BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jarimah Riddah
merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman
diakhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Namun pada kenyataannya
hal tersebut merupakan hal yang banyak
diabaikan oleh kebanyakan orang. Entah memang karena tidak takut akan ancaman
Allah SWT. Atau memang karena tidak percaya akan adanya kesengsaraan di neraka.
Bila seseorang murtad bukan hanya ucapan melainkan banyak macamnya tentunya
hukuman yang akan menantipun akan semakin banyak dan berat. Oleh karena itu,
Allah sudah mengatur pasal-pasal tentang jarimah riddah ini sesuai dengan
ketentuan-Nya yang dapat menjadi petunjuk bagi umat manusia dalam meniti kehidupan
di muka bumi yang fana ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud
dengan Jarimah Riddah itu?
2. Apa dasar hukum jarimah
riddah?
3. Apa saja unsur-unsur
jarimah riddah?
4. Apa saja sanksi/hukuman
bagi jarimah riddah?
5. Apa hikmah membunuh orang murtad?
C. Tujuan
Dibuatnya makalah ini
diharapkan dapat membantu pembaca agar tau tentang jarimah murtad dan
memahaminya.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN AR_RIDDAH
الردة لغة هي الرجع، فالراجع مرتد ومن ذلك قوله تعالى :
{وَلَاتَرْتَدُّوْا عَلٰى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوْا خَاسِرِيْنَ} و تعرف
الردة شرعاً بأنها الرجوع عن الإسلام أو قطع الإسلام وكلا التعبرين بمعنى واحد[1]
“Riddah secara bahasa adalah keluar, yakni seorang muslim yang
keluar dari keislaman menuju kekafiran orang yang keluar tersebut dalam Islam
disebut murtad. Allah SWT berfirman: (dan janganlah kamu lari kebelakang
(karena takut kepada musuh),maka kamu menjadi orang-orang merugi) Dan riddah
secara istilah adalah keluar dari Islam atau lepas dari Islam, kedua kata ini
bermakna satu yaitu Ar Riddah.”
Secara
etimologi, istilah “irtidad”,”riddat” berakar dari kata “raad” berarti
“berbalik kembali”. Menurut al-Raghib al-Asfhani, “murtad”adalah kembali
kejalan dari mana kita datang . ditinjau dari terminology, irtidad atau riddat
adalah kembali kepada kekafiran dari keadaan beriman baikiman itu didahului
oleh kekafiran lain atau tidak.
Menurut
istilah syara’, riddah yaitu meninggalkan agama islam dan menentanganya
setelah agama tersebut dianutnya, dan “riddah” hanya terjadi dikalangan orang
yang telah memeluk islam.
Riddah
menurut Wahbah Al-Zuhaili (1989:142) adalah :
اَلرُّجُوْعُعَنْدِيْنِالإِسْلاَمِإِلَىالْكُفْرِسَوَاءٌبِاالنِّيَّةِأَوْبِاالْفِعْلِالمُكَفِّرِأَوْبِالْقَويل
“Keluar dari Islam
menjadi kafir [sesudah beriman], baik
dengan niat, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan seseorang dikategorikan
kafir”.[2]
Imam al-Nawawy yang dikutip oleh
Haliman, yang dimaksud dengan riddah adalah terputus islam dengan niat
atau perkataan, atau perbuatan yang membawa kekufuran, seperti menyangkal
adanya pencipta Alam mendustakan Rasul-Rasul, menhalalkan yang haram dan sebagainya.Sedangkan riddahdanirtidadmenurutal-Raghib,adalah “al-ruju’ fial-thariq
al-ladziyjaaminhu” [kembalikejalandimanaiadatang]. Akan tetapilafadz riddahkhususuntukkekafiran, sedangkan kata irtidad mencakupkekafiranmaupun
yang lain.
B. Unsur-Unsur Riddah dan Macam-Macamnya
Unsur-unsur riddah
adalah:
a. Keluar dari Islam
b. Ada itikad tidak
baik.
Yang dimaksud dengan
keluar dari Islam disebutkan oleh para ulama ada tiga macam:
a. Murtad dengan
perbuatan atau meninggalkan perbuatan.
b. Murtad dengan
ucapan.
c. Murtad dengan
itikad.
Yang dimaksud murtad
dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya
tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya sebagai
perbuatan yang tidak wajib, baik dengan di sengaja maupun dengan menyepelekan.
Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan Al-Qur’an dan berzina
dengan menganggap zina itu bukan suatu perbuatan yang haram.
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukan kekafiran, seperti
menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak
dilarang.
Adapun murtad dengan itikad adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad
(aqidah) Islam, seperti beritikad kekalnya alam, Allah itu sama dengan makhluk.
Sesungguhnya itikad an sich tidak menyebabkan seorang menjadi kufur
sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berdasarkan hadits
Rasulullah SAW.:
ان الله تجاوز عن امتى ماوسوست اوحدثت به انفسها مالم تعمل به او تكلم
"Sesunggunhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang
menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau
dibicarakan". (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Dengan demikian orang
yang baru beriktikad dalam hatinya dengan iktikad yang bertentangan dengan
Islam, belum dianggap keluar dari Islam dan di dunia secara lahiriahnya tetap
dianggap sebagai muslim dan tidak dikenakan hukuman. Adapun di akhirat
ketentuan dan urusannya diserahkan kepada Allah SWT. Apabila iktikadnya itu
telah diwujudkan dan dibuktikan dengan ucapan atau perbuatan maka ia sudah
termasuk murtad.
Anak dari yang murtad,
baik yang murtad ibu/bapaknya tetap anak muslim. Akan tetapi setelah dewasa ia
harus menyatakan agamanya, sedangkan anak yang di kandung dan dilahirkan oleh
orang murtad untuk selamanya di hukumi sebagai anak kafir.
Suatu prinsip yang di
pegang oleh imam Abu Hanifah, Imam Safi’I, Imam Ahmad, dan Zaidiyah bila
seseorang ibu atau bapak masuk islam, maka anak-anaknya yang masih kecil
dihukumi muslim. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa agama anaknya
mengikuti agama bapaknya. Artinya, jika bapaknya islam, maka anak-anaknya yang
masih kecil di hukumi muslim. Namun demikian, tidak halnya ibunya yang muslim.[3]
Jadi, berdasarkan hadits diatas apapun itikad seseorang muslim yang
bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluarnya dari
Islam sebelum ia mengucapkan atau mengamalkannya.
Kriteria seseorang dikatakan murtad yang dapat diancam hukuman yaitu
apabila didasari dengan niat, perbuatan/perkataan kufur, baik secara
berolok-olok (mempermainkan) atau ingkar terhadap ke-Esa-an allah SWT.
Konsekuensi seseorang yang murtad berarti telah menjadi kafir dan baginya
berlakulah segala ketentuan hokum terhadapnya, sebagaimana hokum yang berlaku
bagi orang kafir. Sedangkan hal-hal yang dapat menjadikan seseorang itu murtad
antara lain disebabkan:
1. Mengaku diri tidak beragama islam.
2. Mengingkari ajara-ajaran islam yang patut atau
yang di anggap patut diketahui, dianggap mudah karena bertentangan dengan hokum
islam dan rukun iman.
3. Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang
haram.
4. Memaki-maki atau mengejek nabi.
5. Memaki islam, membantah isi alquran dan hadits
atau meninggalkan hukumnya.
6. Mendakwahkan bahwa kepadanya ada diturunkan
wahyu.
7. Membuang lembaran al-quran atau hadits dengan
tujuan untuk menghina.
Adapun hukumannya nanti terserah kepada Allah. Diantara contohnya adalah
sihir. Para ulama sepakat terhadap keharaman sihir dan mempelajarinya.[5]
Imam Syafi'i menambahkan syarat pada pidana riddah bahwa pelakunya itu
harus berniat untuk melakukan kekufuran. Sesuai dengan hadits:
انما الاعمال
با لنيات روه البخارى ومسلم عن عمر بن الخطا ب
"Sesungguhnya sahnya segala amal itu tergantung kepada niatnya".
(HR Bukhari dan Muslim dari Umar ibn Khathab).
Jarimah riddah adalah meninggalkan pembenaran syari’at Islam yang dilakukan
dengan beberapa cara, yaitu: melakukan atau meninggalkan suata perbuatan;
mengucapkan; dan berkeyakinan.[6]
Ketiga cara di atas akan dijelaskan dengan beberapa kaidah di bawah ini:
Kaidah Pertama:
Tentang Meninggalkan Kewajiban
“Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam
kepadanya disertai dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar
dari Islam”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang
dibebankan kepadanya oleh syari’at Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu
bukan wajib, maka ia dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar
dari Islam atau telah berbuat jarimah riddah. Misalnya, seseorang tidak mau
melaksanakan shalat wajib dengan alasan bahwa shalat tersebut tidak wajib.
Kaidah ini menjadi sarana untuk membedakan antara jarimah riddah dengan
jarimah lainnya. Sebab, pada perbuatan yang tampak lahirnya sama tetapi bisa
jadi hukumnya berbeda. Orang yang tidak melaksanakan shalat wajib karena malas
tidak dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam, melainkan telah fasiq
atau ashy (pelaku maksiat). Perbuatan ini termasuk jarimah ta’zir.[8]
Hal ini didasarkan atas kebijakan Abu Bakar al-Shiddiq yang telah memerangi
kaum yang menolak membayar zakat. Sebagian penduduk menolak kewajiban
menyerahkan zakat dengan alas an bahwa kewajiban itu hanya berlaku kepada
Rasulullah SAW saja. Abu Bakar mengangggap bahwa orang-orang yang menolak
kewajiban menyerahkan zakat itu harus diperangi (dibunuh) karena telah keluar
dari Islam.[9]
Kaidah Kedua:
Tentang Melakukan Perbuatan yang
Diharamakan
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang diharamkan (Islam) disertai
dengan keyakinan halal melakukannya, maka dia telah keluar dari Islam”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan
syari’at Islam disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang,
maka ia telah keluar dari Islam. Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan
bahwa zina itu tidak haram maka ia telah keluar dari Islam. Apabila ia
melakukannya karena melanggar keharaman diserta keyakinan bahwa perbuatan tersebut
dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau
melakukan jarimah zina.
Penghalalan yang diharamkan, jika disertai alasan yang kuat (ta’wil) dan
ketidaktahuan hukum yang sebenarnya, belum dapat dikualifikasikan telah keluar
dari Islam.
Kidah Ketiga:
Tentang Keyakinan yang
Keluar dari Islam
“Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukan telah
keluar dari Islam”.
Diantara contoh-contoh keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah
keyakinan bahwa Al-Qur’an itu bukan dari Allah melainkan kata-kata Muhammad;
Muhammad adalah pendusta; ada lagi Nabi yang terakhir setelah kenabian
Muhammad; dan Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan
tersebut belum dapat dikualifikasikan jarimah riddah yang dikenai had jika
belum dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Sebab Allah memaafkan umat-Nya
dari apa yang dibisikan hatinya selama belum diungkapakan atau dikerjakan.[12]
C. Dasar Hukum Riddah
1.
Al- Qur’an
وَمَنْ يَرْ تَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُلَىِٰٓكَ حَبِطَتْ أَعْمٰلُهُمْ فِالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ وَأُلَىِٰٓكَ أَصْحَٰبُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا
خٰلِدُونَ {٢١٧}
“Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan akhirat, dan
mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah
ayat 217)
¨bÎ)
šúïÏ%©!$#
(#r‘‰s?ö‘$#
#’n?tã
OÏdÌ»t/÷Šr&
.`ÏiB
ω÷èt/
$tB
tû¨üt7s?
ÞOßgs9
”y‰ßgø9$#
ß`»sÜø‹¤±9$#
tA§qy™
öNßgs9
4’n?øBr&ur
óOßgs9
ÇËÎÈ
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada
kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan
mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka”. (QS.muhammad:25)
`tBur
Æ÷tGö;tƒ
uŽöxî
ÄN»n=ó™M}$#
$YYƒÏŠ
`n=sù
Ÿ@t6ø)ãƒ
çm÷YÏB
uqèdur
’Îû
ÍotÅzFy$#
z`ÏB
z`ƒÌÅ¡»y‚ø9$#
ÇÑÎÈ
“Barangsiapa
mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) dari padanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi”. (QS.
Ali imran: 85)
2.
Hadis
Rasulullah SAW. bersabda:
عن بن عبّاسِ: من بدلدينه
فقتلوه (رواهالبخاري )
Diriwayatkan dari Ibnu
Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mengganti agamanya
(murtad dari Islam), hendaklah kalian membunuhnya.” [H.R Bukhari].
“Jiwa seseorang muslim tidak boleh diganggu (dibunuh), kecuali karena salah
satu dari tiga hal, yaitu: orang yang sudah kawin berzina, jiwa karena membunuh
jiwa. Dan orang yang meninggalkan agamanya dan menjauhi golongannya”.
D. SANKSI RIDDAH
Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman: (a) hukuman pokok, (b)
hukuman pengganti, (c) hukuman tambahan.
Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati, sesuai dengan:
من بدل د ينه فاقتلوه روالبخاري عن ابن عباس
“Barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia” (HR. Bukhari dari ibn Abas).
Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang murtad hukumannya dibunuh baik
laki-laki maupun perempuan. Namun demikian
terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab mengenai perempuan yang
murtad. Menurut abu hanifah, perempuan yang murtad tidak dibunuh melainkan
dihukum penjara dan dipaksa memeluk agama islam kembali. Jika ia mau maka
dilepaskan dari penjara, dan jika tidak mau maka dipenjarakan seumur hidup.
Argumentasinya karena rasulullah SAW. Melarang pembunuhan terhadap perempuan
kafir. Secara analogi, jika perempuan tidak dubunuh karena kekafirannya secara
asli, maka kekafiran karena murtad tentu tidak boleh dibunuh.
Menurut imam malik dan syafi’I, bahwa seorang berpindah agama (murtad)
harus dihukum bunuh, setelah mendapat kesempatan atau keringanan terlebih
dahulu untuk bertaubat. Hal ini berlaku baik bagi laki-laki maupun
perempuan.tetapi bagi perempuan yang sedang menyusui anaknya(mempunyai anak
kecil) hukuman bunuh tehadapnya harus ditunda hingga sempurna susuannya.[13]
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan
untuk bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari
3 malam menurut Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu
untuk bertobat itu harus diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas itu
selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.
Menurut aturan umum yang dipegangi oleh ulama-ulama syafi’iyah, orang yang
tidak dilindungi jiwanya masih dilindungi dalam hubungan dengan orang lain yang
sejenisnya. Orang murtad misalnya tidak dilindungi lagi jiwanya (boleh dibunuh)
akan tetapi masih dilindungi dalam hubungannya dengan orang murtad lainnya.
Jadi orang murtad tidak boleh membunuh terhadap orang lain sesama murtad, dan
kalau ia membunuhnya maka
perbuatannya tersebut dianggap
pembunuhan sengaja, meskipun andaikata ia masuk islam lagi. Akan terapi
fuqoha-fuqoha diluar mazhab syafi’i tidak memakai aturan umum tersebut.[14]
Pada dasarnya pembunuhan orang murtad menjadi wewenang penguasa negara.
Maka kalau ada seseorang biasa membunuhnya tanpa persetujuan (izin) dari
penguasa tersebut maka berarti menyerobot (merampas) wewenang tersebut dan ia
dijatuhi hukuman karena penyerobotannya ini, bukan karena pembunuhannya. Akan
tetapi dikalangan mazhab maliki ada satu pendapat yang menyalahi aturan dasar
tersebut, yaitu bahwa orang murtad meskipun tidak dilindungi jiwanya, namun
orang yang membunuhnya dijatuhi hukuman ta’zir dan hukuman diyat yang harus
diserahkan kepada baitulmall (perbendaharaan negara).[15]
Tobatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua “kalimah syahadah”.
Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa yang dilakuakannya ketika murtad
bertentangan dengan agama Islam.[16]
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan.
Hukuman pengganti itu berupa ta’zir.
Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan hilangnya terpidana untuk
bertasharuf (mengelola) hartanya. Menurut imam malik, syafi’i, dan pendapat
yang paling kuat dalam mazhab hanbali, semua harta orang murtad dirampas.
Menurut imam abu hanifah dan pendapat yang tidak kuat dalam mazhab hanbali,
hanya harta yang diperolehnya sesudah murtad itu saja yang di rampas, sedang
harta yang diperoleh sebelum murtad diberikan kepada keluarga (ahli waris) yang
beragama islam.[17]
Namun demikian, pada intinya hukuman bagi orang yang murtad itu diserahkan
kepada Allah kelak.
E. Hikmah Membunuh Orang Murtad
Islam adalah agama yang
sempurna untuk mengatur kehidupan ini. Barangsiapa yang masuk Islam, dia akan
mengetahui hakikat Islam dan merasakan kenikmatannya. Namun, jika keluar dari
Islam dan murtad setelah memasukinya dan juga mengetahui tentangnya, maka pada
hakikatnya dia benar – benar telah keluar dari kebenaran dan ligika,
mengingkari dalil dan bukti, serta keluar dari akal sehat dan fitrah yang
lurus. Manusia seperti ini tidak patut diberi diberi kesempatan untuk hidup,
tidak perlu dijaga keberadaannya, karena hidupnya tidak punya tujuan yang
mulia, atau tidak ada tujuan yang hendak dicapai. Dari sisi lain, sesungguhnya
keluar dari Islam dan murtad darinya, merupakan bentuk pemberontakan atas
agama, dan pemberontakan ini tidak ada balasannya kecuali hukuman mati. Seperti
dalam hukum positif, bagi pemberontak seperti itu juga dihukum mati.[18]
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ar-riddah secara harfiah berarti kembali. Ar-riddah dalam pembahasan
ini adalah kembalinyaseorang muslim yang berakal dan baligh untuk memmilih
keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan.
Macam-macam ar-riddah:
1.
Riddahdengan
sebab ucapan
2.
Riddah
dengan sebab perbuatan
3. Riddah dengan sebab keyakinan
4. Riddah dengan sebab keraguan
Mengenai hukuman bagi pelaku murtad ( ar-riddah) ada berbagai pendapat:
1. Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman.
2. Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya.
3. Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan
juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.
4. Diserahkan sepenuhnya kepada allah ( pendapat dari Syekh Mahmud
syaltut )
5. Ta’zir ( pendapat dari Mohammad hasyim kamali
Demikianlah
makalah ini kami buat, uraian singkat mengenai pembahasan “Ar-riddah(murtad )”.
Besar harapan kami makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Kamimenyadari
bahwa makalah kami masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami senantiasamengharapkan
masukan dan kritik yang membangun untuk kemajuan bersama.
DAFTAR
PUSTAKA
[1]. Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam
Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, Hal. 116
2.Eldin H. Zainal.Hukum
Pidana Islam Sebuah Perbandingan (Al-MUQARANAH, AL-MAZAHIBI FI AL_JINAYAH),Bandung
Citapustaka Media Perintis 2011
3.Adul Qadirn Audah.Al-Tasyrik
Al-Jinaiy , Juz II Makbah Dar Al-Urubah, Cet.III,Mesir, 1963 M/1383.
4.Muhammad Ibn Abidin.
Hasyiyah Al-Radd Al- Muktamar, Juz Tujuh, Maktabahal-Halaby,Mesir,
1996.
5.Zaid Ibn Abdul Karim
Ibn Ali Ibn Zaid. Al- ‘Afwu An Al- U’qubah Fi Al-Fiqh Al- Islami, Dar Al-‘Asimiyah,
Riyadh, 1408.
6. Saleh,Hasan.Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer,Jakarta:Rajawali
Pers.2008. Hal 462
Hanafi,
Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam .Jakarta : Bulan Bintang, 1990
Zainal.
Eldin H. perbandingan mazhab tentang hukum pidana islam (al-muqaranah
al-mazahib fi al-jinayah.medan. 2015
[1].Audah ‘Abdul Qodir.1992.Tasyri’ al-jina i
al islami.Muassasah Ar-Risalah : Beirut hl 706.
[2]. Saleh,Hasan.Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh
Kontemporer,Jakarta:Rajawali Pers.2008. hal 462
[3] Prof. Dr. H. A.
Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta
: PT. Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 116
[4]. Zainal. Eldin H.
perbandingan mazhab tentang hukum pidana islam (al-muqaranah al-mazahib fi
al-jinayah.medan. 2015. Hal 161-162.
[5].A. Djazuli,
Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT.
Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 116
[6].Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah
Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004, Hal. 160
[7].Ibid
[8]. Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh
Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004, Hal. 161
[10]. Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh
Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004, Hal. 162
[11].Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh
Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy,
2004, Hal. 163
[13] Zainal. Eldin H. perbandingan mazhab tentang hukum
pidana islam (al-muqaranah al-mazahib fi al-jinayah.medan. 2015. Hal 163.
[14] hanafi, ahmad. Asas-asas hukum pidana islam.jakarta
: bulan bintang, 1990, hal,239.
[15].ibid.
[16]. Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya
Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada,
1997, hal. 117
[17] . hanafi, ahmad. Asas-asas hukum pidana
islam.jakarta : bulan bintang, 1990, hal, 278
[18]Yahya Sulaiman Ahmad.2013Ringkasan Fikih
Sunnah Sayyid Sabiq hal 590.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar