Powered By Blogger

Sabtu, 21 Mei 2016

tipe-tipe hakim

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Peradilan merupakan perkara yang sangat urgen dan sangat diperlukan bagi masyarakat, maka banyak nash-nash (teks-teks) pembentukan hukum menarik perhatian padanya, bahkan Rasulullah saw melaksanakan sendiri, sebagaimana ia juga melimpahkan kepada sebagian sahabat-sahabatnya, dan dilaksanakan juga oleh para Khalifah-khalifah sesudahnya.
Demi tercapainya sebuah keadilan di dalam masyarakat, maka diperlukan pula kepiawaian seorang hakim dengan jalan penetapan, artinya Hakim telah menetapkan suatu hak kepada yang punya, bahwa penetapan itu sifatnya melaksanakan perintah agama dan bukan menciptakannya karena perintah seperti itu tetap diperkirakan adanya, sedang penetapan itu sifatnya menetapkan secara lahir, dan bukannya menetapkan sesuatu yang belum ada. Dan ada juga yang berpendapat Hakim memutuskan hukum antara manusia dengan benar, dan memutuskan hukum dengan apa yang diperintahkan Allah swt. Dengan tanggung jawab yang diemban seorang Hakim, diperlukan sebuah kreatifitas, kecerdasan, dan berlaku adil dalam segala keputusannya.
Untuk memberikan sedikit gambaran mengenai masalah di atas, maka pada makalah ini penulis akan membahas Tiga Tipe Hakim, dan Kestabilan Jiwa Hakim,
B.     Rumusan Masalah
Untuk memudahkan dalam penyusunan makalah ini, penulis membuat suatu rumusan masalah yang akan diangkat sebagai topik pembahasan. Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini, adalah:
1.    Hadis dan Kandungan Pokok Tiga Tipe Hakim?
2.    Hadis dan Kandungan Pokok Kestabilan Jiwa Hakim?












BAB II
PEMBAHASAN

A.    Hadits Tipe-Tipe Hakim




 








Dari buraidah ra. Berkata,”rasulullah SAW. Bersabda,”ada tiga golongan hakim, dua di neraka dan satu disurga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan kebenaran tersebut, maka tempatnya di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi ia menyimpang dari kebenaran tersebut, maka tempatnya di neraka. Dan hakim yang memutuskan hukum untuk masyarakat tanpa didasari ilmu, maka tempatnya di neraka,” (HR. Al-arba’ah dan dishahihkan oleh hakim)

Penjelasan kalimat
“Dari buraidah ra. Berkata,”rasulullah SAW. Bersabda,”ada tiga golongan hakim, dua di neraka dan satu disurga (seakan-akan ditanyakan kepada beliau, “siapa mereka itu?” lantas beliau SAW. Menjawab). Hakim yang mengetahui kebenaran dan memutuskan perkara dengan kebenaran tersebut, maka tempatnya di surga. Hakim yang mengetahui kebenaran tetapi ia menyimpang dari kebenaran tersebut, maka tempatnya di neraka. Dan hakim yang memutuskan hukum untuk masyarakat tanpa didasari ilmu, maka tempatnya di neraka,”.(penulis kitab ulum al-hadits berkata, para perawi hadits ini semuanya orang-orang khurasan dan riwayat-riwayatnya sudah teruji. Penulis berkata,” di samping jalur sanad ini, hadits ini juga memiliki beberapa jalur sanad lain yang seluruh jalur tersebut telah saya rangkum dalam satu buku.”)

Tafsir hadits
Hadits diatas menunjukkan bahwa tidak ada seorang hakim pun yang dapat selamat dari siksa neraka, kecuali hakim yang mengetahui kebenaran lalu ia mengamalkan kebenaran tersebut. Jadi, antara seorang hakim yang mengetahui kebenaran tetapi ia menyimpang dari kebenaran tersebut dan seorang hakim yang menetapkan hukum tampa ilmu menempati posisi yang sama yakni akan dimasukkan kedalam neraka. Secara tekstual, hadits ini dapat difahami bahwa seorang hakim yang menetapkan hukum tanpa didasari ilmu, tetep mendapat ancaman neraka walaupun hukum yang ia tetapkan tersebut benar, karena hadits diatas disebutkan secara mutlak. Pernyataan ‘menetapkan hukum kepada umat manusia dengan kebodohan’ berlaku bagi seorang hakim yang menetapkan hukum tanpa ilmu dan kebetulan hukum yang ia tetapkan tersebut benar.
Hadits ini juga mengingatkan akan bahaya seorang yang menetapkan hukum dengan tanpa didasari ilmu atau melakukan penyimpangan hukum padahal ia mengetahui perkara yang benar-hadits ini mencantumkan bahwa hakim yang selamat hanyalah hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukum berdasarkan kebenaran yang ia ketahui. Sementara dua(golongan hakim) yang lain tempatnya di neraka. Hadits ini juga mengisyaratkan larangan mengangkat orang bodoh-tidak tahu masalah hukum- untuk menempati posisi hakim.
Penulis Mukhtashar As-Sunnah berkata,”sesungguhnya jabatan hakim tidak boleh diberikan kepada seorang yang bukan mujtahid, dan kepala negara tidak boleh menyerahkan jabatan tersebut kepada yang bukan mujtahid.” Ia melanjutkan “seorang hakim harus menguasai lima bidang ilmu: al-quran, as-sunnah, pendapat para ulama salaf serta ijma’ dan ikhtilaf yang terjadi dikalangan mereka, ilmu bahasa arab dan ilmu qiyas, yang merupakan jalur yang harus ditempuh dalam menyimpulkan hukum dari al-quran dan as-sunnah. Selama hukum tersbut tidak tercantum secara jelas dalam al-quran, as-sunnah dan ijma’.seorang mujtahid wajib menguasai ilmu al-quran yang mencakup ilmu nasakh-mansukh, mujmal,mufassar, khas,’am,muhkam,mutasyabih, hukum makruh, haram, mubah, dan mustahab. Ilmu hadits yang wajib diketahui mencapkup hadits shahih, dha’if, musnad, mursal, mengetahui posisi sunnah terhadap al-quran dan sebaliknya, sehingga jika ia mendapati ada dzahir hadits yang tidak sesuai dengan al-quran ia dapat melakukan pengkompromian-al’jam’-diantara keduanya. Sebab, as-sunnah berfungsi sebagai penjelas terhadap al-quran, dan tidak mungkin sunnah bertentangan dengan al-quran, jadi seoarang mujtahid harus mengetahui hukum-hukum yang terkandung didalam kitabullah. Adapun tentang kisah-kisah, berita dan nasehat yang tertera dalam al-quran dan tidak ada kaitan dengan hukum, tidak wajib mereka kuasai. Demikian juga seorang mujtahid wajib menguasai ilmu bahasa arab yang dipakai dalam al-quran dan as-sunnah saja, bukan semua jenis bahasa arab dan mengetahui pendapat para sahabat dan para tabi’in tentang suatu hukum serta fatwa-fatwa para ulama fiqh sehingga hukum yang ia putuskan tidak bertentangan dengan pendapat – pendapat mereka dan tidak bertentangan dengan ijma’. Apabila semua kriteria ini sudah terpenuhi maka ia sudah mencapai derajat mujtahid. Tetapi jika seseorang belum menguasai ilmu-ilmu ini maka tidak ada jalan lain baginya selain harus bertaqlid.










B.     Perlunya Kesetabilan Jiwa Hakim
 






Dan dari abu bakrah radhiyallah anhu berkata, “aku pernah mendengar rasulullah shalallah alaihi wa sallam bersabda, “janganlah seseorang mengadili dua orang yang bertikai sementara ia dalam keadaan emosi (marah)”.
Tafsir hadits
            Zhahir hadits ini menunjukkan bahwa hukumnya haram seorang hakim mengadili dalam keadaan emosi, sementara mayoritas ulama berpendapat hukumnya makruh dan an-Nawawi mencantumkan babnya di dalam kitab syarah muslim: bab makruh hukumnya seorang hakim mengadili dalam keadaan emosi.
            Imam Al-Bukhori mencantumkan dalam kitab shahihnya: bab apakah seorang hakim boleh menetapkan hukum atau seorang mufti memberikan fatwa dalam keadaan marah? An-Nawawi dengan tegas mengatakan bahwa hukumnya makruh karena menimbang sebab larangan yang tercantum didalam hadits. Yakni larangan muncul karena adanya marah, sementara marah itu sendiri tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak memutuskan kan hukum.larangan itu muncul karena hakim yang sedang marah tidak dapat berfikir jernih dan lurus. Akibatnya akan terjadi kesalahan terhadap keputusan hukum yang diberikan. Karena dalam menetapkan hukum perlu fikiran yang benar-benar fokus terhadap kasus yang diajukan. Jadi, larangan memutuskan hukum karena marah tidak dapat dipraktekkan untuk semua jenis marah dan untuk semua orang, apabila  seseorang menetapkan hukum dalam keadan marah, tetapi dalam kondisi seperti ini ia masih dapat membedakan mana yang hak dan mana yang batil, jika demikian halnya maka ia tidak diharamkan untuk memberikan keputusan hukum, atau paling tidak hukumnya  makruh.
            Secara tekstual, hadits tidak membeda-bedakan hukum terhadap tingkat kemarahan dan sebab-sebabnya. Al-Baghawi dan imam haramain menyebutkan bahwa larangan tersebut tidak termasuk pada jenis marah yang timbul karena allah. Alasannya, marah karena allah tidak akan mendorong pelakunya untuk bertindak zhalim. Berbeda halnya jika marah itu muncul karena hawa nafsu.
            Sekelompok ulama mengklaim bahwa pendapat di atas adalah pendapat yang keliru, karena bertentangan dengan zhahir hadits dan sebab utama mengapa terlarang menetapkan hukum. Kemudian suatu hal yang tidak syak lagi bahwa zhahir hadits menunjukkan bahwa hukumnya haram. Dan menetapkan alasan yang dibuat-buat untuk memalingkan dari hukum haram ke hukum makruh adalah kesimpulan yang keliru.
            Adapun keputusan hukum yang diberikan rasulullah SAW. Disaat beliau sedang marah pada kisah Az-Zubair, hal itu dikarenakan beliau adalah manusia yang tepelihara dari kesalahan. Oleh karena itu, kemarahan yang muncul pada diri beliau tidak akan memalingkan beliau dari kebenaran. Jadi zhahir hadits menunjukkan tidak dibolehkannya memutuskan hukum dalam keadaan marah, dan larangan tersebut menunjukkan batalnya keputusan yang diberikan dalam kondisi seperti ini. Kemudian jumhur ulama yang menyebutkan adanya perbedaan antara larangan dzat dan larangan pada sifat adalah kaidah yang tidak jelas sebagaimana yang dijelaskan pada kitab-kitab lain.     Keadaan marah dianalogikan hukumnya dengan lapar atau dalam keadaan sangat haus. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ad-Daraquthni dan Al-Baihaqi dengan sanad yang hanya melalui jalur Al-Qasim Al-Umari (seorang periwayat dha’if) dari abu sa’id al-khudri RA. Dari nabi SAW. Bahwasanya beliau bersabda,
 



Janganlah seorang hakim memutuskan hukum kecuali dalam keadaan kenyang dan tidak haus.
            Hukum ini juga di analogikan kepada setiap hakim yang sedang kalut, atau tidak konsentrasi karena sangat mengantuk, atau karena demam, sakit dan lain-lain.
Apabila hakim memutuskan sebuah perkara dalam keadaan marah, maka dalam kondisi seperti itu dapat mengeluarkan seorang hakim dari pandangan yang benar dan tepat serta mengeluarkannya dari kestabilan kondisi sehingga tidak dapat berfikir dan berijtihad.[1]
Hakim wajib untuk selalu mencari kebenaran, sehingga dia harus menjauhkan segala sesuatu yang dapat mengganggu pikirannya. Dia tidak boleh memutusi dikala amat marah atau lapar, sedih yang mencemaskan, amat takut, mengantuk, atau sibuk hatinya sehingga hal itu akan memalingkannya dari pengetahuan yang benar dan pemahaman yang cermat.[2]
Seorang hakim apabila memutuskan suatu permasalahan dalam kondisi tertentu dari kondisi-kondisi tersebut di atas dengan benar, maka keputusannya dapat diterima. Dengan kata lain, larangan untuk memberikan keputusan dalam kondisi di atas hanyalah merupakan tindakan antisipasi dan kehati-hatian. Demikian pendapat jumhur fuqaha.
Di dalam hadis tersebut tersirat perintah untuk saling memberikan nasihat di antara sesama muslim dalam rangka memperbaiki kestabilan kondisi mereka, terlebih lagi bagi para pemimpin penegak keadilan.

























BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Para hakim yang berkecimpung dalam dunia peradilan terbagi menjadi tiga golongan yang berbeda, dua golongan disebutkan akan menjadi penghuni neraka, dan satu golongan akan menjadi penghuni surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran maka akan masuk ke dalam surga. hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum  berdasarkan kebenaran maka kedudukannya adalah di neraka. Hakim yang menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, ataupun memutuskan tetapi tidak berdasarkan pengetahuannya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka.
Apabila hakim memutuskan sebuah perkara maka terdapat larangan memutuskannya dalam keadaan marah/emosi. Hal itu dianjurkan supaya keputusan yang diambil itu objektif, dan berlaku adil. Seorang hakim yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu sebagai seorang hakim, apabila memutuskan perkara kebenaran dan ketepatan penetapan hukum terdapat dua balasan pahala dan di dalam proses pencarian kebenaran, meskipun salah terdapat pula satu balasan pahala.

B.     Kritik dan Saran
Kedudukan hakim dalam lingkup peradilan sangatlah urgen, karena hakim merupakan pertahanan terakhir dalam penegakan hukum, memberikan pelayanan , kepuasan hukum terhadap masyarakat, akan tetapi dalam tugasnya hakim seringkali bertindak tidak adil, karena ada beberapa faktor, diantaranya kurangnya ilmu ataupun ada suatu sandiwara.
Diharapkan, para hakim yang menjalankan tugas-tugasnya dapat bertindak adil dan sesuai dengan tuntutan syariat. Agar penegakan hukum dapat berjalan sesuai yang kita harapkan.




[1]Maftuh Ahnan Asy, Kumpulan Hadist-hadist Pilihan Sahih Bukhari, Surabaya : Terbit Terang, tt, h. 241.  
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14,  Cet. 2, Bandung : Alma’arif, 1988, h. 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar