Powered By Blogger

Sabtu, 14 Mei 2016

perbedaan pendapat tentang MENYEWA ORANG UNTUK MELAKUKAN IBADAH FARDHU

BAB I
PENDAHULUAN


A.    Latar Belakang Masalah
Adapun pembahsan pemakalah kali ini yaitu, tentang bolehkah seseoeang menyewa orang lain untuk melakukan suatu ibadah fardhu seperti shalat, puasa dll.
Dari pembaasan pemakalah nanti kita dapat mengetahui di perbolehkan, atau tidak nya kita seseorang menyewa orang lain untuk melakukan ibadah fardhu.

B.     Rumusan Masalah
1.      Mencari sebaba tidak diperbolehkan nya menyewa orang untuk melakukan ibadah fardhu.


BAB II
PEMBAHASAN


A.     MENYEWA ORANG UNTUK MELAKUKAN IBADAH FARDHU
Ibadah ada yang bersifat mahdhah dan yang bersifat tidak mahdhah (campuran/berbaur dengan hal yang tidak termasuk ibadah). Jika seseorang melakukan ibadah mahdhah yang bersifat  fardhu’ain, maka tidak boleh/tidak sah  ia meminta upah atas Apa yang dilakukan itu.
Demikian diriwayatkan, “Adapun sesuatu yang manfaat dari perbuatan sesuatu tersebut hanya untuk pelakunya saja, termasuk ibadah mahdhah semisal shalat dan puasa, yang manfaatnya tidak bisa dipindahkan ke orang lain, maka tidak diperbolehkan ia mengambil upah dari perbuatan upahnya ini.” Atas hal ini tidak ada perbedaan pendapat ulama.
Contohnya, “silahkan Anda melakukan shalat Dzuhur atas nama saya, dengan bayaran sekian dan sekian”. Hal ini tidak halal karena ia mendzalimi orang yang diberi uang. Kewajiban yang diberi uang gugur, ia tidak berdosa; namun kewajiban orang yang membayar tidak gugur, ia tetap berdosa karena tidak shalat.[1]
Menurut kalangan madzhab Hanafi, tidak diboleh kan transaksi ijarah dalam perbuatan ibadah (ketaatan), seperti menyewa orang untuk shalat, puasa, atau membaca Al Quran yang pahala nya dihadiahkan kepada si penyewa atau kerabat si penyewa. Pelaku semua pekerjaan ini diharamkan mengambil upah darinya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw yang mana artinya:
“Bacalah Al-Quran dan jangan mencari makan dengan itu.” (HR. Ahmad)
Menurut kalangan madzhab Hambali, tidak dianggap sah transaksi ijarah yang dilakukan dalam pekerjaan adzan dan iqamat, pengajaran Al-Quran, fiqh dan hadis, dan qadha puasa. Pelaku semua pekerjaan ini diharamkan mengambil upah darinya.[2]
Adapun menurut kalangan madzhab Maliki, Asy-Syafi’I dan Ibnu Hazm, dibolehkan mengambil upah dari pekerjaan mengajarkan Al-Quran dan ilmu agama. Sebab, ini merupakan transaksi ijarah atas suatu pekerjaan yang diketahui dan tenaga yang diketahui pula. Ibnu Hazm berkata, “Transaksi ijarah boleh dilakukan dalam pengajaran Al-Quran dan ilmu agama, baik secara bulanan maupun sekaligus.”
Namun upah atas suatu ibadah yang manfaatnya dapat diterima/dinikmati oleh banyak orang, misalnya mengajarkan Al Qur’an, bagaimana? Bagi pengajar adalah ibadah, sedang bagi yang diajar beroleh manfaat bisa membaca AL Qur’an.
Contoh yang lain, mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Bagi yang mengajar adalah ibadah taqarub kepada Allah. Dan bagi yang belajar akan lebih mengetahui ilmu, perintah, larangan dari Allah. Termasuk pada penyampain fatwa, adalah ibadah bagi ia. Dan orang lain akan tau tentang hal yang difatwakan.
Dalam hal ini ada kesepakatan para ulama, bila gaji itu diberikan oleh pihak ketiga (bukan murid yang diajar), contoh oleh Baitul Maal, Negara (menjadi pegawai negara, penyuluh agama, dsb), Lembaga Sosial, Pihak penyelenggara/Panitia, yang menanggung upah dari pengajar tersebut, para ulama sepakat memperbolehkan upah tersebut. Atau seseorang yang memberikan tanpa ada akad ijarah, terkadang memberi, terkadang tidak, terkadang banyak, terkadang sedikit, tidak masalah. Akad ijarah adalah jelas nilainya. Sedang jika tidak ada akad ijarah, diperbolehkan.
Yang menjadi khilaf para ulama. adalah jika ada akad sewa menyewa terhadap suatu jasa atas suatu ibadah tadi. Misalnya, ada sebuah keluarga yang datang kepada seorang yang ahli qur’an, memintanya mengajar sang anak, “Setiap kedatangan ustadz, akan kami beri imbalan sekian dan sekian”. Lalu sang ustadz bilang, “wah, itu kurang! Jadinya sekian saja bagaimana?”. Terjadi tawar menawar di sana. Berbeda dengan yang di atas, “Ustadz, tolong isi kajian ya….” Lalu di akhir, sang penyelenggara menyampaikan amplop, tanpa ada tawar menawar di awal dulu, tidak masalah. Dalam hal ini tidak ada kewajiban dari penyelenggara untuk membayar sang ustadz. Sedangkan jika ada kesepakatan di awal, berarti ada kewajiban penyelenggara untuk  membayarnya.
Atas hal di atas, PENDAPAT PERTAMA : tidak boleh upah diterima (tidak halal) pemberi jasa meminta/menentukan upah atas jasa yang disampaikan.
Bukankah rasul dalam menyampaikan dakwah, selalu mengatakan, “Mereka para rasul adalah orang yang diberi petunjuk Allah, maka ikutilah petunjuk mereka. Katakanlah Muhammad, bahwa saya menyampaikan dakwah ini tidak meminta upah dari kalian. Apa yang saya sampaikan ini hanyalah peringatan untuk alam semesta”
Allah berfirman, “dan datang dari ujung kota seorang laki-laki, kemudian mengatakan kepada kaumnya, hai kaumku ikutilah para rasul tersebut. Ikutilah orang-orang yang tidak meminta upah balasan dari kalian,.
Maka ini merupakan dalil dari pendapat pertama yang mengatakan tidak boleh MEMINTA upah. Hal ini karena para rasul tidak meminta upah.
Pendapat kedua : dalil atas para nabi ini tidak dapat digunakan, karena para rasul mengajarkan orang kafir yang memang tidak mungkin akan memberi upah kepada mereka. Dan bagi rasul, berdakwah itu adalah wajib bagi mereka. Sehingga tidak boleh meminta upah. sama juga jika kita sendirian di suatu lingkungan yang tidak paham AL Qur’an, maka wajib bagi kita mengajarkan Al Qur’an.[3]
Dalil yang melarang juga mengambil upah dari mengajarkan ilmu keislaman : “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga yang murah.” Allah juga mengatakan,
“Sesunguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan yang jelas dan petunjuk setelah Kami menerangkannya kepada manusia di dalam Al-Quran, maka itu dilaknati Allah dan semua makhluk yang bisa melaknat.” Jika meminta upah, artinya tidak mau mengajar jika tidak mendapat upah. berarti ia menyembunyikan petunjuk tersebut. Nah, ada ulama yang menyampaikan bahwa firman Allah ini berlaku untuk orang-orang yang hukumnya wajib untuk mengajarkan Al Qur’an. Maka, bisa jadi, bagi seseorang adalah wajib sehingga haram mengambil upah, dan sebagian lain yang belum menjadi fardhu ain, maka boleh mengambil upah darinya.
Ulama lain, dalam madzab maliki dan syafi’I, memperbolehkan mengambil upah dari perbuatan tadi (mengajarkan al qur’an, dan ilmu islam), meskipun dalam status kontrak (ada perjanjian di awal). Yaitu dalam status ibnu abbas diriwayatkan oleh bukhari. Yaitu tentang kisah kepala suku yang disengat hewan berbisa. Maka, anggota suku tersebut meminta sahabatnya untuk mengobati kepala suku. Maka ada syarat supaya ada bayaran setelah dibacakan sesuatu untuk kepala suku sembuh. Lalu oleh sahabat itu membaca al fatihah, dan kepala suku sembuh. Atas upah tersebut, ada yang makan ada yang tidak, sampai bertemu dengan rasul. Lalu rasul menyampaikan, “yang paling pantas kalian beri upah adalah mengajarkan Al Qur’an”
Dalil yang lain, ada seorang wanita minta dinikahi rasul. Dan ketika itu rasul nampak tidak ada hajat. Lalu seorang sahabat yang melihat hal itu langsung menawarkan dirinya menikahi wanita tersebut, sedang ia tidak memiliki sedikitpun harta. Lalu rasul berkata, “Telah kami nikahkan engkau dengan wanita itu dengan AL Qur’an yang ada bersamamu”, yaitu upah atas ia mengajarkan Al Qur’an kepada wanita tersebut, sebagai mahar. Maka boleh menggunakan al qur’an untuk mengambil upah.

JALAN TENGAH ATAS DUA PENDAPAT INI
Atas kedua pendapat ini adalah bila memang seorang yang mengajarkan al qur’an atau ilmu keislaman adalah orang yang ada di bawah garis kemiskinan, ia menyibukkan diri dengan mengajar, sedang ia tidak beroleh upah, akan terlantar kehidupan keluarganya, padahal seharusnya ia bisa berdagang (tidak mengajar) untuk mencari penghidupan untuk keluarganya, dan seterusnya; maka bagi orang ini boleh melakukan kontrak upah. karena jika tidak ada kontrak, maka kadang ia dapat uang, kadang tidak dapat upah. Namun jika si pengajar sudah beroleh kehidupan yang layak, dan kecukupan, sebagaimana banyak para fuqaha yang merupakan pedagang besar yang sering membiayai murid-muridnya; maka bagi dia tidak selayaknya ia mencari kekayaan dengan Al Qur’an. Meskipun boleh, tapi sebaiknya tidak.

BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Ibadah ada yang bersifat mahdhah dan yang bersifat tidak mahdhah (campuran/berbaur dengan hal yang tidak termasuk ibadah). Jika seseorang melakukan ibadah mahdhah yang bersifat  fardhu’ain, maka tidak boleh/tidak sah  ia meminta upah atas Apa yang dilakukan itu.
Demikian diriwayatkan, “Adapun sesuatu yang manfaat dari perbuatan sesuatu tersebut hanya untuk pelakunya saja, termasuk ibadah mahdhah semisal shalat dan puasa, yang manfaatnya tidak bisa dipindahkan ke orang lain, maka tidak diperbolehkan ia mengambil upah dari perbuatan upahnya ini.” Atas hal ini tidak ada perbedaan pendapat ulama.
Maka berartri dari kesimpulan pembahasan ini tidak diperbolehkan nya seseorang menyewa orang lain untuk melakukan ibadah fardhu.




[1]Said syabiq,fiqh sunnah hlm. 21
[2]Ibid hlm. 23
[3]Said syabiq, fiqh sunnah. Hlm 804 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar