BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Peradilan merupakan perkara yang
sangat urgen dan sangat diperlukan bagi masyarakat, maka banyak nash-nash
(teks-teks) pembentukan hukum menarik perhatian padanya, bahkan Rasulullah saw
melaksanakan sendiri, sebagaimana ia juga melimpahkan kepada sebagian
sahabat-sahabatnya, dan dilaksanakan juga oleh para Khalifah-khalifah
sesudahnya.
Demi tercapainya sebuah keadilan di
dalam masyarakat, maka diperlukan pula kepiawaian seorang hakim dengan jalan
penetapan, artinya Hakim telah menetapkan suatu hak kepada yang punya, bahwa
penetapan itu sifatnya melaksanakan perintah agama dan bukan menciptakannya
karena perintah seperti itu tetap diperkirakan adanya, sedang penetapan itu
sifatnya menetapkan secara lahir, dan bukannya menetapkan sesuatu yang belum
ada. Dan ada juga yang berpendapat Hakim memutuskan hukum antara manusia dengan
benar, dan memutuskan hukum dengan apa yang diperintahkan Allah swt. Dengan
tanggung jawab yang diemban seorang Hakim, diperlukan sebuah kreatifitas,
kecerdasan, dan berlaku adil dalam segala keputusannya.
Untuk memberikan sedikit gambaran mengenai masalah di atas, maka pada
makalah ini penulis akan membahas Tiga Tipe Hakim, dan Kestabilan Jiwa
Hakim,
B. Rumusan
Masalah
Untuk memudahkan dalam penyusunan
makalah ini, penulis membuat suatu rumusan masalah yang akan diangkat sebagai
topik pembahasan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini,
adalah:
1. Hadis dan
Kandungan Pokok Tiga Tipe Hakim?
2. Hadis dan
Kandungan Pokok Kestabilan Jiwa Hakim?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Hadits
Tipe-Tipe Hakim

![]() |
Dari
buraidah ra. Berkata,”rasulullah SAW. Bersabda,”ada tiga golongan hakim, dua di
neraka dan satu disurga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara
dengan kebenaran tersebut, maka tempatnya di surga. Hakim yang mengetahui
kebenaran tetapi ia menyimpang dari kebenaran tersebut, maka tempatnya di
neraka. Dan hakim yang memutuskan hukum untuk masyarakat tanpa didasari ilmu,
maka tempatnya di neraka,” (HR.
Al-arba’ah dan dishahihkan oleh hakim)
Penjelasan
kalimat
“Dari buraidah
ra. Berkata,”rasulullah SAW. Bersabda,”ada tiga golongan hakim, dua di neraka
dan satu disurga (seakan-akan
ditanyakan kepada beliau, “siapa mereka itu?” lantas beliau SAW. Menjawab). Hakim
yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan kebenaran tersebut,
maka tempatnya di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi ia menyimpang
dari kebenaran tersebut, maka tempatnya di neraka. Dan hakim yang memutuskan
hukum untuk masyarakat tanpa didasari ilmu, maka tempatnya di neraka,”.(penulis
kitab ulum al-hadits berkata, para perawi hadits ini semuanya orang-orang
khurasan dan riwayat-riwayatnya sudah teruji. Penulis berkata,” di samping
jalur sanad ini, hadits ini juga memiliki beberapa jalur sanad lain yang
seluruh jalur tersebut telah saya rangkum dalam satu buku.”)
Tafsir hadits
Hadits diatas
menunjukkan bahwa tidak ada seorang hakim pun yang dapat selamat dari siksa
neraka, kecuali hakim yang mengetahui kebenaran lalu ia mengamalkan kebenaran
tersebut. Jadi, antara seorang hakim yang mengetahui kebenaran tetapi ia
menyimpang dari kebenaran tersebut dan seorang hakim yang menetapkan hukum
tampa ilmu menempati posisi yang sama yakni akan dimasukkan kedalam neraka.
Secara tekstual, hadits ini dapat difahami bahwa seorang hakim yang menetapkan
hukum tanpa didasari ilmu, tetep mendapat ancaman neraka walaupun hukum yang ia
tetapkan tersebut benar, karena hadits diatas disebutkan secara mutlak.
Pernyataan ‘menetapkan hukum kepada umat manusia dengan kebodohan’ berlaku bagi
seorang hakim yang menetapkan hukum tanpa ilmu dan kebetulan hukum yang ia
tetapkan tersebut benar.
Hadits ini juga
mengingatkan akan bahaya seorang yang menetapkan hukum dengan tanpa didasari
ilmu atau melakukan penyimpangan hukum padahal ia mengetahui perkara yang
benar-hadits ini mencantumkan bahwa hakim yang selamat hanyalah hakim yang
mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran yang ia
ketahui. Sementara dua(golongan hakim) yang lain tempatnya di neraka. Hadits
ini juga mengisyaratkan larangan mengangkat orang bodoh-tidak tahu masalah
hukum- untuk menempati posisi hakim.
Penulis Mukhtashar
As-Sunnah berkata,”sesungguhnya jabatan hakim tidak boleh diberikan kepada
seorang yang bukan mujtahid, dan kepala negara tidak boleh menyerahkan jabatan
tersebut kepada yang bukan mujtahid.” Ia melanjutkan “seorang hakim harus
menguasai lima bidang ilmu: al-quran, as-sunnah, pendapat para ulama salaf
serta ijma’ dan ikhtilaf yang terjadi dikalangan mereka, ilmu bahasa arab dan
ilmu qiyas, yang merupakan jalur yang harus ditempuh dalam menyimpulkan hukum
dari al-quran dan as-sunnah. Selama hukum tersbut tidak tercantum secara jelas
dalam al-quran, as-sunnah dan ijma’.seorang mujtahid wajib menguasai ilmu
al-quran yang mencakup ilmu nasakh-mansukh, mujmal,mufassar,
khas,’am,muhkam,mutasyabih, hukum makruh, haram, mubah, dan mustahab. Ilmu
hadits yang wajib diketahui mencapkup hadits shahih, dha’if, musnad, mursal,
mengetahui posisi sunnah terhadap al-quran dan sebaliknya, sehingga jika ia
mendapati ada dzahir hadits yang tidak sesuai dengan al-quran ia dapat
melakukan pengkompromian-al’jam’-diantara keduanya. Sebab, as-sunnah berfungsi
sebagai penjelas terhadap al-quran, dan tidak mungkin sunnah bertentangan
dengan al-quran, jadi seoarang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum yang
terkandung didalam kitabullah. Adapun tentang kisah-kisah, berita dan nasehat
yang tertera dalam al-quran dan tidak ada kaitan dengan hukum, tidak wajib
mereka kuasai. Demikian juga seorang mujtahid wajib menguasai ilmu bahasa arab
yang dipakai dalam al-quran dan as-sunnah saja, bukan semua jenis bahasa arab
dan mengetahui pendapat para sahabat dan para tabi’in tentang suatu hukum serta
fatwa-fatwa para ulama fiqh sehingga hukum yang ia putuskan tidak bertentangan
dengan pendapat – pendapat mereka dan tidak bertentangan dengan ijma’. Apabila
semua kriteria ini sudah terpenuhi maka ia sudah mencapai derajat mujtahid.
Tetapi jika seseorang belum menguasai ilmu-ilmu ini maka tidak ada jalan lain
baginya selain harus bertaqlid.
B.
Perlunya
Kesetabilan Jiwa Hakim
![]() |
Dan dari abu bakrah radhiyallah anhu berkata, “aku pernah mendengar
rasulullah shalallah alaihi wa sallam bersabda, “janganlah seseorang mengadili
dua orang yang bertikai sementara ia dalam keadaan emosi (marah)”.
Tafsir hadits
Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa
hukumnya haram seorang hakim mengadili dalam keadaan emosi, sementara mayoritas
ulama berpendapat hukumnya makruh dan an-Nawawi mencantumkan babnya di dalam kitab
syarah muslim: bab makruh hukumnya seorang hakim mengadili dalam keadaan emosi.
Imam Al-Bukhori mencantumkan dalam kitab
shahihnya: bab apakah seorang hakim boleh menetapkan hukum atau seorang mufti
memberikan fatwa dalam keadaan marah? An-Nawawi dengan tegas mengatakan
bahwa hukumnya makruh karena menimbang sebab larangan yang tercantum didalam
hadits. Yakni larangan muncul karena adanya marah, sementara marah itu sendiri
tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak memutuskan kan hukum.larangan itu
muncul karena hakim yang sedang marah tidak dapat berfikir jernih dan lurus.
Akibatnya akan terjadi kesalahan terhadap keputusan hukum yang diberikan.
Karena dalam menetapkan hukum perlu fikiran yang benar-benar fokus terhadap
kasus yang diajukan. Jadi, larangan memutuskan hukum karena marah tidak dapat
dipraktekkan untuk semua jenis marah dan untuk semua orang, apabila seseorang menetapkan hukum dalam keadan
marah, tetapi dalam kondisi seperti ini ia masih dapat membedakan mana yang hak
dan mana yang batil, jika demikian halnya maka ia tidak diharamkan untuk
memberikan keputusan hukum, atau paling tidak hukumnya makruh.
Secara tekstual, hadits tidak
membeda-bedakan hukum terhadap tingkat kemarahan dan sebab-sebabnya. Al-Baghawi
dan imam haramain menyebutkan bahwa larangan tersebut tidak termasuk pada jenis
marah yang timbul karena allah. Alasannya, marah karena allah tidak akan
mendorong pelakunya untuk bertindak zhalim. Berbeda halnya jika marah itu
muncul karena hawa nafsu.
Sekelompok ulama mengklaim bahwa
pendapat di atas adalah pendapat yang keliru, karena bertentangan dengan zhahir
hadits dan sebab utama mengapa terlarang menetapkan hukum. Kemudian suatu hal
yang tidak syak lagi bahwa zhahir hadits menunjukkan bahwa hukumnya haram. Dan
menetapkan alasan yang dibuat-buat untuk memalingkan dari hukum haram ke hukum
makruh adalah kesimpulan yang keliru.
Adapun keputusan hukum yang
diberikan rasulullah SAW. Disaat beliau sedang marah pada kisah Az-Zubair, hal
itu dikarenakan beliau adalah manusia yang tepelihara dari kesalahan. Oleh
karena itu, kemarahan yang muncul pada diri beliau tidak akan memalingkan
beliau dari kebenaran. Jadi zhahir hadits menunjukkan tidak dibolehkannya
memutuskan hukum dalam keadaan marah, dan larangan tersebut menunjukkan
batalnya keputusan yang diberikan dalam kondisi seperti ini. Kemudian jumhur
ulama yang menyebutkan adanya perbedaan antara larangan dzat dan larangan pada
sifat adalah kaidah yang tidak jelas sebagaimana yang dijelaskan pada
kitab-kitab lain. Keadaan marah
dianalogikan hukumnya dengan lapar atau dalam keadaan sangat haus. Dalam sebuah
hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi dengan sanad yang
hanya melalui jalur Al-Qasim Al-Umari (seorang periwayat dha’if) dari abu sa’id
al-khudri RA. Dari nabi SAW. Bahwasanya beliau bersabda,
![]() |
Janganlah seorang hakim memutuskan hukum kecuali dalam keadaan
kenyang dan tidak haus.
Hukum ini juga di analogikan kepada
setiap hakim yang sedang kalut, atau tidak konsentrasi karena sangat mengantuk,
atau karena demam, sakit dan lain-lain.
Apabila hakim memutuskan sebuah
perkara dalam keadaan marah, maka dalam kondisi seperti itu dapat mengeluarkan
seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta mengeluarkannya dari
kestabilan kondisi sehingga tidak dapat berfikir dan berijtihad.[1]
Hakim wajib
untuk selalu mencari kebenaran, sehingga dia harus menjauhkan segala sesuatu
yang dapat mengganggu pikirannya. Dia tidak boleh memutusi dikala amat marah
atau lapar, sedih yang mencemaskan, amat takut, mengantuk, atau sibuk hatinya
sehingga hal itu akan memalingkannya dari pengetahuan yang benar dan pemahaman
yang cermat.[2]
Seorang hakim apabila memutuskan
suatu permasalahan dalam kondisi tertentu dari kondisi-kondisi tersebut di atas
dengan benar, maka keputusannya dapat diterima. Dengan kata lain, larangan
untuk memberikan keputusan dalam kondisi di atas hanyalah merupakan tindakan
antisipasi dan kehati-hatian. Demikian pendapat jumhur
fuqaha.
Di dalam hadis tersebut tersirat
perintah untuk saling memberikan nasihat di antara sesama muslim dalam rangka
memperbaiki kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi para pemimpin penegak
keadilan.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para hakim yang berkecimpung dalam
dunia peradilan terbagi menjadi tiga golongan yang berbeda, dua golongan
disebutkan akan menjadi penghuni neraka, dan satu golongan akan menjadi
penghuni surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman
berdasarkan kebenaran maka akan masuk ke dalam surga. hakim yang mengetahui
kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran maka
kedudukannya adalah di neraka. Hakim yang
menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, ataupun
memutuskan tetapi tidak berdasarkan pengetahuannya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka.
Apabila hakim memutuskan sebuah
perkara maka terdapat larangan memutuskannya dalam keadaan marah/emosi. Hal itu
dianjurkan supaya keputusan yang diambil itu objektif, dan berlaku adil.
Seorang hakim yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu sebagai seorang
hakim, apabila memutuskan perkara kebenaran dan ketepatan penetapan hukum
terdapat dua balasan pahala dan di dalam proses pencarian kebenaran, meskipun
salah terdapat pula satu balasan pahala.
B. Kritik dan
Saran
Kedudukan hakim dalam lingkup
peradilan sangatlah urgen, karena hakim merupakan pertahanan terakhir dalam
penegakan hukum, memberikan pelayanan , kepuasan hukum terhadap masyarakat,
akan tetapi dalam tugasnya hakim seringkali bertindak tidak adil, karena ada
beberapa faktor, diantaranya kurangnya ilmu ataupun ada suatu sandiwara.
Diharapkan, para hakim yang
menjalankan tugas-tugasnya dapat bertindak adil dan sesuai dengan tuntutan
syariat. Agar penegakan hukum dapat berjalan sesuai yang kita harapkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar