Powered By Blogger

Sabtu, 21 Mei 2016

KEBOLEHAN MELIHAT TUBUH WANITA YANG DI PINANG MENURUT MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB AZH-ZHAHIRI


KEBOLEHAN MELIHAT TUBUH WANITA YANG DI PINANG MENURUT MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB AZH-ZHAHIRI
A.    Kebolehan Melihat Anggota Tubuh Wanita Yang Dipinang Menurut Mazhab Syafi’i
Mayoritas ulama berpendapat bolehnya laki-laki memandang wajah dan kedua telapak tangan dari wanita yang dipinang, dan ia tidak diperkenankan memandang selain itu. Mereka beralasan pada sabda Rasulullah Saw:
عن عائشة رضي الله عنهما أن أسماء بنت أبي بكر دخلت على رسول الله صلى الله عليه  وسلم وعليها ثيا ب رقا ق فأعر ض عنها رسو ل الله صلى الله عليه وسلم وقال يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم تصلح أن يرى منها إلا هذا وأشار إلى وجهه وكفيه
Artinya: dari Aisyah ra, Asma’ binti Abi Bakar masuk ke rumah Nabi SAW. Sedangkan ia memakai pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan berkata : Hai Asma’ bila seorang perempuan telah haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini” Nabi mengisyaratkan kepada muka dan telapak tanggannya. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).
Mazhab Asy-Syafi’i, Imam Malik, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat wajah dan kedua telapak tangan. Adapun dalil mereka firman Allah SWT:
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها.....
Artinya : Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa (nampak) dari mereka. (QS, An-Nur 31)[1]

B.     Kebolehan Melihat Anggota Tubuh Wanita Yang Dipinang Menurut Mazhab Az-Zhahiri.
Imam Dawud Al-zhahiri dan Ibn Hazm, seorang ulama tekstualis punya pendapat nyentrik, bahwa boleh melihat semua anggota badan perempuan kecuali alat kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun. Alasannya hadist yang memperbolahkan melihat calon isteri tidak membatasi sampai dimana diperbolehkan melihat.
Dalam pendapatnya ia berkata
Artinya: “barang siapa yang ingin menikahi perempuan, perempuan merdeka, perempuan hamba maka ia boleh melihat secara terang-terangan atau tersembunyi, baik secara tersembunyi ataupun terlihat”.
Dalam masalah aurat wanita, Ibn Hazm mengatakan bahwa batas aurat perempuan hamba dan perempuan merdeka adalah sama dalam keadaan apapun, karena tidak ada teks syara’ yang otoritatif untuk membedakan antara perempuan hamba dan perempuan merdeka. maka sesungguhnya agama Allah itu satu, karakter dan tabiat juga satu, apa yang terdapat pada wanita yang merdeka dan budak, wanita adalah sama, sampai ada dalil yang membedakan antara keduanya, barulah kita bisa untuk menerimanya.
Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Hazm, beliau mengatakan kebolehan untuk melihat seluruh tubuh wanita yang akan dipinang karena beliau mendasarkan pada hadist Nabi. Dalam memahami hadis diatas Ibn Hazm mengartikan kalimat “ما يد عوهitu masih mempunyai arti yang umum kepada tubuh ; baik itu muka, kaki, tangan, dan sebagainya yang bisa menarik peminang untuk menikahinya.
Dalam menafsirkan Al-qur’an maupun hadis Ibn Hazm ini menggunakan pendekatan secara dhahiriyah, yaitu apa yang tertulis dalam teks itu langsung dimaknai secara dhahir sesuai teks yang ada, berbeda dengan para jumhur ulama yang lebih kepada substansinya. Bahkan beliau menolak adanya qiyas karena menurut beliau sesuatu itu cukup dimaknai secara dhahir teks saja sudah dapat dipahani maknanya.[2]
Metode pendekatan dhahiriyah ini dipegang erat-erat oleh Ibn Hazm dalam menafsirkan sesuatu. Inilah yang membuat perbedaan dan karakteristik yang berbeda dengan ulama-ulama yang lain. Beliau memilih jalur pemahaman tekstualis dalam memahami syariat ini, bukan semata-mata karena taqlid kepada pendahulunya.
Imam Auza’i berpendapat bahwa laki-laki boleh berupaya malihat apa yang ia kehendeki untuk dilihat dari wanita yang dipinag kecuali aurat. Kedua ulama ini berikut dengan Imam Al-Auza’i berhujjah dengan kemutlakan hadist Rasullulah SAW berikut:
عن جا بر قا ل: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب أحدكم المرأة  فإن اسطاع أن ينظر إلى ما يد عوه إلى ما يد عوه إلى نكا حها فليفعل (روه احمد)
Artinya : apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah (Riwayat Ahmad Dan Abu Daud).[3]
Mereka juga berpendapat dengan beralasan dengan sabda Nabi SAW berikut ini :
فا نظر إليها فإنه أحرى أن يؤ دم بينكما[4]
Artinya : “lihatlah perempuan itu agar kalian berdua bisa bergaul lebih langgeng”
            Maksud dari ungkapan ini, “bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya” dan “lihatlah perempuan itu “ bersifat mutlak (tidak terbatas).
C.    Asbabul Ikhtilaf.
Adapun asbab al-khilaf  antara Imam Syafi’i dan Imam Azh-Zhahiri dalam menetapkan pendapat mereka masing-masing menurut penulis adalah:
1.      adanya nas al-Qur’an yang menjelaskan tentang batas kebolehan melihat anggota tubuh wanita yang dipinang.
2.      Adanya perbedaan pandangan mereka terhadap kebolehan melihat anggota tubuh wanita yang akan dipinang.
3.      Adanya perbedaan batas yang membolehkan melihat anggota tubuh wanita yang akan di pinang.
Imam syafi’i hanya membolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan berdasarkan QS An-Nur ayat 31: Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa (nampak) dari mereka.
Berkata Imam Syafi’i “dan apabila seorang (lelaki) hendak menikah perempuan maka yang boleh dipandangnya  dari perempuan itu hanyalah wajah dan kedua telapak tangannya saja. Sedangkan perempuan itu dalam kondisi tertutup (berpakaian) baik dengan izinya  ataupun tidak.
Jelaslah menurut Imam Syafi’i bahwa melihat pinangan tersebut hanya dilihat dari wajah dan kedua telapak tangan tersebut menandakan bahwasannya wanita tersebut benar-benar dalam keadaan mulia dan menjaga kehormatannya.
 Sedangkan Al-Auza’i mengatakan boleh melihat bagian yang dikehendaki. Adapun Ibn Hazm Azh-Zhahiri mengatakan “boleh melihat pada bagian depan atau belakang dari wanita yang hendak dilamarnya. Pendapat kedua dan ketiga di atas menyatkan boleh melihat anggota tubuh wanita yang dipinang dengan keseluruhan kecuali kemaluannya tersebut.
Dan dalil yang mereka pakai dengan kemutlakan hadis rasulullah sebagai berikut:
“Apabila salah seorang diantara kamu meminag seorang perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.”
Dan mereka juga mengambil dari sabda Nabi SAW:
“lihatlah perempuan itu agar kalian berdua bisa bergaul lebih langgeng.” Maksud dari ungkapan ini, bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya dan lihatlah perempuan itu bersifat mutlak (tidak terbatas).[5]
Pendapat Azh-Zhahiriyah diatas ditolak mayoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena darurat diperkirakan sekadarnya.[6]
Karena menurut penulis apabila manusia menggunakan pendapat mazhab Azh-Zhahiri akan menimbulkan suatu permasalahan dari wanita yang akan dipinang. Karena apabila ketika seorang laki-laki hendak meminang seorang perempuan, maka terlebih dahulu laki-laki tersebut melihat tubuh wanita tersebut baik dari segi kekurangan atau kelebihan yang dia miliki (wanita). Kemudian terjadi suatu permasalahan yang mana laki-laki tersebut membatalkan pinangannya terhadap wanita yang dipinang, maka wanita itu merasa disepelekan atau dirugikan. Karena wanita itu sudah menjadi cacat dalam artian dipermalukan. 
D.    Munaqasyah Adillah Dan Pendapat Yang Paling Rajih
Dari beberapa pendapat mengenai hal ini, terjadi perbedaan diantara kedua ulama diatas. Yang pertama, hanya sebatas wajah dan kedua telapak tangan, seperti yang dikatakan jumhur ulama. Pengertian dari pendapat kedua, melihat apa yang biasa terlihat dalam keadaan tidak mengenai tabir penutup (jilbab) atau melihat secara mutlak (tidak terbatas).
Dalam kebolehan melihat wanita yang dipinang jumhur ulama juga berpendapat : diperbolehkan melihatnya, jika ia menghendaki, tanpa harus meminta izin terlebih dahulu dari wanita yang hendak dilamar (secara sembunyi-sembunyi). Adapun menurut Imam Malik, dari sebuah riwayat yang disebutkan, bahwa beliau mensyaratkan adanya izin dari wanita tersebut. Dijelaskan juga oleh Ath-Thahawi dari suatu kaum, dimana disebutkan: bahwasanya tidak diperbolehkan melihat wanita yang hendak dilamar sebelum diadakannya akad nikah. Karena, pada saat itu wanita tersebut belum menjadi istrinya.
Demikian penulis menyatakan pendapat yang kuat (tarjih), yakni bolehnya memandang wanita yang dipinang adalah pendapat mazhab syafi’i, hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Baginya boleh berbincang-bincang sehingga mengetahui kelebihan yang ada pada wanita yang dipinang, baik secara fisik, suara, pemikiran dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaannya dan keinginan untuk melanjutkan pinangannya tersebut sampai perkawinan. Karena apabila seorang laki-laki meminang wanita, laki-laki tersebut hanya melihat wajah dan kedua telapak tangannya (wanita). Dan apabila terjadi suatu pembatalan dalam pinangan itu, maka tidak akan ada yang dirugikan atau membuat malu terhadap kedua belah pihak. Sebagaaimana Rasulullah berkata dalam hadistnya.
“arwah adalah pasukan yang terhimpun, apa yang dikenal dari padanya akan menjadi menyatu dan apa yang dibenci dari padanya akan membuat bepisah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad).
Terkadang wanita yang dipinang tidak terlalu cantik, tetapi bukan melihat hanya dari fisik saja melainkan baik sifat-sifat dan tingkah lakunyadalam hal itu laki-laki dapat terpedanya karena sifat baik, akhlak, dan kecerdasannya.[7]


[1] Depag RI.Al-qur’an Dan Terjemahannya, h.54
[2]Ibn Hazm, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam (jilid I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah), h. 32.
[3] Ahmad Ibn Hambal Abu Abdullah Asy-Syaibany, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal (Muasasah Qurthabah : Kairo), h.334, Juz. 3
[4] HR. Abu daud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al- Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahiha no. 99.
[5] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita (cet. 1,Jakarta : Al-Kautsar,1998), h.421
[6] Abd Al-Fatih Abi Al-Aynain,Al-Islam Wa Al-Usrah,h.130
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhabsayyed Hawwas,Fiqh Munakahat, H13.
�!- h � 0� major-bidi'> 




















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Para hakim yang berkecimpung dalam dunia peradilan terbagi menjadi tiga golongan yang berbeda, dua golongan disebutkan akan menjadi penghuni neraka, dan satu golongan akan menjadi penghuni surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran maka akan masuk ke dalam surga. hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum  berdasarkan kebenaran maka kedudukannya adalah di neraka. Hakim yang menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, ataupun memutuskan tetapi tidak berdasarkan pengetahuannya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka.
Apabila hakim memutuskan sebuah perkara maka terdapat larangan memutuskannya dalam keadaan marah/emosi. Hal itu dianjurkan supaya keputusan yang diambil itu objektif, dan berlaku adil. Seorang hakim yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu sebagai seorang hakim, apabila memutuskan perkara kebenaran dan ketepatan penetapan hukum terdapat dua balasan pahala dan di dalam proses pencarian kebenaran, meskipun salah terdapat pula satu balasan pahala.

B.     Kritik dan Saran
Kedudukan hakim dalam lingkup peradilan sangatlah urgen, karena hakim merupakan pertahanan terakhir dalam penegakan hukum, memberikan pelayanan , kepuasan hukum terhadap masyarakat, akan tetapi dalam tugasnya hakim seringkali bertindak tidak adil, karena ada beberapa faktor, diantaranya kurangnya ilmu ataupun ada suatu sandiwara.
Diharapkan, para hakim yang menjalankan tugas-tugasnya dapat bertindak adil dan sesuai dengan tuntutan syariat. Agar penegakan hukum dapat berjalan sesuai yang kita harapkan.




[1]Maftuh Ahnan Asy, Kumpulan Hadist-hadist Pilihan Sahih Bukhari, Surabaya : Terbit Terang, tt, h. 241.  
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14,  Cet. 2, Bandung : Alma’arif, 1988, h. 20.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar