.
4.
Hukum islam zaman awal abad II H. hingga pertengahan abad IV H.
5.
Hukum islam zaman pertengaha abad IV H. hingga Baghdad hancur.
6.
Hukum islam zaman sejak kehancuran Baghdad hingga kini.
Menurut Muhammad
Khudlari Byek , periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut:
1.
Hukum islam zaman rasul
2.
Hukum islam zaman sahabat besar
3.
Hukum islam zaman sahabat kecil.
4.
Hukum islam zaman fikih menjadi ilmu yang mandiri.
5.
Hukum islam zaman perdebatan untuk membela imam masing-masing.
6.
Hukum islam zaman taklid.
Pembagian
yang lebih sederhana dikemukakan oleh abd al wahab khallaf. Ia menetapkan bahwa
periodisasi sejarah hukum islam adalah sebagai berikut:
1.
Hukum islam zaman rasul
2.
Hukum islam zaman sahabat
3.
Hukum islam zaman pendiri mazhab
4.
Hukum islam zaman statis (jumud)
Mustafa
sa’id al-khinn berpendapat bahea periodisasi hukum islam adalah berikut ini:
1.
Hukum islam zaman rasul
2.
Hukum islam zaman sahabat
3.
Hukum islam zaman tabi’in
4.
Hukum islam zaman taklid
5.
Hukum islam zaman sekarang[1]
‘umar
sulaiman al-asqar berpendapat bahwa periodisasi hukum islam adalah sebagai
berikut:
1.
Hukum islam zaman rasul
2.
Hukum islam zaman sahabat
3.
Hukum islam zaman tabi’in
4.
Hukum islam zaman pendiri mazhab
5.
Hukum islam zaman statis
6.
Hukum islam zaman sekarang
Ulama Indonesia
pun ada turut menjelaskan periodisasi sejarah hukum islam, diantaranya T.M hasbi
al-shiddiqi memaparkan periodisasi sejarah hukum islam sebagai berikut:
1.
Hukum islam zaman pertumbuhan
2.
Hukum islam zaman sahabat
dan tabi’in
3.
Hukum islam zaman kesempurnaan
4.
Hukum islam zaman kemunduran
5.
Hukum islam zaman kebangkitan
Hukum islam
dalam artian fikih,fatwa,atau ketetapan adalah produk pemikiran ulama secara
individual. Oleh karena itu, mempelajari fikih atau fatwa berarti mempelajari
pemikiran ulama yang telah melakukan ijtihad dengan segala kemampuan yang
dimilikinya.
Mempelajari pokok pemikiran ulama
dan langkah ijtihadnya menjadi penting, karena merupakan upaya konstruktif
dalam memahami produk pemikiran dan pola yang digunakannya. Dalam salah satu
kaidah dikatakan bahwa salah satu tugas kita adalah memelihara produk pemikiran
ulama dan langkah-langkah ijtihadnya serta mengembangkannya sehingga lebih
maslahat (al-muhafazhat ‘aala al-qadim al-shlih wa al-ahdz bi al-jadid
al-ashlah). Dengan demikian,mempelajari sejarah hukum islam berarti
melakukan langkah awal ijtihadnya untuk ditransmisikan sehingga kemaslahatan
manusia senantiasa terpelihara.
Dengan demikian, di antara kegunaan
mempelajari sejarah hukum islam, paling tidak, adalah dapat melahirkan sikap hidup
yang toleran, dan dapat mewarisi pemikiran ulam klasik dan langkah-langkah ijtihadnya
serta dapat mengembangkan gagasannya.[2]
B.
Rumusan masalah
1.
Untuk megetahui fatwa di zaman rasulullah
2.
Untuk mengetahui fatwa di zaman shahabat
3.
Untuk mengetahui fatwa di zaman/ dikalangan ulama mazhab
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Fatwa pada masa
rasulullah
Para ulama berikhtilaf tentang ijtihad nabi Muhammad saw. Terhadap
sesuatu yang tidak ada ketentuan nash dari allah. Sebagian ulama asy’ariah dan
kebanyakan ulama mu’tazilah berpendapat bahwa nabi Muhammad saw tidak boleh
melakukan ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang
berhubungan dengan amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul,
diantaranya abu yusuf al-hanafi dan al-syafi’I membolehkannya. [3]
Sebagian sahabat al-syafi’I, al-qadli ‘abd al jabar, dan abu hasan
al-bashri berpendapat bahwa nabi
Muhammad saw melakukan ijtihad dalam berperang, bukan dalam bidang ilmu hukum.


Artinya: “dan
tiadalah yang di ucapkannya itu menurut kemauan hawa nafsunya; ucapannya itu
tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan kepadanya” (QS.Al-najm: 3-4)
Ibnu hazm, ibnu taimiyah, ibnu
khaldun, dan kamal ibn al-hamam berpendapat bahwa nabi Muhammad saw melakukan
shalat. Salah satu contoh intihadnya adalah tentang panggilan dan
pemberintahuan untuk melakukan shalat. Sebagian sahabat berpendapat, sebaiknya
menggunakan lonceng (nuqus)
seperti lonceng nashara; sebagian menganjurkan untuk menggunakan terompet (bauq)
seperti terompet yahudi. Kemudian umar bertanya kepada nabi saw:”mengapa tuan
tidak mengutus seseorang untuk mengajak shalat?” nabi Muhammad bersabda :”hai
bilal, berdirilah dan ajaklah shalat.”.
‘Abd Jalil ‘Isa
mengungkapkan beberapa contoh ijtihad Nabi:
- Cara memperlakukan anak-anak musyrikin
yang ikut berperang, Nabi menjawab, “seperti bapak-bapaknya”.
- Qiblat ke Bait al-Maqdis (16-17 bln)
sebelum ditetapkan ke arah Ka’bah
- Abdullah ibn Ubai (tokoh munafik) yang
meminta Nabi memintakan ampun, Nabi menyanggupi dan memohon agar ia diberi
petunjuk, tapi kemudian malah turun at-Tawbah (9): 80[4]
- Khawalah binti Tsa’labah bertanya tentang
suaminya (Aus ibn Shamit) yang telah zhihar, Nabi menjawab: “kamu haram
bagi suamimu yang telah zhihar”, berarti zhihar = cerai. Kemudian Allah
turunkan al-Mujadilah (28): 1-4. Zhihar tidak termasuk talak, tetapi yang bersangkutan
harus melakukan kafarat zhihar, yaitu memerdekakan budak atau berpuasa dua
bulan berturut-turut atau memberi makan 60 orang fakir miskin, sebelum bercampur
kembali dengan isterinya.[5]
Ijtihad
Sahabat pada Masa Nabi
Sahabat
yang melakukan ijtihad adalah mereka yang diutus menjadi qadli atau hakim,
yaitu Ali ibn Abi Thalib (ke Yaman), Mu’adz ibn Jabal (Yaman), dan Khudzaifah
al-Yamani yang diutus Nabi untuk menyelesaikan sengketa dinding antara tetangga
yang sama-sama mengakui miliknya. Ijtihad Sahabat pada masa Nabi antara lain:
- Suatu hari para Sahabat berkunjung ke Bani
Quraizhah. Nabi berpesan” la yushalliyanna ahadukum al-ashra illa fi bani
quraizhah-jangan sekali-kali kamu melaksanakan shalat Ashar kecuali di
Bani Quraizhah”, ternyata belum sampai, waktu ashar hampir habis. Ada yang
shalat di jalan, ada yang tetap dengan pesan Nabi (shalat di Bani
Quraizhah). Ketika berita ikhtilaf tersebut disampaikan kepada Nabi,
beliau membenarkan keduanya.
- Dua orang sahabat melakukan perjalanan.
Waktunya shalat tidak ada air.mereka tayamum dan shalat. Setelah shalat
mereka mendapatkan air. Seorang berwudhu dan mengulang shalat, sedang yang
seorang lagi tidak. Mereka lalu menghadap Nabi, Nabi berkata kepada yang
tidak mengulangi shalat “Ashabta as-Sunnah, Engkau mengerjakan sesuai
sunnah”, sedang kepada yang mengulangi shalat, Nabi bersabda: “al-Ajr
marratain, Engkau dapat pahala dua kali”.[6]
B. fatwa pada masa sahabat (11-40 H/632-661 M)
1. Kedudukan Fatwa
Dan Hukum Islam
Perlu diketahui bahwa fatwa berpengaruh
besar terhadap perkembangan hukum pada masa sahabat. beberapa persoalan penting
yang dihadapi oleh para sahabat, diantaranya:
a. sahabat khawatir akan kehilangan Al-qur’an karena
banyaknya sahabat yang hapal al-qur’an meninggal dunia dalam perang Yamamah .
b. sahabat takut akan terjadi
pembohongan terhadap sunnah Rasulullah saw.
c..Sahabat khawatir umat islam akan
menyimpang dari hukum islam.
- Sahabat
menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syari’at islam
karena hal tersebut belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-qur’an dan
sunnah
Dalam menghadapi kekhawatiran
–kekhawatiran diatas, Abu Bakar, atas usul umar, mengumpulkan Al-qur’an berdasarkan
bahan-bahan yang ada, yaitu hapalan dan catatan. Sahabat yang paling intens
keterlibatannya dalam pengumpulan Al-qur’an adalah Zaid bin Tsabit karena
beliau adalah sekretaris Nabi Muhammad saw.
Disamping
berkenaan dengan al-qur’an, persoalan yang dihadapi saat itu juga berkenaan
dengan sunnah. Persoalaannya muncul dari dua arah, dari umat islam itu sendiri
dan dari kaum munafiq. Umat islam telah melakukan kesalahan dan perubahan dalam
sunnah tanpa bermaksud mengubahnya karena lupa atau keliru dalam menerima atau
menyampaikannya. Sedangkan orang-orang munafiq sengaja melakukan pendustaan dan
kebathilan dalam sunnah dengan maksud merusak agama islam.
Tindakan yang
dilakukan para sahabat dalam periwayatan hadis adalah “kehati-hatian” dalam
meriwayatkannya.Abu Musa pernah dimintai bukti (saksi) dalam meriwayatkan hadis
oleh Umar bin Khattab.Selain hati-hati,sahabat juga melakukan “cegahan”
penulisan hadis kepada rekan-rekannya,karena dikhawatirkan akan bercampur
dengan Al-Qur’an.
Sahabat,terutama khalifah adalah
pengganti Nabi dalam memimpin negara dan agama.Karena itu,mereka sering
dihadapkan pada persoalan-persoalan baru yang dalam Al-Qur’an dan Sunnah belum
ada ketentuannya.
Di bawah ini adalah salah satu wasiat Umar r.a. kepada
seorang qadli (hakim) pada zamannya,yaitu Syuraih.
a. Berpeganglah kepada Al-Qur’an dalam menyelesaikan
kasus.
b. Apabila tidak ditemukan dalam Al-Qur’an,hendaklah
engkau berpegang kepada Sunnah.
c. Apabila tidak didapatkan ketentuannya dalam
Sunnah,berijtihadlah.
Dari beberapa temuan diatas,dapat diketahui bahwa
pengaruh fatwa terhadap perkembangan hukum islam adalah sebagai berikut :
Pertama, sahabat melakukan penelaahan terhadap
Al-Qur’an dan Sunnah dalam menyelesaikan suatu kasus.Apabila tidak didapatkan
dalam Al-Qur’an dan Sunnah,mereka melakukan ijtihad.
3. Sumber-sumber
hukum islam pada zaman sahabat
Sumber atau dalil hukum islam yang
digunakan pada zaman sahabat adalah Al-qur’an, As-Sunnah dan ijtihad. Ijtihad
yang dilakukan ketika itu berbentuk kolektif, disamping individual. Dalam
melakukan ijtihad kolektif, para sahabat berkumpul dan memusyawarahkan suatu
kasus hukum . hasil musyawarah sahabat disebut ijmak.
Mengenai fatwa sahabat pada waktu Rasulullah
masih hidup, menurut pengklasifikasian Hasan
Ahmah Mar’i dalam bukunya yang khusus membahas Al –Ijtihad fi
syari’ah al – Islamiah terdapat tidak kurang dari enam pendapat yang
berkembang di kalangan ulama. Keenam pendapat
itu ditinjau dari sudut kemungkinannya secara aqli (teoritis). Deskripsi
berikut ini akan memaparkan pendapat – pendapat yang berkembang secara ringkas,
sehingga terlihat argumentasi yang bervariasi, dan sebagiannya terasa agak
dipaksa – paksakan.[8]
1.
Pendapat yang
didukung oleh sebagian besar ulama dari berbagai mazhab seperti al-Ghazali,
imam al –Razi, Ibnu Taimiyah, al-Baidawi, dan al-Qadi ‘Abd Al-Jabbar mengatakan
bahwa fatwa sahabat dimungkinkan (Al – Jawas) secara mutlak, baik dihadapan
Rasulullah maupun di belakangnya.
2.
Bertolak
belakang dengan pendapat pertama ialah pendapat yang didukung oleh sekelompok
kecil ulama, sebagai dikemukakan oleh Hasan Ahmad Mar’i, yang mengatakan bahwa
fatwa sahabat terhalang (al –man’a) sama sekali pada waktu hidup
Rasulullah. Alasannya ialah bahwa para sahabat dianggap mampu untuk berhubungan
langsung dengan Rasululah untuk mendapatkan keyakinan dengan ketegasan nash
dari Rasulullah. Dan selama ada yang yakin (mutlak/absolut) tidak boleh
berpindah kepada yang zhan (relatif).
3.
Sahabat boleh
berfatwa mana kala mereka berjauhan dengan Rasulullah, dengan syarat ada
penunjukan atas diri mereka sebagai qadhi atau wali (penguasa). Sahabat –
sahabat yang ternyata tidak mendapat mandat untuk jabatan seperti itu tidak
boleh berfatwa. Pendapat ini dikemukakan oleh al – Amidi dan dianggap sebagai
salah satu pendapat yang berkembang tentang kebolehan fatwa sahabat. Hadis
Mu’adz Ibn Jabal yang menceritakan penunjukan Rasulullah atau Mu’adz ke Yaman
sebagai Qadhi dijadikan oleh mereka sebagai alasan.[9]
4.
Ibn Subki
menukilkan pendapat suatu kaum yang memandang bahwa kebolehan fatwa bagi
sahabat yang berjauhan dengan Rasulullah berlaku secara mutlak, artinya tanpa
di batasi oleh adanya penunjukkan dari Rasulullah. Orang-orang yang berjauhan
dengan Rasulullah dianggap sebagai orang yang tidak bisa sampai ke tingkat
yakin, karena sulit untuik berjumpa dengan Rasulullah.
5.
Pendapat yang
dipilih oleh Abu al-Husein al-Bashri dan Abu al-Khathib dari Hanabilah ialah
kebolehan fatwa bagi sahabat baik di hadapan Rasulullah atau dibelakang
Rasulullah dalam kondisi-kondisi tertentu. Mereka boleh berfatwa setelah ada
permintaan atau izin dari Rasulullah atau dalam kasus yang memerlukan keputusan
hukum sesegera mungkin, sementara waktu yang tersedia relatif singkat untuk
berhubungan dengan Rasulullah.
6.
Pendapat yang
terakhir ini juga menekankan harus ada keizinan Rasulullah. Bagi mereka yang
telah mendapat izin boleh melakukan fatwa dimana dan kapan saja. Karena fatwa
tanpa ada keizinan khusus dari rasullullah dapat diartikan sebagai pendapat
liar yang tidak mempunyai alasan, yang pada gilirannya akan melahirkan berbagai
fatwa atas nama Nabi. Tindakan yang terakhir ini jelas tidak dapat di tolerir
sama sekali.[10]
Dari ke enam pendapat yang berkembang dikalangan ulama itu
nampaknya dapat disederhanakan menjadi dua kelompok. Kelompok pertama memandang
bahwa fatwa sahabat-sahabat tidak mungkin ada pada waktu hidup Rasulullah dan
pendapat semacam ini didukung oleh sekelompok kecil ulama. Sedang kelompok
kedua memandang adanya peluang bagi sahabat-sahabat untuk berfatwa pada masa
Rasulullah, kendatipun dengan berbagai persyaratan dan pembatasan yang mereka
buat, seperti tampak pada lima dari enam pendapat yang telah disebutkan diatas.
Contoh Fatwa Sahabat Yang Dilakukan Di Hadapan Rasulullah, Antar
Lain :
a.
Diriwayatkan
bahwa rasulullah pada suatu hari berkata kepada ‘Amr Ibn al-‘Ash, katanya:
berilah hukum terhadap kasus ini. Mendengar perintah rasulullah itu ‘Amr Ibn
al-‘Ash kembali bertanya: apakah aku akan berfatwa padahal engkau ada hadir
(disini)? Lalu rasulullah menjawab : Ya, jika engkau betul, maka engakau
mendapat dua pahala dan jika engkau salah, engkau mendapat satu pahala.[11]
b.
Selain dari
peristiwa di atas, Sayyid Musa juga menunjuk berbagai macam pendapat dan fatwa
Umar Ibn al-Khattab, yang menurut perhitungannya mencapai lima belas peristiwa,
yang diantaranya mendapat konfirmasi al-Qur’an seperti yang telah di kemukakan
pada pembicaraan terdahulu. Oleh karena itulah, menurut Sayyid Musa, Rasulullah
mengatakan: bahwa sesungguhnya Allah telah menjadikan kebenaran melalui lidah
dan hati Umar. [12]
Contoh Fatwa Sahabat Yang Dilakukan Di Belakang Rasulullah, Antar
Lain:
a.
Di waktu Ali
bertugas di yaman, datang kepadanya tiga orang yang bersengketa tentang seorang
anak. Masing-masing mengakui bahwa anak itu adalah anaknya. Untuk menyelesaikan
persengketaan itu, Ali mempergunakan undian. Ali menyerahkan anak itu kepada
yang menang dalam undian serta membebankan 2/3 diyat harus diberikannya kepada
dua orang yang lain, yang ternyata kalah dalam undian. Mendengar keputusan itu,
rasulullah tersenyum dan gembira atas tindakan yang diambil oleh Ali.[13]
b.
Dua orang
sahabat sedang dalam perjalanan. Ketika waktu sholat datang, keduanya tidak
menjumpai air untuk berwudhu. Namun demikian, keduanya tetap mengerjakan sholat
tidak selama setelah itu, kedua sahabat itu menemukan air. Karena masih dalam
waktu, maka seorang mengulang sholatnya kembali, sementara yang alin tidak
mengulangnya.setelah peristiwa itu diketahui oleh Rasulullah, kedua perbutan
itu dibenarkan oleh beliau, sambil berkata kepada yang tidak mengulang: engkau
telah berbuat sesuai dengan sunnah dan sholat mu sudah cukup. kepada yang
mengulang, Rasulullah berkata : untuk mu dua pahala.[14]
C.
Fatwa Pada Masa Tabi’in / ulama mazhab (Bani Umayyah,
661-750M).
Periode ini
berlangsung pembinaan hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah
“Umayyah” (662-750) dan khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1)
Lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum
fikih Islam; (2) muncul berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai
sekarang.[15]
Masa tabi’in
adalah suatu masa setelah masa sahabat dan merupakan kelanjutan dari masa
sahabat tersebut. Mereka sebenarnya telah lahir pada masa sahabat Rasulullah
SAW. Para tabi’in telah mewarisi riwayat, hukum, fatwa, ijtihad, dan metode
istinbat dari para sahabat. Mereka telah memahami illat-illat maqashidiyah
dan maslahiyah mereka dan sebagainya. Hal itu dapat membantu mereka
untuk mengikuti jejak para sahabat dan memudahkan mereka untuk menjelaskan
beraneka ragam hukum yang berbeda-beda.
Para tabi’in
telah mendapatkan kekayaan riwayat dan ijtihad dari para sahabat, sehingga
mereka mempunyai dua tugas penting, yaitu[16]:
1. Menggabungkan
dua kekayaan itu. Para tabi’in harus mengumpulkan riwayat-riwayat dari
hadits-hadits Rasul SAW, lalu mengumpulkan perkataan-perkataan para sahabat dan
ijtihad-ijtihad mereka. Ini tergolong mudah karena setiap tabi’in itu merupakan
murid dari para sahabat atau kebanyakan orang itu biasanya mentransfer ilmunya
kepada generasi setelahnya. Di antara para sahabat itu ada yang mempunyai
beberapa murid, seperti Abdullah bin Umar yang juga telah mengeluarkan beberapa
murid, diantaranya Sa’id bin Musayyab, Nafi’ yang merupakan keluarganya, dan
Salim anaknya sendiri, dan seterusnya. Setiap sahabat itu ada orang yang khusus
mempelajari ilmu mereka dan kebanyakan murid-murid mereka itu adalah dari anak
keturunnya mereka sendiri, bukan dari orang-orang Arab. Para tabi’in itulah
yang menjadi murid-murid dan menempati posisi para sahabat dalam perjumpaan
dengan Rasul SAW. Mereka menjadikan perkataan-perkataan sahabat itu sebagai
hujjah.
2. Mereka harus
berijtihad terhadap suatu perkara yang belum diketahui penjelasannya dari para
sahabat, tidak terdapat suatu nash pun dari Al-Qur’an dan sunnah yang membahas
perkara itu. Maka mereka punya hak untuk berijtihad setelah mempertimbangkan
hadits-hadits dan fatwa-fatwa, serta mereka tidak boleh keluar dari manhaj
sahabat yang telah menggambarkannya kepada mereka dan kepada orang-orang yang
datang setelah mereka.
Menurut ahli
seorang anggota Majma' Al-Buhust Al-Islamiyah Universitas Al-Azhar,
ijtihad yang terjadi pada masa tabi'in adalah ijtihad mutlak yaitu ijtihad yang
dilakukan tanpa ikatan seorang mujtahid terlebih dahulu dan yang secara
langsung diarahkan untuk membahas, meneliti, dan memahami yang benar.
Di antara
tabi’in yang terkenal adalah Sa’id bin Musayyab (15H – 94H) di Madinah, Atha
bin Abi Rabah (27H – 114H) di Mekah, Ibrahim An-Nakha’i (w. 76H) di Kufah,
Al-Hasan Al-Basri (21H/642 M – 110H/728 M) di Basrah, Makhul di Syam (Suriah)
dan Tawus di Yaman. Mereka kemudian menjadi guru-guru terkenal di daerah
masing-masing dan menjadi panutan untuk masyarakat setempat.[17]
Para tabi’in
ini selanjutnya diikuti juga oleh generasi penerusnya yaitu para tabi’ tabi’in.
Para tabi’ tabi’in ini mengambil dan menerima pengetahuan dari para tabi’in
sebagaimana halnya yang mereka terima dari para sahabat, yaitu mengenai
al-Qur’an dan tafsirnya, hadits, fiqih, dan rahasia-rahasia tasyri’ (hukum
Islam) serta metodenya. Kemudian selanjutnya pada generasi tabi’ tabi’in
sebagai tempat belajar dan menerima informasi oleh generasi imam-imam mujtahid
yang empat (Abu Hanifah, Malik, Syafi’i, dan Ahmad bin Hambal) dan tokoh-tokoh
tasyri’ lainnya yang hidup sezaman dengan mereka.[18]
Ketika
tokoh-tokoh tasyri’ dari kalangan sahabat telah wafat dan berakhir periodenya,
maka kekuasaan tasyri’ diwarisi dan dilanjutkan oleh kader dan generasi mereka
yaitu para tabi’in. Kemudian setelah periode tabi’in juga berakhir, maka
pemegang peranan pengembangan hukum Islam diwarisi dan dilanjutkan oleh kader
dan generasi mereka yaitu tabi’ tabi’in. Selanjutnya, sesudah masa tabi’
tabi’in ini juga berakhir, maka para imam mujtahid yang empat bersama
tokoh-tokoh tasyri’ lainnya yang memegang kekuasaan peran dalam mengembangkan
hukum Islam.
.
Faktor
Yang Mendorong Perkembangan Hukum Islam
Diantara
faktor-faktor yang mendorong perkembangan hukum Islam antara lain adalah:
1.
Perluasan Wilayah
Sebagaimana
diketahui dalam sejarah, ekspansi dunia Islam dilakukan sejak zaman khalifah.
Langkah awal yang dilakukan Mu’awiyah dalam rangka menjalankan pemerintahan
adalah memindahkan ibu kota negara, dari Madinah ke Damaskus. Mu’awiyah
kemudian melakukan ekspansi ke barat hingga dapat menguasai Tunisia, Aljazair,
dan Maroko sampai ke pantai samudra Atlantik. Penaklukan ke Spanyol dilakukan
pada zaman pemerintahan Walid ibn Abd al-malik (705-715 M).
Banyaknya
daerah baru yang dikuasai berarti banyak pula persoalan yang dihadapi oleh umat
Islam, persoalan tersebut perlu diselesaikan berdasarkan Islam. Karena ini
merupakan petunjuk dari manusia. Dengan demikian, perluasan wilayah dapat
mendorong perkembangan hukum Islam; karena semakin luas wilayah yang dikuasai
berarti semakin banyak penduduk di negeri muslim, dan semakin banyak penduduk,
semakin banyak pula persoalan hukum yang harus diselesaikan.
2.
Perbedaan Penggunaan Ra’yu
Pada
zaman ini, fuqaha dapat dibedakan menjadi dua, yaitu mazhab atau aliran hadits
dan aliran ra’yu.aliran hadits adalah golongan yang lebih banyak menggunakan
riwayat dan sangat “Hati-hati” dalam penggunaan ra’yu, sedangkan aliran ra’yu
lebih banyak menggunakan ra’yu dibandingkan dengan aliran hadits. Munculnya dua
aliran pemikiran hukum Islam itu semakin mendorong perkembangan iktilaf, dan
pada saat yang sama pula semakin mendorong perkembangan hukum Islam.[19]
4.
Telah
ada karya-karya tulis tentang hukum yang dapat digunakan sebagai landasan untuk
membangun serta mengembangkan fikih islam.
5. Telah tersedia para ahli hukum yang
mampu berijtihad untuk memecahkan berbagai masalah hukum dalam masyarakat.[20]
Sumber-sumber hukum islam (fatwa)
zaman tabi’in
Secara umum, tabi’in mengikuti
langkah-langkah penetapan dan penerapan hukum yang telah dilakukan sahabat
dalam istinbath al-ahkam. Langkah- langkah yang mereka lakukan adalah sebagai
berikut:
a.
Mencari
ketentuan dalam al-quran
b.
Apabila
ketentuan itu tidak didapatkan dalam alquran, mereka mencarinya dalam
as-sunnahh
c.
Apabila tidak
didapatakan dalam al-quran dan sunnah, mereka kembali kepada pendapat sahabat.
d.
Apabila
pendapat sahabat tidak diperoleh, mereka berijtihad.
Dengan
demikian, sumber-sumber atau dasar-dasar hukum islam pada masa periode ini
adalah (1) al-quran, (2) as-sunnah, (3) ijmak dan pendapat sahabat, (4)
ijtihad.[21]
Pada periode
inilah muncul para mujtahid yang sampai sekarang masih berpengaruh dan
pendapatnya diikuti oleh umat Islam diberbagai belahan dunia. Mereka itu
diantaranya adalah:
1. Imam
Abu Hanifah (Al-Nukman ibn Tsabit) : 700-767 M
Ia lahir di
Kufah pada tahun 80 H dan wafat di Bagdad pada tahun 150 H. Sebagaimana ulama
yang lain, Abu Hanifah memiliki banyak halangan untuk berdiskusi berbagai ilmu
agama. Semula materi yang sering di diskusikan adalah tentang ilmu kalam yang
meliputi al-Qada dan Qadar. Kemudian ia pindah ke materi-materi fiqh Al-Khatib
al-Bagdadi menuturkan bahwa Abu Hanifah tadinya selalu berdiskusi tentang ilmu
kalam.
Sebagaimana
ulama lain, sumber syariat bagi Abu Hanifah adalah Al-Qur’an dan Al-Snnah, akan
tetapi ia tidak mudah menerima hadiah yang diterimanya. Lahannya menerima hadis
yang diriwayatkan oleh jama’ah dari jama’ah, atau hadist yang disepakati oleh
fuqaha di suatu negeri dan diamalkan; atau hadist ahad yang diriwayatkan dari
sahabat dalam jumlah yang banyak (tetapi tidak mutawatir) yang di
pertentangkan.
Abu Hanifah
dikenal sebagai imam ahlul al-ra’yu, dalam menghadapi nas al-Qur’an dan
al-Sunnah. Maka ia dikenal sebagai ahli di bidang ta’lil al-ahkam dan qiyas.
2. Malik
Bin Anas: 713-795 M
Ia lahir
pada tahun 93 H dan wafat pada tahun 179 H. Malik bin Anas tinggal di Madinah dan tidak pernah
kemana-mana kecuali beribadah Haji ke Mekkah. Imam Malik menempatkan Al-Qur’an
sebagai sumber hukum pertama, kemudian al hadist sedapat mungkin hadist yang
mutawatir atau masyhur.
3. Muhammad
Idris Al-Syafi’i: 767-820 M
Ia lahir di
Ghazah atai Asqalan pada tahun 150 H. Ia berguru kepada Imam Malik di Madinah.
Kesetiannya kepada Imam Malik ditunjukkan dengan nyantri di tempat sang guru
hingga sang guru wafat pada tahun 179 H. Imam Syafi’i pernah juga berguru
kepada murid-murid Abu Hanifah. Ia tinggal di Bagdad selama dua tahun, kemudian
kembali ke Mekkah. Akan tetapi tidak lama kemudian ia kembali ke Irak pada
tahun 198 H, dan berkelana ke Mesir.[22]
Dalam pengembaraannya,
ia kemudian memahami corak pemikiran ahl al-ra’yu dan ahl al-Hadis. Ia
berpendapat bahwa tidak seluruh metode ahl al-ra’yu baik diambil sama halnya
tidak seluruh metode ahl al-Hadis harus diambil. Akan tetapi menurutnya tidak
baik pula meninggalkan seluruh metode berpikir mereka masing-masing. Dengan
demikian Imam Syafi’i tidak fanatik terhadap salah satu mazhab, bahkan berusaha
menempatkan diri sebagai penegah antara kedua metode berpikir yang ekstrim. Ia
berpendapat bahwa qiyas merupakan metode yang tepat untuk menjawab masalah yang
tidak manshus.
Menurut Imam Syafi’i tata urutan sumber Hukum Islam adalah:
·
Al
Qur’an dan Al-Sunnah
·
Bila
tidak ada dalam Al Qur’an dan Al Sunnah, ia berpindah ke Ijma.
4. Ahmad
Bin Hambal (Hanbal): 781-855 M
Ia lahir di
Bagdad pada tahun 164 H. Ia tinggal
di Bagdad sampai akhir hayatnya yakni tahun 231 H. Negeri-negeri yang pernah ia
kunjungi untuk belajar antara lain adalah Basrah, Mekkah, Madinah, Syam dan
Yaman. Ia pernah berguru kepada Imam Syafi’i di Bagdad dan menjadi murid Imam
Syafi’i yang terpenting, bahkan ia menjadi mujtahid sendiri.
Menurut
Imam Ahmad, sumber hukum pertama adalah Al-Nushush, yaitu Al Qur’an dan Al
Hadist yang marfu. Apabila persoalan hukum sudah didapat dalam nas-nas
tersebut, ia tidak beranjak ke sumber lain, tidak pula menggunakan “metode
ijtihad”. Apabila terdapat perbedaan pendapat di antara para sahabat, maka Imam
akan memilih pendapat yang paling dekat dengan Al Qur’an dan Al Sunnah.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
·
Fatwa pada masa
rasulullah
Para
ulama berikhtilaf tentang ijtihad nabi Muhammad saw. Terhadap sesuatu yang
tidak ada ketentuan nash dari allah. Sebagian ulama asy’ariah dan kebanyakan
ulama mu’tazilah berpendapat bahwa nabi Muhammad saw tidak boleh melakukan
ijtihad terhadap sesuatu yang tidak ada ketentuan nash, yang berhubungan dengan
amaliah tentang halal dan haram. Sedangkan ulama ushul, diantaranya abu yusuf
al-hanafi dan al-syafi’I membolehkannya
·
Fatwa pada masa
sahabat
Perlu diketahui
bahwa fatwa berpengaruh besar terhadap perkembangan hukum pada masa sahabat. beberapa
persoalan penting yang dihadapi oleh para sahabat, diantaranya:
a. sahabat khawatir akan kehilangan Al-qur’an karena
banyaknya sahabat yang hapal al-qur’an meninggal dunia dalam perang Yamamah .
b. sahabat takut akan terjadi
pembohongan terhadap sunnah Rasulullah saw.
c..Sahabat khawatir umat islam akan
menyimpang dari hukum islam.
- Sahabat
menghadapi perkembangan kehidupan yang memerlukan ketentuan syari’at islam
karena hal tersebut belum ditetapkan ketentuannya dalam Al-qur’an dan
sunnah
·
Fatwa masa tabi’in/ulama mazhab
Periode ini berlangsung pembinaan
hukum islam dilakukan pada masa pemerintahan khalifah “Umayyah” (662-750) dan
khalifah “Abbasiyah” (750-1258). Di masa inilah (1) Lahir para ahli hukum Islam
yang menemukan dan merumuskan garis-garis hukum fikih Islam; (2) muncul
berbagai teori hukum Islam yang masih digunakan sampai sekarang.[23]
Masa tabi’in adalah suatu masa setelah
masa sahabat dan merupakan kelanjutan dari masa sahabat tersebut. Mereka
sebenarnya telah lahir pada masa sahabat Rasulullah SAW. Para tabi’in telah
mewarisi riwayat, hukum, fatwa, ijtihad, dan metode istinbat dari para sahabat.
Mereka telah memahami illat-illat maqashidiyah dan maslahiyah
mereka dan sebagainya. Hal itu dapat membantu mereka untuk mengikuti jejak para
sahabat dan memudahkan mereka untuk menjelaskan beraneka ragam hukum yang
berbeda-beda.
[1]
Jaih mubarok,sejarah
dan perkembangan hukum islam, (bandung
: PT. remaja rosdakarya .2000)hal.13
[3] Jaih mubarok,sejarah
dan perkembangan hukum islam, (bandung
: PT. remaja rosdakarya .2000)hal.30
[6] Ibid hal
34
[7]Hasby Ash-Shiddiqy, Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan Hukum islam,
(Jakarta : Bulan Bintang, 1971 )hal.83
[8]
Amiur nuruddin,
ijtihad umar bin khattab, (Yogyakarta: rajawali pers .1991) hal. 85
[10] Amiur
nuruddin, ijtihad umar bin khattab, (Yogyakarta: rajawali pers .1991)
hal. 87
[11] Ibid hal.90
[12] Ibid
hal 92
[13] Ibid
hal. 94
[14] Ibid
hal 95
[15]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182
[16]Abu Zahrah, Tarikh
al-Madzahib al-Islamiyah, hal. 29
[18] Abdul Wahab Khallaf, Sejarah Pembentukan dan
Perkembangan Hukum Islam, terj. Wajdi Sayadi (Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada, 2002), hal. 74-75.
[20]Mohammad
Daud Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu
Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal.165
[22]Jaih mubarok,sejarah
dan perkembangan hukum islam. hal.98
[23]Mohammad Daud
Ali, Hukum Islam, Pengantar Ilmu Hukum
dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Cetakan keenam (Jakarta: PT Raja Grafindo, 2007) hal. 182
amit mbahh, copas
BalasHapus