Powered By Blogger

Sabtu, 14 Mei 2016

musytarok muradif

  1. Pendahuluan
Al-Qur’an memperkenalkan dirinya antara lain sebagai hudan li an-nas dan sebagai kitab yang diturunkan agar manusia keluar dari kegelapan menuju terang benderang (QS. Ibrahim 14 : 1).
Al-Qur’an merupakan sebagai pusat ajaran Islam. Kitab suci yang menempatkan posisi sebagai sentral, bukan saja dalam perkembangan ilmi-ilmu keislaman, tetapi juga sebagai inspirator, pemandu dan pemadu dalam gerakan-gerakan umat Islam sepanjang abad empat belas abad silam. Jika demikian, pemahaman terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, melalui penafsiran-penafsiran dan pendalaman ilmu kebahasaan, mempunyai peranan penting bagi maju-mundurnya umat Islam terlebih dalam konteks masa kini guna memberikan solusi terhadap problematika umat yang semakin menggelobal.
Oleh karena itu, makalah kecil ini akan mencoba memberikan sedikit wawasan tentang bagaimana memahami ayat-ayat Al-Qur’an yang musytarak dan ketentuan-ketentuan hukumnya.
  1. Pembahasan
a. Pengertian musytarok
Kata Musytarak adalah bentuk mashdar yang berasal dari kata kerja اشترك yang berarti bersekutu seperti dalam ungkapan اشترك القوم yang berarti “kaum itu bersekutu”. [1]
Dari pengertian bahasa ini selanjutnya para ulama’ ushul merumuskan pengertian musytarak menurut istilah. Adapun definisi yang diketengahkan oleh para ulama’ ushul adalah anatara lain:
§ Menurut Ibn Al-Hajib dalam kitab Syarah Al-Mufasshal : [2]
اللفظ الواحد الدال على معنيين مختلفين اواكثر دلالة على السوأ عند اهل تلك اللغة
“ Satu lafadz (kata) yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda, dengan penunjukan yang sama menurut orang ahli dalam bahasa tersebut ”
§ Menurut Muhammad Abu Zahrah dalam kitabnya Ushul Fiqh:
لفظ يتناول افرادا مختلفة الحدود على سبيل البدل
Satu lafadz yang menunjukkan lebih dari satu makna yang berbeda-beda batasannya dengan jalan bergantian”. Maksudnya pergantian disini adalah kata musytarak tidak dapat diartikan dengan semua makna yang terkandung dalam kata tersebut secara bersamaan, akan tetapi harus diartikan dengan arti salah satunya. [3]
Seperti kata قرء  yang dalam pemakaian bahasa Arab dapat berarti masa suci dan bias pula masa haidl, lafadعين  bisa berarti mata, sumber mata air, dzat, harga, orang yang memata-matai (jasus) dan emas[4], kataيد musytarak antara tangan kanan dan kiri, kata سنة dapat berarti tahun untuk hijriyah, syamsiyah, bisa pula tahun masehi. [5]
b. Sebab-Sebab Terjadinya Lafadz Musytarak
Sebab-sebab terjadinya lafadz musytarak dalam bahasa Arab sangatlah banyak sekali, namun ulama’ ushul telah merumuskan sebab-sebab yang paling mempengaruhi antara lain sebagai berikut :
1. Terjadinya perbedaan kabilah-kabilah Arab di dalam menggunakan suatu kata untuk menunjukkan terhadap satu makna.[6] Seperti perbedaan dalam pemakain kata يد , dalam satu kabilah, kata ini digunakan menunjukkan arti hasta secara sempurna(كله ذراع). Satu kabilah untuk menunjukkan (الساعدوالكف) Sedangkan kabilah yang lain untuk menunjukkan khusus telapak tangan.[7]
2. Terjadinya perkembangan perluasan makna satu lafadz dari makna asal, seperti lafadz فتن yang asalnya bermakna المعدن فى النار (logam/barang tambang dalam api) selanjutnya digunakan untuk menunjukkan arti الاضطهاد فى الدين (penindasan agama) kemudian bermakna الوقوع فى الضلال (terjerumus dalam kesesatan).[8]
3. Terjadinya makna yang berkisar/keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan majaz.
4. Terjadinya makna yang berkisaran/keragu-raguaan تردد) ) antara makna hakiki dan makna istilah urfi. Sehingga terjadi perubahan arti satu kata dari arti bahasa kedalam arti istilah, seperti kata-kata yang digunakan dalam istilah syara’. Seperti lafadz الصلاة yang dalam arti bahasa bermakna do’a, kemudian dalam istilah syara’ digunakan untuk menunjukkan ibadah tertentu yang telah kita ma’lumi.[9]
c. Ketentuan Hukum Lafadz Musytarak
Apabila dalam nash-nash Al-Qur’an dan As-Sunnah terdapat lafadz yang musytarak, maka menurut kaidah yang telah dirumuskan oleh para ulama’ ushul adalah sebagai berikut :
a) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya hanya musytarak antara arti bahasa dan istilah syara’, maka yang ditetapkan adalah arti istilah syara’,[10] kecuali ada indikasi- indikasi yang menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah arti dalam istilah bahasa[11]
b) Apabila lafadz tersebut mengandung kebolehan terjadinya banyak arti, maka yang ditetapkan adalah salah satu arti saja dengan dalil-dalil (qarinah) yang menguatkan dan menunjukkan salah satu arti tersebut. Baik berupa qarinah lafdziyah maupun qarinah haliyah. Yang dimaksud qarinah lafdziyah adalah suatu kata yang menyertai nash. Sedangkan qarinah haliyah adalah keadaan/kondisi tertentu masyarakat Arab pada saat turunnya nash tersebut.[12]
c) Jika tidak ada qarinah yang dapat menguatkan salah satu arti lafadz lafadz tersebut, menurut golongan hanafiyah harus dimauqufkan sampai adanya dalil yang dapat menguatkan salah satu artinya. Menurut golongan malikiyah dan syafi’iyah membolehkan menggunakan salah satu artinya.[13]
d. Contoh-Contoh Lafadz Musytarak
1. Firman Allah swt. dalam Al-Baqarah : 229

“ Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik”.
Dalam ayat tersebut di atas lafadz al-thalaq harus diartikan dalam istilah syara’ yaitu melepaskan tali ikatan hubungan suami istri yang sah, bukan diartikan secara bahasa yang berarti melepaskan tali ikatan secara mutlaq.
“ Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat”.
Lafadz الصلاة pada ayat tersebut dapat bisa mengandung arti dalam istilah bahasa yaitu doa dan bisa pula berarti dalam istilah syara’ yaitu ibadah yang mempunyai syarat-syarat dan rukun tertentu. [14] Berikut ini contoh lafadz الصلاة  yang diartikan dengan makna istilah bahasa, yaitu dalam firman Allah dalm QS. Al-ahzab : 56

“ Sesungguhnya Allah dan malaikat-malaikat-Nya bershalawat untuk Nabi. Hai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kamu untuk nabi dan ucapkanlah salam penghormatan kepadanya.”
Lafadz الصلاة pada ayat tersebut bukan bermakna sholat dalam ibadah tertentu, akan tetapi mempunyai makna dalam istilah bahasa yaitu doa.[15] Karena الصلاة dalam ayat tersebut dinisbatkan kepada Allah dan para malaikat. Sedangkan sholat dalam istilah syara’ hanya diwajibkan kepada manusia.
2. Firman Allah Al-Baqarah : 228

“ Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru'.”
Lafadz Quru’ dalam pemakain bahasa Arab bisa berarti masa suci dan bisa pula berarti masa haidl. Oleh karena itu, seorang mujtahid harus mengerahkan segala kemampuannya untuk mengetaui makna yang dimaksudkan oleh syari’ dalam ayat tersebut.
Para ulama’ berbeda pendapat dalam mengartikan lafadz quru’ tersebut diatas. Sebagian ulama’ yaitu Imam Syafi’i mengartikannya dengan masa suci. Alasan beliau antara lain adalah karena adanya indikasi tanda muannats pada ‘adad (kata bilangan : tsalatsah) yang menurut kaida bahasa Arab ma’dudnya harus mudzakkar, yaitu lafadz al-thuhr (suci). Sedangkan Imam Abu Hanifah mengartikannya dengan masa haidl. Dalam hal ini, beliau beralasan bahwa lafadz tsalatsah adalah lafadz yang khas yang secara dzahir menunjukkan sempurnanya masing-masing quru’ dan tidak ada pengurangan dan tambahan. Hal ini hanya bisa terjadi jika quru’ diartikan haidl. Sebab jika lafadz quru’ diartikan suci, maka hanya ada dua quru’ (tidak sampai tiga)[16]
3. Firman Allah dalam surat Al-Baqarah : 222
“ Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: "Haidh itu adalah suatu kotoran". oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh; dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci. apabila mereka Telah suci, Maka campurilah mereka itu di tempat yang diperintahkan Allah kepadamu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Lafadz المحيض dapat berarti masa/waktu haidl (zaman) dan bisa pula berarti tempat keluarnya darah haidl (makan). Namun dalam ayat tersebut menurut ulama’ diartikan tempat keluarnya darah haidl. Karena adanya qarinah haliyah yaitu bahwa orang-orang Arab pada masa turunnya ayat tersebut tetap menggauli istri-istrinya dalam waktu haidl.[17] Sehinnga yang dimaksud lafadz المحيض diatas adalah bukanlah waktu haidl akan tetapi larangan untuk istimta’ pada tempat keluarnya darah haidl (qubul).
e. Pengertian Muradif
Muradif ialah lafalnya banyak sedangkan artinya adalah sama (sinonim), misalnya lafal asad dan allits (artinya singa), himtah dan qamhu (artinya gandum).[18]
f. Hukum Lafal Muradif
Meletakkan lafal muradif di tempat lafal lainnya, diperbolehkan apabila tidak ada halangan dari syara’. Pendapat lain mengatakan: meletakkan lafal muradif di tempat lainnya, diperbolehkan asal masih satu bahasa.[19]
Tentang lafal muradif tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama bahwa lafal yang satu dapat menempati tempat yang lain selama tidak mengubah makna dan tidak ada larangan syara’ untuk mempergunakannya.[20]
Perbedaan pendapat tersebut hanya mengenai lafal selain Al-Qur’an yaitu zikir-zikir dalam ayat dan lafal-lafal lainnya. Imam Malik mengatakan, tidak boleh membaca takbir kecuali dengan lafal Allahuakbar. Demikian pula pendapat Imam Syafi’i. Sedangkan Imam Abu Hanifah memperbolehkan takbir dengan lafal yang sama artinya dengan Allahuakbar seperti Allah Al-A’dzam atau Allah Al-A’la atau Allah Al-Ajall. Perbedaan pendapat ini adalah disebabkan apakah kita beribadah dengan lafalnya atau maknanya.[21]
g. Contoh-contoh
Dalam Alquran, seorag pembaca akan banyak menemukan lafal-lafal muradif. Seperti contoh:
1.       Al-Khauf dan Khasyah (Takut).
Kedua kata ini memiliki arti yang sama akan tetapi jelas sudah menjadi rahasia umum jika kata Al-khasyah adalah lebih tinggi atau lebih kuat makna ketakutannya daripada kata Al-khauf. Sebuah contoh berikut akan memperlihatkan kejelasannya:
وَالَّذِينَ يَصِلُونَ مَا أَمَرَ اللَّهُ بِهِ أَنْ يُوصَلَ وَيَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ وَيَخَافُونَ سُوءَ الْحِسَابِ
Dan orang-orang yang menghubungkan apa-apa yang Allah perintahkan supaya dihubungkan, dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk. (QS. Arrad : 21)
Dalam ayat ini memberitahukan pembaca ahwa sesungguhnya Al-khasyah dikhususkan hanya untuk Allah Subhanahu wa Ta'ala. Sebab kata Al-khasy itu disebabkan kemuliaan yang dimuliakan. Sedangkan kata Al-khauf disebabkan karena kelemahan (dla’if) Al-khaif itu sendiri.
2.       Asy-syukh dan al-Bukhl (Pelit).
Al-askary juga membedakan Al-bukhl dengan kata Adl-dlann. Dengan adl-dlann yang berarti kecelaannya atu aibnya, namun al-bukhl karena keadaannya.
وَمَا هُوَ عَلَى الْغَيْبِ بِضَنِينٍ
Dan Dia (Muhammad) bukanlah orang yang bakhil untuk menerangkan yang ghaib (QS. At-takwir : 24)
Disini tidak dikatakan dengan Al-bukhl. Di lain waktu juga dikatakan Adl-dlanin bi ilmihi.

3.      Al-Hasad dan Al-Hiqd (Dengki)
سَيَقُولُ الْمُخَلَّفُونَ إِذَا انْطَلَقْتُمْ إِلَى مَغَانِمَ لِتَأْخُذُوهَا ذَرُونَا نَتَّبِعْكُمْ يُرِيدُونَ أَنْ يُبَدِّلُوا كَلَامَ اللَّهِ قُلْ لَنْ تَتَّبِعُونَا كَذَلِكُمْ قَالَ اللَّهُ مِنْ قَبْلُ فَسَيَقُولُونَ بَلْ تَحْسُدُونَنَا بَلْ كَانُوا لَا يَفْقَهُونَ إِلَّا قَلِيلًا  
15. orang-orang Badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk mengambil barang rampasan: "Biarkanlah Kami, niscaya Kami mengikuti kamu"; mereka hendak merobah janji Allah. Katakanlah: "Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami; demikian Allah telah menetapkan sebelumnya"; mereka akan mengatakan: "Sebenarnya kamu dengki kepada kami". bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit sekali. (Al-Fath 48:15)
4.       As-Sabil dan Ath-Thariq (Jalan)
وَكَذَلِكَ نُفَصِّلُ الْآيَاتِ وَلِتَسْتَبِينَ سَبِيلُ الْمُجْرِمِينَ
55. dan Demikianlah Kami terangkan ayat-ayat Al-Quran (supaya jelas jalan orang-orang yang saleh, dan supaya jelas (pula) jalan orang-orang yang berdosa. (Al-An’am 06: 55)
h. penutup
Dari sedikit pemaparan diatas, dapat kita pahami bahwa perbedaan akan interpretasi terhadap nash-nash Al-Quran akan menimbulkan kesimpulan-kesimpulan hukum yang berbeda pula. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pemahaman terhadap bahasa Arab dari berbagai aspeknya sangatlah penting untuk dikaji secara konperehensif sehingga kita dapat mengaktualisasikan pesan-pesan teks Al-Qur’an dalam konteks zaman kontemporer yang penuh tantangan dan problematika-problematika umat yang membutuhkan jawaban-jawaban yang dapat memberikan pencerahan terhadap ummat.
Ahkirnya penulis berharap semoga makalah yang kecil ini sedikit dapat memberikan kontribusi positif dalam rangka untuk memahami Al-Qur’an sebagai modal utama bagi umat Islam, khususnya kita sebagai generasi muda Islam sehinnga mampu menjawab tantangan zaman yang sangat kompleks. Amin….
DAFTAR PUSTAKA
Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta
Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990)
  Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996).
Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001,
Burhanudin, Fiqih Ibadah, Cet. I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001




[1] Prof. Dr. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Jakarta
[2] Imam Az-Zarkasyi, Al-Bahru Al-Muhith, (Kuwait : Wuzarah Al-Awqaf , 1992) jilid 2, hal. 122. Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo : Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 326
[3] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Kairo : Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, hal. 178, Aly Saghnaqi, Kitab Al-Wafi (Dar Al-Qahirah : 2003 ) hal. 268, Abd. Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh ( Madinah : Darul Fikr Araby, 1995) hal.167
[4] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Darul Fikr, 1997) hal. 149. Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 326
[5] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 178
[6] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh (Darul Fikr, 1997) hal. 150, Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, hal. 179, Abd. Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh hal.167
[7] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 179
[8] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327.
[9] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 180, Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327
[10] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 327. Abd. Wahab khallaf, Ilmu Ushul Fiqh ( Madinah : Darul Fikr Araby, 1995) hal.167
[11] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[12] ibid hal. 180
[13] ibid hal. 182
[14] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 328
[15] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[16] Dr. Abd. Karim Zaidan, Al-Wajiz, (Beirut : Muassasah Al-Risalah, 1996) hal. 329. Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181, Lihat juga Ibnu Rusyd, bidayah al-mujtahid, (semarang : usaha keluarga) jilid 1 hal. 67
[17] Dr. Wahbah Zuhaily, Ushul Fiqh, (Mansyurat Kuliah Da’wah Islamiyah,1990) hal. 181
[18] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih, Cet. II, Bandung: Pustaka Setia, 2001, h195
[19] ibid
[20] Burhanudin, Fiqih Ibadah, Cet. I, Bandung: CV. Pustaka Setia, 2001, h. 227.
[21] Syafi’i Karim, Fiqih-Ushul Fiqih,…, h. 195

Tidak ada komentar:

Posting Komentar