BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Adapun
pembahsan pemakalah kali ini yaitu, tentang bolehkah seseoeang menyewa orang
lain untuk melakukan suatu ibadah fardhu seperti shalat, puasa dll.
Dari pembaasan pemakalah nanti kita dapat mengetahui di perbolehkan,
atau tidak nya kita seseorang menyewa orang lain untuk melakukan ibadah fardhu.
B.
Rumusan Masalah
1.
Mencari
sebaba tidak diperbolehkan nya menyewa orang untuk melakukan ibadah fardhu.
BAB II
PEMBAHASAN
A. MENYEWA ORANG UNTUK MELAKUKAN IBADAH
FARDHU
Ibadah ada yang bersifat mahdhah dan yang bersifat tidak
mahdhah (campuran/berbaur dengan hal yang tidak termasuk ibadah). Jika
seseorang melakukan ibadah mahdhah yang
bersifat fardhu’ain, maka tidak boleh/tidak
sah ia meminta upah atas Apa yang dilakukan itu.
Demikian diriwayatkan, “Adapun sesuatu yang manfaat dari
perbuatan sesuatu tersebut hanya untuk pelakunya saja, termasuk ibadah mahdhah
semisal shalat dan puasa, yang manfaatnya tidak bisa dipindahkan ke orang lain,
maka tidak diperbolehkan ia mengambil upah dari perbuatan upahnya ini.” Atas
hal ini tidak ada perbedaan pendapat ulama.
Contohnya, “silahkan Anda melakukan
shalat Dzuhur atas nama saya, dengan bayaran sekian dan sekian”. Hal ini tidak
halal karena ia mendzalimi orang yang diberi uang. Kewajiban yang diberi uang
gugur, ia tidak berdosa; namun kewajiban orang yang membayar tidak gugur, ia
tetap berdosa karena tidak shalat.[1]
Menurut kalangan madzhab Hanafi, tidak diboleh kan transaksi
ijarah dalam perbuatan ibadah (ketaatan), seperti menyewa orang untuk
shalat, puasa, atau membaca Al Quran yang pahala nya dihadiahkan kepada si
penyewa atau kerabat si penyewa. Pelaku semua pekerjaan ini diharamkan
mengambil upah darinya. Hal ini didasarkan pada sabda Nabi saw yang mana
artinya:
“Bacalah
Al-Quran dan jangan mencari makan dengan itu.” (HR. Ahmad)
Menurut kalangan madzhab Hambali, tidak dianggap sah
transaksi ijarah yang dilakukan dalam pekerjaan adzan dan iqamat, pengajaran
Al-Quran, fiqh dan hadis, dan qadha puasa. Pelaku semua pekerjaan ini
diharamkan mengambil upah darinya.[2]
Adapun
menurut kalangan madzhab Maliki, Asy-Syafi’I dan Ibnu Hazm, dibolehkan
mengambil upah dari pekerjaan mengajarkan Al-Quran dan ilmu agama. Sebab, ini
merupakan transaksi ijarah atas suatu pekerjaan yang diketahui dan tenaga yang
diketahui pula. Ibnu Hazm berkata, “Transaksi ijarah boleh dilakukan
dalam pengajaran Al-Quran dan ilmu agama, baik secara bulanan maupun
sekaligus.”
Namun upah atas suatu ibadah yang
manfaatnya dapat diterima/dinikmati oleh banyak orang, misalnya mengajarkan Al
Qur’an, bagaimana? Bagi pengajar adalah ibadah, sedang bagi yang diajar beroleh
manfaat bisa membaca AL Qur’an.
Contoh yang lain, mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Bagi yang
mengajar adalah ibadah taqarub kepada Allah. Dan bagi yang belajar akan lebih
mengetahui ilmu, perintah, larangan dari Allah. Termasuk pada penyampain fatwa,
adalah ibadah bagi ia. Dan orang lain akan tau tentang hal yang difatwakan.
Dalam hal ini ada kesepakatan para ulama, bila gaji itu
diberikan oleh pihak ketiga (bukan murid yang diajar), contoh oleh Baitul Maal,
Negara (menjadi pegawai negara, penyuluh agama, dsb), Lembaga Sosial, Pihak
penyelenggara/Panitia, yang menanggung upah dari pengajar tersebut, para ulama
sepakat memperbolehkan upah tersebut. Atau seseorang yang memberikan tanpa ada
akad ijarah, terkadang memberi, terkadang tidak, terkadang banyak, terkadang
sedikit, tidak masalah. Akad ijarah
adalah jelas nilainya. Sedang jika tidak ada akad ijarah, diperbolehkan.
Yang menjadi khilaf para ulama. adalah jika ada akad sewa
menyewa terhadap suatu jasa atas suatu ibadah tadi. Misalnya, ada sebuah
keluarga yang datang kepada seorang yang ahli qur’an, memintanya mengajar sang
anak, “Setiap kedatangan ustadz, akan kami beri imbalan sekian dan sekian”.
Lalu sang ustadz bilang, “wah, itu kurang! Jadinya sekian saja bagaimana?”.
Terjadi tawar menawar di sana. Berbeda dengan yang di atas, “Ustadz, tolong isi
kajian ya….” Lalu di akhir, sang penyelenggara menyampaikan amplop, tanpa ada
tawar menawar di awal dulu, tidak masalah. Dalam hal ini tidak ada kewajiban
dari penyelenggara untuk membayar sang ustadz. Sedangkan jika ada kesepakatan
di awal, berarti ada kewajiban penyelenggara untuk membayarnya.
Atas
hal di atas, PENDAPAT PERTAMA : tidak boleh upah diterima (tidak halal) pemberi
jasa meminta/menentukan upah atas jasa yang disampaikan.
Bukankah rasul dalam menyampaikan dakwah, selalu mengatakan,
“Mereka para rasul adalah orang yang diberi petunjuk Allah, maka ikutilah
petunjuk mereka. Katakanlah Muhammad, bahwa saya menyampaikan dakwah ini tidak
meminta upah dari kalian. Apa yang saya sampaikan ini hanyalah peringatan untuk
alam semesta”
Allah
berfirman, “dan datang dari ujung kota seorang laki-laki, kemudian mengatakan
kepada kaumnya, hai kaumku ikutilah para rasul tersebut. Ikutilah orang-orang
yang tidak meminta upah balasan dari kalian,.
Maka
ini merupakan dalil dari pendapat pertama yang mengatakan tidak boleh MEMINTA
upah. Hal ini karena para rasul tidak meminta upah.
Pendapat kedua : dalil atas para nabi ini tidak dapat
digunakan, karena para rasul mengajarkan orang kafir yang memang tidak mungkin
akan memberi upah kepada mereka. Dan bagi rasul, berdakwah itu adalah wajib
bagi mereka. Sehingga tidak boleh meminta upah. sama juga jika kita sendirian
di suatu lingkungan yang tidak paham AL Qur’an, maka wajib bagi kita
mengajarkan Al Qur’an.[3]
Dalil yang melarang juga mengambil upah dari mengajarkan
ilmu keislaman : “Dan janganlah kamu menukarkan ayat-ayatku dengan harga yang
murah.” Allah juga mengatakan,
“Sesunguhnya orang yang menyembunyikan apa yang telah kami
turunkan berupa keterangan yang jelas dan petunjuk setelah Kami menerangkannya
kepada manusia di dalam Al-Quran, maka itu dilaknati Allah dan semua makhluk
yang bisa melaknat.” Jika meminta upah, artinya tidak mau mengajar jika tidak mendapat
upah. berarti ia menyembunyikan petunjuk tersebut. Nah, ada ulama yang
menyampaikan bahwa firman Allah ini berlaku untuk orang-orang yang hukumnya
wajib untuk mengajarkan Al Qur’an. Maka, bisa jadi, bagi seseorang adalah wajib
sehingga haram mengambil upah, dan sebagian lain yang belum menjadi fardhu ain,
maka boleh mengambil upah darinya.
Ulama lain, dalam madzab maliki dan syafi’I, memperbolehkan
mengambil upah dari perbuatan tadi (mengajarkan al qur’an, dan ilmu islam),
meskipun dalam status kontrak (ada perjanjian di awal). Yaitu dalam status ibnu
abbas diriwayatkan oleh bukhari. Yaitu tentang kisah kepala suku yang disengat
hewan berbisa. Maka, anggota suku tersebut meminta sahabatnya untuk mengobati
kepala suku. Maka ada syarat supaya ada bayaran setelah dibacakan sesuatu untuk
kepala suku sembuh. Lalu oleh sahabat itu membaca al fatihah, dan kepala suku
sembuh. Atas upah tersebut, ada yang makan ada yang tidak, sampai bertemu
dengan rasul. Lalu rasul menyampaikan, “yang paling pantas kalian beri upah
adalah mengajarkan Al Qur’an”
Dalil
yang lain, ada seorang wanita minta dinikahi rasul. Dan ketika itu rasul nampak
tidak ada hajat. Lalu seorang sahabat yang melihat hal itu langsung menawarkan
dirinya menikahi wanita tersebut, sedang ia tidak memiliki sedikitpun harta.
Lalu rasul berkata, “Telah kami nikahkan engkau dengan wanita itu dengan AL
Qur’an yang ada bersamamu”, yaitu upah atas ia mengajarkan Al Qur’an kepada
wanita tersebut, sebagai mahar. Maka boleh menggunakan al qur’an untuk mengambil
upah.
JALAN TENGAH ATAS DUA PENDAPAT INI
Atas kedua pendapat ini adalah bila memang seorang yang
mengajarkan al qur’an atau ilmu keislaman adalah orang yang ada di bawah garis
kemiskinan, ia menyibukkan diri dengan mengajar, sedang ia tidak beroleh upah,
akan terlantar kehidupan keluarganya, padahal seharusnya ia bisa berdagang
(tidak mengajar) untuk mencari penghidupan untuk keluarganya, dan seterusnya;
maka bagi orang ini boleh melakukan kontrak upah. karena jika tidak ada
kontrak, maka kadang ia dapat uang, kadang tidak dapat upah. Namun jika si
pengajar sudah beroleh kehidupan yang layak, dan kecukupan, sebagaimana banyak
para fuqaha yang merupakan pedagang
besar yang sering membiayai murid-muridnya; maka bagi dia tidak selayaknya ia
mencari kekayaan dengan Al Qur’an. Meskipun boleh, tapi sebaiknya tidak.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Ibadah ada yang bersifat mahdhah dan yang bersifat tidak
mahdhah (campuran/berbaur dengan hal yang tidak termasuk ibadah). Jika
seseorang melakukan ibadah mahdhah yang
bersifat fardhu’ain, maka tidak
boleh/tidak sah ia meminta upah atas
Apa yang dilakukan itu.
Demikian diriwayatkan, “Adapun sesuatu yang manfaat dari
perbuatan sesuatu tersebut hanya untuk pelakunya saja, termasuk ibadah mahdhah
semisal shalat dan puasa, yang manfaatnya tidak bisa dipindahkan ke orang lain,
maka tidak diperbolehkan ia mengambil upah dari perbuatan upahnya ini.” Atas
hal ini tidak ada perbedaan pendapat ulama.
Maka berartri dari kesimpulan pembahasan ini tidak
diperbolehkan nya seseorang menyewa orang lain untuk melakukan ibadah fardhu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar