Powered By Blogger

Sabtu, 14 Mei 2016

jarimah murtad (ar-riddah)

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Jarimah Riddah merupakan perbuatan yang dilarang oleh Allah yang diancam dengan hukuman diakhirat, yaitu dimasukkan ke neraka selama-lamanya. Namun pada kenyataannya hal tersebut merupakan hal yang  banyak diabaikan oleh kebanyakan orang. Entah memang karena tidak takut akan ancaman Allah SWT. Atau memang karena tidak percaya akan adanya kesengsaraan di neraka. Bila seseorang murtad bukan hanya ucapan melainkan banyak macamnya tentunya hukuman yang akan menantipun akan semakin banyak dan berat. Oleh karena itu, Allah sudah mengatur pasal-pasal tentang jarimah riddah ini sesuai dengan ketentuan-Nya yang dapat menjadi petunjuk bagi umat manusia dalam meniti kehidupan di muka bumi yang fana ini.

B. Rumusan Masalah
1.      Apa yang dimaksud dengan Jarimah Riddah itu?
2.      Apa dasar hukum jarimah riddah?
3.      Apa saja unsur-unsur jarimah riddah?
4.      Apa saja sanksi/hukuman bagi jarimah riddah?
5.      Apa hikmah membunuh orang murtad?

C. Tujuan
Dibuatnya makalah ini diharapkan dapat membantu pembaca agar tau tentang jarimah murtad dan memahaminya.
 BAB II
PEMBAHASAN
A.     PENGERTIAN AR_RIDDAH                 
الردة لغة هي الرجع، فالراجع مرتد ومن ذلك قوله تعالى : {وَلَاتَرْتَدُّوْا عَلٰى أَدْبَارِكُمْ فَتَنْقَلِبُوْا خَاسِرِيْنَ} و تعرف الردة شرعاً بأنها الرجوع عن الإسلام أو قطع الإسلام وكلا التعبرين بمعنى واحد[1]
Riddah secara bahasa adalah keluar, yakni seorang muslim yang keluar dari keislaman menuju kekafiran orang yang keluar tersebut dalam Islam disebut murtad. Allah SWT berfirman: (dan janganlah kamu lari kebelakang (karena takut kepada musuh),maka kamu menjadi orang-orang merugi) Dan riddah secara istilah adalah keluar dari Islam atau lepas dari Islam, kedua kata ini bermakna satu yaitu Ar Riddah.”
Secara etimologi, istilah “irtidad”,”riddat” berakar dari kata “raad” berarti “berbalik kembali”. Menurut al-Raghib al-Asfhani, “murtad”adalah kembali kejalan dari mana kita datang . ditinjau dari terminology, irtidad atau riddat adalah kembali kepada kekafiran dari keadaan beriman baikiman itu didahului oleh kekafiran lain atau tidak.
Menurut istilah syara’, riddah yaitu meninggalkan agama islam dan menentanganya setelah agama tersebut dianutnya, dan “riddah” hanya terjadi dikalangan orang yang telah memeluk islam.
Riddah menurut Wahbah Al-Zuhaili (1989:142) adalah :
اَلرُّجُوْعُعَنْدِيْنِالإِسْلاَمِإِلَىالْكُفْرِسَوَاءٌبِاالنِّيَّةِأَوْبِاالْفِعْلِالمُكَفِّرِأَوْبِالْقَويل
Keluar dari Islam menjadi kafir  [sesudah beriman], baik dengan niat, ucapan atau perbuatan yang menyebabkan seseorang dikategorikan kafir”.[2]
            Imam al-Nawawy yang dikutip oleh Haliman, yang dimaksud dengan riddah adalah terputus islam dengan niat atau perkataan, atau perbuatan yang membawa kekufuran, seperti menyangkal adanya pencipta Alam mendustakan Rasul-Rasul, menhalalkan yang haram dan sebagainya.Sedangkan riddahdanirtidadmenurutal-Raghib,adalah “al-ruju’ fial-thariq al-ladziyjaaminhu” [kembalikejalandimanaiadatang]. Akan tetapilafadz riddahkhususuntukkekafiran, sedangkan kata irtidad mencakupkekafiranmaupun yang lain.
B.     Unsur-Unsur Riddah dan Macam-Macamnya
Unsur-unsur riddah adalah:
a. Keluar dari Islam
b. Ada itikad tidak baik.
Yang dimaksud dengan keluar dari Islam disebutkan oleh para ulama ada tiga macam:
a. Murtad dengan perbuatan atau meninggalkan perbuatan.
b. Murtad dengan ucapan.
c. Murtad dengan itikad.
Yang dimaksud murtad dengan perbuatan adalah melakukan perbuatan yang haram dengan menganggapnya tidak haram atau meninggalkan perbuatan wajib dengan menganggapnya sebagai perbuatan yang tidak wajib, baik dengan di sengaja maupun dengan menyepelekan. Misalnya sujud kepada matahari atau bulan, melemparkan Al-Qur’an dan berzina dengan menganggap zina itu bukan suatu perbuatan yang haram.
Murtad dengan ucapan adalah ucapan yang menunjukan kekafiran, seperti menyatakan bahwa Allah punya anak dengan anggapan bahwa ucapan tersebut tidak dilarang.
Adapun murtad dengan itikad adalah itikad yang tidak sesuai dengan itikad (aqidah) Islam, seperti beritikad kekalnya alam, Allah itu sama dengan makhluk. Sesungguhnya itikad an sich tidak menyebabkan seorang menjadi kufur sebelum dibuktikan dalam bentuk ucapan atau perbuatan, berdasarkan hadits Rasulullah SAW.:
ان الله تجاوز عن امتى ماوسوست اوحدثت به انفسها مالم تعمل به او تكلم
"Sesunggunhnya Allah memaafkan bagi umatku bayangan-bayangan yang menggoda dan bergelora dalam jiwanya selama belum diamalkan atau dibicarakan". (HR Muslim dari Abu Hurairah)
Dengan demikian orang yang baru beriktikad dalam hatinya dengan iktikad yang bertentangan dengan Islam, belum dianggap keluar dari Islam dan di dunia secara lahiriahnya tetap dianggap sebagai muslim dan tidak dikenakan hukuman. Adapun di akhirat ketentuan dan urusannya diserahkan kepada Allah SWT. Apabila iktikadnya itu telah diwujudkan dan dibuktikan dengan ucapan atau perbuatan maka ia sudah termasuk murtad.
Anak dari yang murtad, baik yang murtad ibu/bapaknya tetap anak muslim. Akan tetapi setelah dewasa ia harus menyatakan agamanya, sedangkan anak yang di kandung dan dilahirkan oleh orang murtad untuk selamanya di hukumi sebagai anak kafir.
Suatu prinsip yang di pegang oleh imam Abu Hanifah, Imam Safi’I, Imam Ahmad, dan Zaidiyah bila seseorang ibu atau bapak masuk islam, maka anak-anaknya yang masih kecil dihukumi muslim. Akan tetapi, Imam Malik berpendapat bahwa agama anaknya mengikuti agama bapaknya. Artinya, jika bapaknya islam, maka anak-anaknya yang masih kecil di hukumi muslim. Namun demikian, tidak halnya ibunya yang muslim.[3]

Jadi, berdasarkan hadits diatas apapun itikad seseorang muslim yang bertentangan dengan ajaran Islam tidaklah dianggap menyebabkan keluarnya dari Islam sebelum ia mengucapkan atau mengamalkannya.
Kriteria seseorang dikatakan murtad yang dapat diancam hukuman yaitu apabila didasari dengan niat, perbuatan/perkataan kufur, baik secara berolok-olok (mempermainkan) atau ingkar terhadap ke-Esa-an allah SWT.
Konsekuensi seseorang yang murtad berarti telah menjadi kafir dan baginya berlakulah segala ketentuan hokum terhadapnya, sebagaimana hokum yang berlaku bagi orang kafir. Sedangkan hal-hal yang dapat menjadikan seseorang itu murtad antara lain disebabkan:
1.      Mengaku diri tidak beragama islam.
2.      Mengingkari ajara-ajaran islam yang patut atau yang di anggap patut diketahui, dianggap mudah karena bertentangan dengan hokum islam  dan rukun iman.
3.      Mengharamkan yang halal atau menghalalkan yang haram.
4.      Memaki-maki atau mengejek nabi.
5.      Memaki islam, membantah isi alquran dan hadits atau meninggalkan hukumnya.
6.      Mendakwahkan bahwa kepadanya ada diturunkan wahyu.
7.      Membuang lembaran al-quran atau hadits dengan tujuan untuk menghina.
8.      Memaki, memandang enteng, atau mengejek nama allah SWT.[4]
Adapun hukumannya nanti terserah kepada Allah. Diantara contohnya adalah sihir. Para ulama sepakat terhadap keharaman sihir dan mempelajarinya.[5]
Imam Syafi'i menambahkan syarat pada pidana riddah bahwa pelakunya itu harus berniat untuk melakukan kekufuran. Sesuai dengan hadits:
انما الاعمال با لنيات روه البخارى ومسلم عن عمر بن الخطا ب
"Sesungguhnya sahnya segala amal itu tergantung kepada niatnya". (HR Bukhari dan Muslim dari Umar ibn Khathab).
Jarimah riddah adalah meninggalkan pembenaran syari’at Islam yang dilakukan dengan beberapa cara, yaitu: melakukan atau meninggalkan suata perbuatan; mengucapkan; dan berkeyakinan.[6]
Ketiga cara di atas akan dijelaskan dengan beberapa kaidah di bawah ini:
Kaidah Pertama:
Tentang Meninggalkan Kewajiban
كل من امتنع عن اتيان فعل يوجبه الاسلام مع استحلال عدم اتيانه فهو راجع عن الاسلام[7]
“Setiap orang yang menolak melakukan perbuatan yang diwajibkan Islam kepadanya disertai dengan keyakinan halal meninggalkannya maka dia telah keluar dari Islam”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang tidak menunaikan kewajiban yang dibebankan kepadanya oleh syari’at Islam dengan alasan bahwa perbuatan itu bukan wajib, maka ia dapat dikualifikasikan sebagai orang yang telah keluar dari Islam atau telah berbuat jarimah riddah. Misalnya, seseorang tidak mau melaksanakan shalat wajib dengan alasan bahwa shalat tersebut tidak wajib.
Kaidah ini menjadi sarana untuk membedakan antara jarimah riddah dengan jarimah lainnya. Sebab, pada perbuatan yang tampak lahirnya sama tetapi bisa jadi hukumnya berbeda. Orang yang tidak melaksanakan shalat wajib karena malas tidak dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam, melainkan telah fasiq atau ashy (pelaku maksiat). Perbuatan ini termasuk jarimah ta’zir.[8]
Hal ini didasarkan atas kebijakan Abu Bakar al-Shiddiq yang telah memerangi kaum yang menolak membayar zakat. Sebagian penduduk menolak kewajiban menyerahkan zakat dengan alas an bahwa kewajiban itu hanya berlaku kepada Rasulullah SAW saja. Abu Bakar mengangggap bahwa orang-orang yang menolak kewajiban menyerahkan zakat itu harus diperangi (dibunuh) karena telah keluar dari Islam.[9]
Kaidah Kedua:
 Tentang Melakukan Perbuatan yang Diharamakan
كل من اتى المحر مات مع استحلال اتيانها فهو راجع عن الاسلام.[10]
“Setiap orang yang melakukan perbuatan yang diharamkan (Islam) disertai dengan keyakinan halal melakukannya, maka dia telah keluar dari Islam”.
Kaidah ini mengandung arti bahwa orang yang melanggar larangan-larangan syari’at Islam disertai dengan keyakinan bahwa hal tersebut tidak dilarang, maka ia telah keluar dari Islam. Misalnya, seorang berzina dengan keyakinan bahwa zina itu tidak haram maka ia telah keluar dari Islam. Apabila ia melakukannya karena melanggar keharaman diserta keyakinan bahwa perbuatan tersebut dilarang, ia tidak keluar dari Islam melainkan telah berbuat maksiat atau melakukan jarimah zina.
Penghalalan yang diharamkan, jika disertai alasan yang kuat (ta’wil) dan ketidaktahuan hukum yang sebenarnya, belum dapat dikualifikasikan telah keluar dari Islam.
Kidah Ketiga:
Tentang Keyakinan yang Keluar dari Islam
يعتبر خروجا عن الاسلام كل اعتقادمناف للاسلام[11]
“Setiap keyakinan yang berlawanan dengan (aqidah) Islam menunjukan telah keluar dari Islam”.
Diantara contoh-contoh keyakinan yang bertentangan dengan Islam adalah keyakinan bahwa Al-Qur’an itu bukan dari Allah melainkan kata-kata Muhammad; Muhammad adalah pendusta; ada lagi Nabi yang terakhir setelah kenabian Muhammad; dan Ali bin Abi Thalib adalah Tuhan. Akan tetapi keyakinan-keyakinan tersebut belum dapat dikualifikasikan jarimah riddah yang dikenai had jika belum dinyatakan dengan ucapan atau perbuatan. Sebab Allah memaafkan umat-Nya dari apa yang dibisikan hatinya selama belum diungkapakan atau dikerjakan.[12]
C.     Dasar Hukum Riddah
1.      Al- Qur’an
وَمَنْ يَرْ تَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِيْنِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُلَىِٰٓكَ حَبِطَتْ أَعْمٰلُهُمْ فِالدُّنْيَا وَالْأَخِرَةِ  وَأُلَىِٰٓكَ أَصْحَٰبُ النَّارِ هُمْ فِيْهَا خٰلِدُونَ {٢١٧}
Barang siapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itu sia-sia amalnya di dunia dan akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Q.S Al-Baqarah ayat 217)
¨bÎ) šúïÏ%©!$# (#rs?ö$# #n?tã OÏd̍»t/÷Šr& .`ÏiB Ï÷èt/ $tB tû¨üt7s? ÞOßgs9 yßgø9$#   ß`»sÜø¤±9$# tA§qy öNßgs9 4n?øBr&ur óOßgs9 ÇËÎÈ  
“Sesungguhnya orang-orang yang kembali ke belakang (kepada kekafiran) sesudah petunjuk itu jelas bagi mereka, syaitan telah menjadikan mereka mudah (berbuat dosa) dan memanjangkan angan-angan mereka”. (QS.muhammad:25)
`tBur Æ÷tGö;tƒ uŽöxî ÄN»n=óM}$# $YYƒÏŠ `n=sù Ÿ@t6ø)ムçm÷YÏB uqèdur Îû ÍotÅzFy$# z`ÏB z`ƒÌÅ¡»yø9$# ÇÑÎÈ  
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, Maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan Dia di akhirat Termasuk orang-orang yang rugi”. (QS. Ali imran: 85)
2.      Hadis
Rasulullah SAW. bersabda:
عن بن عبّاسِ: من بدلدينه فقتلوه (رواهالبخاري )
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang mengganti agamanya (murtad dari Islam), hendaklah kalian membunuhnya.” [H.R Bukhari].

“Jiwa seseorang muslim tidak boleh diganggu (dibunuh), kecuali karena salah satu dari tiga hal, yaitu: orang yang sudah kawin berzina, jiwa karena membunuh jiwa. Dan orang yang meninggalkan agamanya dan menjauhi golongannya”.

D.    SANKSI RIDDAH
Perbuatan riddah diancam dengan tiga macam hukuman: (a) hukuman pokok, (b) hukuman pengganti, (c) hukuman tambahan.
Hukuman pokok jarimah riddah adalah hukuman mati, sesuai dengan:
من بدل د ينه فاقتلوه روالبخاري عن ابن عباس
“Barang siapa menggantikan agamanya, maka bunuhlah ia” (HR. Bukhari dari ibn Abas).
Jumhur ulama berpendapat bahwa orang yang murtad hukumannya dibunuh baik laki-laki maupun perempuan. Namun demikian  terjadi perbedaan pendapat di kalangan mazhab mengenai perempuan yang murtad. Menurut abu hanifah, perempuan yang murtad tidak dibunuh melainkan dihukum penjara dan dipaksa memeluk agama islam kembali. Jika ia mau maka dilepaskan dari penjara, dan jika tidak mau maka dipenjarakan seumur hidup. Argumentasinya karena rasulullah SAW. Melarang pembunuhan terhadap perempuan kafir. Secara analogi, jika perempuan tidak dubunuh karena kekafirannya secara asli, maka kekafiran karena murtad tentu tidak boleh dibunuh.
Menurut imam malik dan syafi’I, bahwa seorang berpindah agama (murtad) harus dihukum bunuh, setelah mendapat kesempatan atau keringanan terlebih dahulu untuk bertaubat. Hal ini berlaku baik bagi laki-laki maupun perempuan.tetapi bagi perempuan yang sedang menyusui anaknya(mempunyai anak kecil) hukuman bunuh tehadapnya harus ditunda hingga sempurna susuannya.[13]
Sebelum dilaksanakan hukuman, orang yang murtad itu harus diberi kesempatan untuk bertobat. Waktu yang disediakan baginya untuk bertobat itu adalah 3 hari 3 malam menurut Imam Malik. Menurut Imam Abu Hanifah, ketentuan batas waktu untuk bertobat itu harus diserahkan kepada Ulul Amri, dan batas itu selambat-lambatnya 3 hari 3 malam.
Menurut aturan umum yang dipegangi oleh ulama-ulama syafi’iyah, orang yang tidak dilindungi jiwanya masih dilindungi dalam hubungan dengan orang lain yang sejenisnya. Orang murtad misalnya tidak dilindungi lagi jiwanya (boleh dibunuh) akan tetapi masih dilindungi dalam hubungannya dengan orang murtad lainnya. Jadi orang murtad tidak boleh membunuh terhadap orang lain sesama murtad, dan kalau ia  membunuhnya maka perbuatannya  tersebut dianggap pembunuhan sengaja, meskipun andaikata ia masuk islam lagi. Akan terapi fuqoha-fuqoha diluar mazhab syafi’i tidak memakai aturan umum tersebut.[14]
Pada dasarnya pembunuhan orang murtad menjadi wewenang penguasa negara. Maka kalau ada seseorang biasa membunuhnya tanpa persetujuan (izin) dari penguasa tersebut maka berarti menyerobot (merampas) wewenang tersebut dan ia dijatuhi hukuman karena penyerobotannya ini, bukan karena pembunuhannya. Akan tetapi dikalangan mazhab maliki ada satu pendapat yang menyalahi aturan dasar tersebut, yaitu bahwa orang murtad meskipun tidak dilindungi jiwanya, namun orang yang membunuhnya dijatuhi hukuman ta’zir dan hukuman diyat yang harus diserahkan kepada baitulmall (perbendaharaan negara).[15]
Tobatnya orang yang murtad cukup dengan mengucapkan dua “kalimah syahadah”. Selain itu, ia pun mengakui bahwa apa yang dilakuakannya ketika murtad bertentangan dengan agama Islam.[16]
Hukuman pengganti diberikan apabila hukuman pokok tidak dapat diterapkan. Hukuman pengganti itu berupa ta’zir.
Hukuman tambahan adalah merampas hartanya dan hilangnya terpidana untuk bertasharuf (mengelola) hartanya. Menurut imam malik, syafi’i, dan pendapat yang paling kuat dalam mazhab hanbali, semua harta orang murtad dirampas. Menurut imam abu hanifah dan pendapat yang tidak kuat dalam mazhab hanbali, hanya harta yang diperolehnya sesudah murtad itu saja yang di rampas, sedang harta yang diperoleh sebelum murtad diberikan kepada keluarga (ahli waris) yang beragama islam.[17]
Namun demikian, pada intinya hukuman bagi orang yang murtad itu diserahkan kepada Allah kelak.
E.     Hikmah Membunuh Orang Murtad
Islam adalah agama yang sempurna untuk mengatur kehidupan ini. Barangsiapa yang masuk Islam, dia akan mengetahui hakikat Islam dan merasakan kenikmatannya. Namun, jika keluar dari Islam dan murtad setelah memasukinya dan juga mengetahui tentangnya, maka pada hakikatnya dia benar – benar telah keluar dari kebenaran dan ligika, mengingkari dalil dan bukti, serta keluar dari akal sehat dan fitrah yang lurus. Manusia seperti ini tidak patut diberi diberi kesempatan untuk hidup, tidak perlu dijaga keberadaannya, karena hidupnya tidak punya tujuan yang mulia, atau tidak ada tujuan yang hendak dicapai. Dari sisi lain, sesungguhnya keluar dari Islam dan murtad darinya, merupakan bentuk pemberontakan atas agama, dan pemberontakan ini tidak ada balasannya kecuali hukuman mati. Seperti dalam hukum positif, bagi pemberontak seperti itu juga dihukum mati.[18] 


BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
Ar-riddah secara harfiah berarti kembali. Ar-riddah dalam pembahasan ini adalah kembalinyaseorang muslim yang berakal dan baligh untuk memmilih keyakinan agama lain atas dasar pilihannya bukan atas paksaan.
Macam-macam ar-riddah:
1.                  Riddahdengan sebab ucapan
2.                  Riddah dengan sebab perbuatan
3.    Riddah dengan sebab keyakinan
4.    Riddah dengan sebab keraguan

Mengenai hukuman bagi pelaku murtad ( ar-riddah) ada berbagai pendapat:
1.      Orang yang murtad harus diminta bertobat sebelum dijatuhi hukuman.
2.      Apabila dia menolak bertobat maka wajib membunuhnya.
3.      Orang murtad tidak berhak mendapatkan warisan dari kerabatnya, dan juga mereka tidak bisa mewarisi hartanya.
4.      Diserahkan sepenuhnya kepada allah ( pendapat dari Syekh Mahmud syaltut )
5.      Ta’zir ( pendapat dari Mohammad hasyim kamali

Demikianlah makalah ini kami buat, uraian singkat mengenai pembahasan “Ar-riddah(murtad )”. Besar harapan kami makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua. Kamimenyadari bahwa makalah kami masih banyak kekurangan. Untuk itu, kami senantiasamengharapkan masukan dan kritik yang membangun untuk kemajuan bersama.




DAFTAR PUSTAKA

[1]. Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan Dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, Hal. 116
2.Eldin H. Zainal.Hukum Pidana Islam Sebuah Perbandingan (Al-MUQARANAH, AL-MAZAHIBI FI AL_JINAYAH),Bandung Citapustaka Media Perintis 2011
3.Adul Qadirn Audah.Al-Tasyrik Al-Jinaiy , Juz II Makbah Dar Al-Urubah, Cet.III,Mesir, 1963 M/1383.
4.Muhammad Ibn Abidin. Hasyiyah Al-Radd Al- Muktamar, Juz Tujuh, Maktabahal-Halaby,Mesir, 1996.
5.Zaid Ibn Abdul Karim Ibn Ali Ibn Zaid. Al- ‘Afwu An Al- U’qubah Fi Al-Fiqh Al- Islami, Dar Al-‘Asimiyah, Riyadh, 1408.
6. Saleh,Hasan.Kajian Fiqh Nabawi Dan Fiqh Kontemporer,Jakarta:Rajawali Pers.2008. Hal 462
Hanafi, Ahmad. Asas-Asas Hukum Pidana Islam .Jakarta : Bulan Bintang, 1990
Zainal. Eldin H. perbandingan mazhab tentang hukum pidana islam (al-muqaranah al-mazahib fi al-jinayah.medan. 2015













[1].Audah ‘Abdul Qodir.1992.Tasyri’ al-jina i al islami.Muassasah Ar-Risalah : Beirut hl 706.
[2]. Saleh,Hasan.Kajian Fiqh Nabawi dan Fiqh Kontemporer,Jakarta:Rajawali Pers.2008. hal 462
[3] Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam, Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 116

[4]. Zainal. Eldin H. perbandingan mazhab tentang hukum pidana islam (al-muqaranah al-mazahib fi al-jinayah.medan. 2015. Hal  161-162.
[5].A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 116
[6].Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 160
[7].Ibid
[8]. Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 161
[9].Ibid
[10]. Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 162
[11].Jaih Mubarak dan Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), Bandung: Pustaka Bani Quraisy, 2004, Hal. 163
10.Ibid
[13] Zainal. Eldin H. perbandingan mazhab tentang hukum pidana islam (al-muqaranah al-mazahib fi al-jinayah.medan. 2015. Hal  163.
[14] hanafi, ahmad. Asas-asas hukum pidana islam.jakarta : bulan bintang, 1990, hal,239.
[15].ibid.
[16]. Prof. Dr. H. A. Djazuli, Fiqh Jinayah (Upaya Menanggulangi Kejahatan dalam Islam), Jakarta : PT. Raja Grapindo Persada, 1997, hal. 117
[17] . hanafi, ahmad. Asas-asas hukum pidana islam.jakarta : bulan bintang, 1990, hal, 278
[18]Yahya Sulaiman Ahmad.2013Ringkasan Fikih Sunnah Sayyid Sabiq hal 590. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar