A.
Pendahuluan
Agar
kehidupan suatu umat berjalan secara teratur dan hubungan sesama manusia
berjalan dengan rukun dan damai. Maka diangkatlah seorang pemimpin yang
diberikan kewenangan untuk mengomandoi pelaksanaan aturan yang telab
ditetapkan. Mengingat peranannya yang sangat signifikan, maka dalam Islam
pengangkatan seorang pemimpin adalah sesuatu yang sangat urgen. Bahkan jika ada
tiga orang muslim melakukan perjalanan jauh, Rasulullah menganjurkan agar
salah seorang mereka diangkat sebagai pemimpin.
Seorang
pemimpin dalam Islam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, bukan hanya
menjadi pengarah dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh manusia. Tetapi
ia merupakan khalifah Alfah di dunia yang berperan mengomandoi dan mengarahkan
umat manusia agar mereka melaksanakan aturan dan hukum Allah.
Dalam
era globalisasi ini, masalah kepemimpinan bukan hanya masalah lokal atau
wilayah suatu negara saja. Pengangkatan seorang pemimpin lebih banyak
dipengaruhi oleh permasalahan politik dunia. Apalagi dengan adanya sistem
demokrasi, seorang pemimpin yang akan diangkat adalah yang mempunyai
dukungan terbanyak.
B.
Dasar
dan dalil
Surat Ali Imran ayat 28
![]() |
Artinya:
Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192]
dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya
lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri
dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap
diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).
Ayat
ini menurut Ibnu Abbas turun berkenaan dengan peristiwa adanya hubungan akrab
antara orang Yahudi al-Hajjaj bin Amar, Kahmas bin Abi al-Hagiq dan Qais bin
Zaid dengan beberapa orang anshar. Hubungan itu untuk menimbulkan fitnah dalam
agama. Maka beberapa orang sahabat seperti Rifa'ah bin al-Munzir. Abdullah bin
Jubair dan Sa'id bin Khaitsamah menasehati mereka agar menjauhi orang Yahudi
tersebut dan waspada terhadap fitnah mereka. Namun mereka enggan untuk
mengikuti nasehat mereka dan tetap saja mengadakan hubungan akrab dengan
mereka, maka Allah menurunkan ayat ini[1].
Menurut
riwayat Jubair bin al Dahhak dari Ibnu Abbas Ayat ini turun berkenaan dengan
tindakan 'Ubadah bin Shamit ketika terjadi perang al-Ahzab. 'Ubadah pemah
mengikat perjanjian untuk saling membantu dengan lima ratus orang Yahudi, maka
ketika perang'al-Ahzab tersebut ia berinisiatif dan mengusulkan kepada
Rasulullah untuk minta bantuan mereka menghadapi musuh. Maka Allah menurunkan
ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut[2]
Ayat
ini secara sharih melarang orang-orang yang
beriman menjadikan orang kafir menjadi wali. Kalau dilihat asbab al-nuzul yang
diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ayat ini. yang dimaksud menjadikan wali adalah
menjalin hubungan akrab dengan mereka ( Yahudi ) Sehingga wali itu dijadikan
tempat meminta nasehat dan tempat bercerita, termasuk hal-hal yang sangat pribadi.
Kalau
dilihat dari asbab al-nuzul riwayat Jubair, maka larangan menjadikan mereka
wali maksudnya adalah meminta bantuan kepada. mereka dalam menghadapi musuh.
Namun menurut Abdurrahman al-Sa'di larangan di sini tidak hanya terbatas
seperti dalam asbab al-nuzul, tetapi mencakup larangan untuk menjadikan mereka
pemimpin diwilayah kaum muslimin[3].
Ayat ini juga memberikan pengecualian. Ketika seseorang
terpaksa untuk berwali kepada non muslim, maka dalam rangka menjaga jiwanya ia
dibolehkan Allah mengakui hal tersebut secara lahir, tetapi tidak secara batin.
2. Surat
al-Nisa' ayat 144
![]() |
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan
meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata
bagi Allah (untuk menyiksamu)
Ayat
ini secara sharih juga melarang orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai
wali. Dan Allah mengancam orang yang melakukan itu dengan siksaan-Nya.Ayat ini
berhubungan dengan masalah orang munafiq, yang tidak punya pendirian. Karena
itu al-Syaukani menafsirkan ayat ini dengan mangatakan :'' Jangan kamu jadikan
orang-orang kafir itu tempat curhat dan membuka rahasia seperti yang dilakukan
oleh orang munafik terhadap orang-orang kafir[4].

Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi
pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang
lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka
Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.
Menurut
Athiyah al-'Aufa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang terjadi antara
'Ubadah bin al-Shamit ( salah seorang tokoh Islam dari bani Auf bin Khazraj)
dengan Abdullah bin Ubay bin Salul ( tokoh munafiq ) terikat oleo suatu
perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Qainuqa’
memerangi Rasulullah SAW Abdullah bin Ubai tidak melibatkan diri, dan Ubadah
bin Shamit berangkat menghadap kepada Rasulullah saw. Untuk membersihkan dirir
kepada Allah dan Rasulnya dari ikatan Bani Qinuqa’ itu, serta serta
menggabungkan diri kepada Rasulullah dan menyatakan diri taat hanya kepada
Allah dan Rasullnya. Maka turunlah ayat ini. Yang mengingatkan orang beriman
untuk tetap taat kepada Allah dan Rasulnya dan tidak mengangkat kaum yahudi dan
nashara menjadi pemimpin mereka[5].
Ayat
ini juga menjelaskan dengan sharih tentang larangan menjadikan orang Yahuni dan
Nasrani menjadi wali. Allah mangancam orang-orang yang menjadikan mereka wali
adalah termasuk golongan mereka. Menurut Sayyid Quthub, menjadikan mereka wali
adalah dengan mengadakan kesepakatan dalam hal mengikuti agama mereka[6].
4. Surat
al-Mumtahanah ayat 1:
![]() |
Artinya: Hai orang-orang yang
beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman
setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa
kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang
datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman
kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku
dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan
secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih
sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu
nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya
Dia telah tersesat dari jalan yang lurus.
Ayat
ini turun berkenaan dengan peristiwa Hatib bin Abi Balta'ah. Ketika Nabi SAW
dan para sahabatnya melakukan persiapan untuk futuh Mekah, maka datanglah ke
Madinah Sarah maula Abi Amar bin Shuhaib bin Hisyam. Ia datang bukan karena ia
telah masuk Islam. Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa makanan dan
pakaian. Maka Rasulullah menyerahkannya kepada bani Abdil Muttalib. Mereka
memberinya makanan dan pakaian.
Pada saat itu datanglah Hatib bin Abi Balta'ah . Mereka
menulis surat untuk penduduk Mekah. Hatib memberikan uang sebanyak sepuluh
dinar kepada Sarah dan menyuruhnya menyampaikan surat tersebut kepada penduduk
Mekah. Di dalam surat itu Hatib memberitahukan bahwa Rasulullah SAW ingin
menyerang mereka dan meminta mereka untuk waspada.
Setelah sarah berangkat menuju Mekah , maka turunlah
Jibril memberi tahu Nabi SAW tentang perbuatan Hatib. Nabi memerintahkan
beberapa orang pasukan bekudanya untuk menyusul Sarah. Mereka adalah Ali ,
Ammar, al-Zubair, Talhah, al-Migdad bin al-Aswad dan Ali Martsad. Mereka diperintahkan
untuk mengambil surat tersebut dan membiarkan Sarah berangkat ke Mekah. Tapi
kalau Sarah tidak mau menyerahkan surat itu, maka Nabi memerintahkan untuk
membunuhnya.
Setelah para sahabat tersebut menemukan Sarah, maka
ditanyakanlah perihal surat tersebut. Sarah tidak mengakuinya. Bahkan ia
bersumpah atas nama Allah, bahwa ia tidak membawa surat. Para sahabatpun
memeriksa barang-barangnya, tetapi mereka tidak menemukan surat tersebut.
Ketika mereka ingin kembali ke Mekah, maka berdirilah Ali dan berkata :"
Demi Allah , kami tidak dusta dan tidak bisa didustai". Ali menghunus
pedangnya dan berkata:" Keluarkan surat itu ! kalau tidak aku akan
menyemblih dan memotong lehermu".
Melihat kesungguhan Ali tersebut. akhimya Sarah
mengeluarkan surat itu dari dalam rambutnya. Para sahabat membebaskan Sarah dan
membawa surat tersebut kehadapan Rasulullah SAW. Rasulullah memanggil Hatib dan
bertanya kepadanya perihal surat tersebut. Hatib mengakui perbuatanya. Ia
melakukan itu untuk mengambil perhatian kaum musyrikin agar keluarganya yang
berada di Mekah dijaga. Karena pada dasarnya Hatib bukanlah orang Mekah asli.
Hatib menyatakan bahwa ia melakukannya bukan karena ia
telah kafir dan berbuat curang, bukan pula karena Hatib mencintai kaum
musyrikin. Akhimya Rasulullah SAW menerima alasannya dan memaafkan Hatib. Maka
turunlah ayat ini, berkenaan dengan peristiwa tersebut[7].
Ayat ini juga melarang dengan sharih, menjadikan musuh
Allah dan kaum musyrikin sebagai wali. Meskipun dari segi sebab turun ayat ini,
tertuju kepada kaum musyrikin Mekah, namun para ulama tafsir juga memahami
bahwa larangan ini berlaku untuk semua orang non Islam. Karena pada hakikatnya
mereka adalah musuh Allah. Larangan di sini juga diikuti oleh ancaman bahwa
yang melakukan hal itu telah tersesat dari jalan yang lurus.
Ayat pertama dan kedua ada larangan untuk orang-orang
munafik,dalam ayat pertama secara umum dan pada ayat kedua secara khusus yakni
membantu orang-orang kafir yahudi dan nasrani yang memusuhi Rasulullah dan kaum
mukminin dalam hal-hal yang tidak membawa mamfaat dan maslahat bagi
kaummuslimin.
Hadist - Hadist
yang berhubungan dengan masalah kepemimpinan dalam Islam diantaranya adalah:
a. Hadits Pertama
Artinya: Diriwayatkan dari Auf bin Malik dari
Rasulullah SAW, beliau berkata : " Sebaik-balk pemimpin kamu adalah mereka
yang kamu cintai dan merekapun mencintai kamu, mereka mendoakan kamu dan
kamupun mendoakannya. Dan seburuk-buruk pemimpin kamu adalah mereka yang kamu
benci dan kamupun dibenci oleh mereka, kamu melaknat mereka dan merekapun
melaknat kamu ". Lalu ditanyakan kepada Rasulullah saw. Apakah tidak
sebaiknya kamu perangi saja mereka dengan pedang? Beliau menjawab: jangan,
selama mereka mendirikan sholat. Dan apabila kamu nielihat dari pemimpinmu
sesuatu yang kamu benci,bencilah perbuatannya dan jangan kamu melepaskam diri dari
ketaatan. (HR Muslim.)[8]
Kata-kata menunjukkan bahwa, tidak diizinkan
membangkang terhadap pemimpin (khalifah) dengan semata-mata kedhaliman dan
kefasikannya selagi ia mendirikan sholat[9].
Dan kaum mukmimin dianjurkan mencari pemimpim yang mereka cintai dan selalu
mendoakan mereka. Hal ini tentu lebih layak ditujukan kepada sesama muslim dari
pada terhadap orang non muslim.
b. Hadits Kedua
Artinya: Diriwayatkan dari Junaadah ibn Abi Umayyah,
dia berkata : "Kami datang kepada Ubadah ibn Shomid sementara ia berada
dalam keadaan sakit, kami berkata kepadanya: Semoga Allah SWT menyehatkan
engkau, sampaikanlah sebuah hadits yang engkau dengarkan dari Nabi SAW yang
akan bermamfaatt bagi engkau di sisi Allah SWT Belau berkata : Telah mendakwahi
akan kami Nabi SAW dan kami kemudian membai'atnya, lalu beliau melanjutkan
perkataanny : Beliau telah mengambil baial kami yaitu untuk selalu setia
mendengarkan dan taat dalam keadaan suka ataupun tidak suka dalam keadaan susah
ataupun mudah dan menekankan kepada kami, bahwa tidak akan mencabut suatu
kepemimpinan dari pemegangnya kecuali setelah melihat dia melakukan kekafiran
yang nyata dan kamu punya bukti disisi Allah swti. (HR. Bulchari)[10]
Al khothabi mengatakan bahwa maksud adalah,sedangkan
dalam riwayat At-Tibrani dari Ahmad bin Shaleh dari Ibnu Wahab
disebutkan sedangkan riwayat dari Ismail Ibnu Ubaid yang diriwayatkan oleh
Ahmad dan Hakim lafaznya berbunyi:.[11]
Maksud kata-kata adalah, adanya nash dari
ayat al-Qur'an atau riwayat Hadist sahih yang tidak mungkin ditakwil selain
makna yang dimaksud[12].
c. Hadits ketiga
Artinya: "
Siapa yang mentaatiku, maka sungguh Ia
telah mentaati Allah SWT. Dan siapa yang durhaka kepadaku, sungguh ia telah
durhaka kepada Allah SWT. Siapa yang mentaati amir berarti ia telah taat
kepadaku, dan Siapa yang mendurhakai amir berarti ia durhaka kepadaku.( HR: Muslim )[13]
Hadist ini menunjukkan bahwa mentaati amir adalah bagian
dari mentaati Rasul SAW, mentaati Rasul SAW adalah dalam rangka taat kepada
Allah SWT. Maka mentaati amir adalah bagian dari ibadah bagi seorang muslim.
Maka seorang amir haruslah orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya.
Kekafiran seseorang sudah menjadi bukti yang amat nyata betapa ia tidak mau
takut kepada Allah swt dan Rasul-Nya
Tafsir Ulama
Al-Razi
mengomentari ayat 51 dari surat al-Maidah dengan memaparkan sebuah riwayat dari
Abu Musa al-Asyari, dia berkata kepada Umar bin Khattab bahwa dia memiliki
seorang sekretaris yang beragama nasrani. Apa urusanmu, Allah telah
memerangimu. Sungguh kamu telah mengambil orang yang bengkok. Tidakkah kau
mendengar firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 51. Kemudian Abu Musa
menyanggah, baginya agamanya (nasrani) sedangkan saya hanya membutuhkan
tulisannya. Umar berkata “ saya tidak akan memuliakan mereka yang dihina oleh
Allah, tidak akan memuliakan mereka yang dicela oleh Allah, dan mendekati
mereka yang dijauhi oleh Allah. berkata Abu Musa, ‘tidak akan sempurna perkara
Basrah kecuali dengan ada dia (nasrani). [14]
Masih menurut
al Razi, makna ayat yang berbunyi wa la tattakhidzuhum awliya’ adalah jangan
kamu memohon pertolongan dan meminta belas kasih kepada mereka.
Sementara
al-Zamakhsyari menfasirkan ayat pertama dan kedua sebagai bentuk laranagan umum
untuk menjadikan kaum yahudi dan nasrani sebagai penolong / pemimpin baik karna
adanya kekerabatan mereka dengan kaum muslimin, atau sadaqat mereka. Karna
perkara Cinta dan benci pada Allah adalah suatu bagian yang agung dan penting
dan fundamental serta menjadi salah satu dasar dari keimanan. Sehinga bagi
mereka yang menjadikan kaum yahudi dan nasrani sebagai pemimpin dan penolong
maka pertolongan Allah tidak akan dia peroleh. Artinya dia telah melepasa diri
darai pertolongan Allah. [15]
Lebih spesifik lagi ,
al-Sya’rawi mengomentari ayat-ayat yang berlafadh awliya’. Kata awliya’
terkadang diidhofah (sandar) kan kepada Allah sebagai Khaliq dan terkadang
kepada makhluk. Namun sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala melalui
metode-Nya ingin mengangkat pemimpin berdasarkan keimanan makhluk-Nya kepada
diri-Nya. Dan siapa yang menjadikan mereka penolong, maka tiada baginya
pertolongan dari Allah kenapa ?, karna dia berkeyakinan bahwa orang-orang kafir
tersebut mampu melakukan sesuatu untuk kaum muslimin. Maka oleh karna itu Allah
memperingatkan kita menambahkan penjelasan setelahnya, itu artinya jauhilah
untuk mengharap kekuatan orang kafir dan menjadikan diantara mereka penolong /
pemimpin. [16]
Dari beberapa
komentar Sarjana Tafsir diatas, baik yang berasal dari abad pertengahan maupun
yang hidup diera modern. memiliki kesamaan dalam menafsirkan awliya’ dengan
penolong dan pemimpin. Namun perlu menjadi catatan penting bahwa menjadikan
pemimpin non-Muslim disini adalah pemimpin dalam komunitas muslim / negara
Islam. Sedangkan dalam konteks pemimpin non-muslim dalam negara kafir/
masyarakat mayoritas yang non-muslim maka itu boleh2 saja. Karna dalam ayat 51
surat al-Maidah diatas dimaknai seperti hal tersebut.
Dengan hal ini dapat disimpulkan untuk sementara ada kalangan ulama yang
mengharamkan kaum muslimin untuk mengangkat orang yang tidak Islam sebagai
pemimpin. Baik karna alasan meminta pertolongan kepada mereka atau sekedar
menjadikan mereka pembantu. Karna pada dasarnya tuntutan untuk kaum non-Muslim
adalah mentaati pemimpin yang Muslim. Ini jugalah yang dipahami oleh Imam
al-Sya’rawi dalam kitabnya Tafsir al-Sya’rawi.
Menurut al-Jashash larangan mengangkat pemimpin dari kalangan non-Muslim tidak hanya
dalam menjadikannya sebagai kepala negara, tetapi juga tidak boleh melibatkkan
non-Muslim dalam segala urusan umat Islam, sekalipun ada pertalian darah [17].
Masih ada ayat-ayat lain yang berbicara tentang mengangkat non-muslim sebagai
pemimpin dan penolong. Setidaknya ada 12 termasuk dengan tiga ayat diatas. Ayat
1 Al- Mumtahanah, ayat 118 dan 100 Ali Imran, ayat 22 Al Mujadalah, ayat 141
dan 144 An-Nisa, ayat 73 surat Al-Anfal, ayat 71 dan 8 surat Al-Taubah,
kenadati memiliki redaksi yang berbeda namun mengacu pada satu inti persoalan
yang sama. Yaitu Umat Islam tidak diperkenankan memilih non-Muslim sebagai
pemimpinnya.
Secara garis besar pelarangan memilih pemimpin non-Muslim dalam ayat-ayat
tersebut dibedakan dalam dua kategori. Pertama laranagan secara
eksplisit, Kedua larangan secara implsit. Laranagn secara eksplisit
terdapat pada ayat 22 surat Ali imran diatas, ayat 51 dan 57 surat al- Maidah,
dan ayat 118 surat Ali Imran. Sedangkan larangan secara implisit terdapat pada ayat
22 surat Al-Mujadalah, ayat 8 surat al- Taubah, dan ayat 141 surat an-Nisa’.
bila dicermati Ayat-ayat yang berisi larangan secara eksplisit juga dapat
dibagi menjadi dua kategori, Pertama, Larangan yang bersifat khusus,
yakni larangan terbatas bagi umat Islam memilih non-Muslim dari kalangan yahudi
dan nasrani sebegai pemimpin mereka. Laranagan yang khusus ini terdapat dalam
ayat 51 surat Al Maidah, Kedua larangan yang bersifat umum. Yaitu
larangan bagi umat Islam untuk memilih semua kalangan non-Muslim, baik yahudi,
nasrani maupun yang lainnya sebagai pemimpin mereka.
Argumentasi mengenai tidak bolehnya umat Islam mengangkat non-Muslim sebagai
pemimpin mereka didasarkan pada ayat-ayat diatas. Pertama karna
non-Muslim tidak percaya terhadap kebenaran agama yang dianut oleh umat Islam,
dan ketiika mereka berkuasa mereka bias bertindak sewenang-wenang terhadap umat
Islam, semisla mengusir umat Islam dari tanah kelahirannya. Kedua karena
non-Muslim sering mengejek dan mempermainkan agama yang dianut oleh umat Islam.
Ketiga, karena non-Muslim tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan
bagi umat Islam, suka melihat umat Islam hidup susah, sengsara dan mulut serta
hati mereka menyimpan kebencian terhadap umat Islam. Keempat, karena ketika
telah berhasil menjadi penguasa atas umat Islam non-Muslim tidak akan memihak
kepada kepentingan umat Islam ( al-Taubah :8 ), sebab biasanya mereka akan
lebih berpihak pada perjuangan membela kepentingan umat non-Muslim. Kelima, karena
pada saat berkuasa atas umat Islam , kepala Negara non-Muslim bisa memaksakan
umat Islam untuk murtad dari agama Islam. Dan Kedelapan, karna
hakikatnya orang-orang non-Muslim adalah musul Allah dan umat Islam.
Dengan begitu dapat diperoleh konklusi apa yang melatarbelakangi dilarangnya
menjadikan non-muslim sebagi pemimpin. Jawaban ini sangat variatif, namun
alasan yang sangat penting adalah adanya ketakutan akan terancamnya umat Islam
jika yang menjadi pemimpin adalah orang yang non-muslim.
C.
Mereka yang kontra dan Pro
Ulama, cendikiawan yang tergolong kepada mereka yang menolak pemimpin
non-Muslim diantaranya adalah al- Jashshas, Ibnu al ‘Arabi, al-Zamakhsyari,
Sayyid Qutub, al-Mawardi, al-Juwaini, al-Maududi, Hasan al-Banna, Wahbah
Zuhaili.
Adapun ulama dan cendikiawan yang tergolong membolehkan pemimpin non-Muslim,
mereka adalah 1) Mahmoud Muhammad Taha -cendikiawan asal Sudan, 2) Abdullah
Ahmed an-Na’im- ahli hukum asal sudan yang sering dipandang sebagai jurubicara
bagi gagasan gurunya Mahmoud Muhammad Taha, 3)Thariq al-Bisri – seorang
sejarawan asal Mesir, 4) Asghar Ali Engineer, 5) Muhammad Sa’id al-Asymawi-
sarjana hukum asal Mesir dan pegiat HAM.[18]
Untuk pendapat para ulama / cendikiawan Muslim Indonesia, kita tetap menemukan
ada yang pro dan kontra tentang bolehnya non-Muslim menjadi kepala Negara di
negara yang mayoritas Muslim. Mereka yang kontra adalah KH Ali Yafi,
Prof.Dr.KH.Didin Hafiduddin, Dr. AM Saefuddin, KH. Abdullah Faqih dan KH.
Ma’ruf Amin. Sementara mereka yang mendukung presiden non-Muslim seperi KH.
Abdurrahman Wahid ( Alm ), Prof.Dr.Syafi’I Ma’arif, KH. Hasyim Muzadi, Prof.Dr.
Azyumardi Azra. [19]
Ayat-ayat larangan tentang menjadikan orang non-muslim sebagai penolong/
pemimpin sudah pasti memiliki konteksnya. Ini tentunya memerlukan penelitian
lebih jauh lagi, apakah konteks ayat yang berisi larangan tersebut masihj
sesuai dengan konteks saat ini. Semua pemikiran ulama dan cendikiawan berangkat
dari teks atau ada yang berangkat dari konteks. ini semua masalah interpretasi.
betapa tidak karna semua ayat/ hadits yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam
Islam memiliki keragaman pendapat diantara para ulama. Boleh jadi ulama-ulama
yang masih memegang teks-teks yang melarang masih menganggap berlakunya konteks
ayat tersebut dengan kontkes sekarang, namun sebaliknya para ulama atau
cendikiawan melihat bahwa ayat tersebut tidak lagi sesuai dengan konteks saat
ini.
Contoh terjadinya perbedaan pendapat para ulama adalah apakah pemimpin mesti
berasal dari kalangan Quraiys. Perdebatan ini berdasarkan apa yang selalu
dipandang sebagai hadits Nabi al Aimmatu min Qurays “ pemimpin
mesti berasal dari Qurays ”. Imam al- Baqillani ,al–Bagdhadi, Al-mawardi,
al–Juwaini, dan al-Ghazali tetap menjadikan dalil wajibnya pemimpin dari
Qurays. Berbeda dengan mainstream yang ada, Ibnu Taimiyah dan
Ibnu Khaldun mereka menyatakan, bahwa jika tidak ada maslahat lagi menjadikan
orang qurays sebagai pemimpin maka boleh untuk diserahkan kepada suku lain.
Ibnu Taimiyah sendiri dalam tulisannya lebih menekankan konsep keadilan yang
ditegakkan dari pada melihat status sang pemimpin, baik dia muslim / kafir
boleh saja memimpin selama ditegakkannya pemerintahan yang berkeadilan. Ini
terbukti dalam sebuah pernyataannya
...ان الله يقيم الدولة
العادلة و ان كانت كافرة ولايقيم الظالمة وان كانت مسلمة
... sesungguhnya Allah mendirikan (mendukung)
negara yang adil meskipun negara itu kafir, dan Allah tidak mendukung (negara)
yang zalim sekalipun negara itu Muslim.
Pernytaan Ibnu Taimiyah ini, menurut Munawir Syadzali, dapat ditafsirkan bahwa
negara yang adil meskipun tidak beragam Islam itu lebih baik dari pada kepala
negara yang tidak adil meskipun dia Muslim. [20]
Untuk konteks dunia saat ini dimana sudah sangat jauh berbeda dengan konteks 8
bahkan 10 abad sebelum ini, apalagi isu HAM menjadi sedemikian marak di
dengungkan dan Cicil Society sehingga sangat tepat sekali jika kita memegang
pendapat Ibnu Taimiyah ini sebagai sandaran akan bolehnya mengangkat non-muslim
sebagai pemimpin di negara mayoritas muslim. Contoh konkritnya adalah negara
Nigeria yang 76% dari warganya beragama muslim pernah saat ini dipimpin oleh
seorang kristiani yakni Olusegun Obasanjo – bahkan sangat mengejutkan beliau memimpin
nigeria selama 3 periode. Dan begitu juga Senegal yang penduduknya 91%
beragama Muslim pernah dipimpin oleh seorang presiden yang beragam
nasrani yakni Leopold Sedar Sengor. Dan negara berikutnya adalah Libanon,
dimana penduduknya yang 75% selalu dipimpin dari kalangan Kristiani Maronite.
[21]
D.
Penutup
Dari
bahasan di atas dapat dipahami bahwa pengankatan non muslim untuk menjadi
pemimpin di wilayah kaum muslimin merupakan suatu perbuatan yang melanggar
hukum Islam
Dalam
pandangan Islam- para pemimpin dan rakvat dalam mencapai t(ijuan haruslah
saling mendukung. Rakyat membutuhkan pemimpin dan pemimpinpun membutuhkan
rakyat. Dan jika pemimpin itu dari non Islam, maka al-Qur'an sudah menyatakan
dengan jelas, larangan untuk menjadikan mereka wali.
[1]Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fath
al-Qadir, (Beriut, Dark alFikr, 1994) Juz I, h. 418
[2]
Al-Wahidi,, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, ( Kairo, Matba’ah
al-manar, 1968) h, 58
[3]Al-Sa’did,
Abdurahman bin Nashir, Tafsir al-karim al-Rahman fi Tafsir kalam al-Manar,
( Mu’assasah al-Risalah, 2001), h.128
[7]AI-Wahidi,240, lihat juga Ibnu Katsir, Tafsir
al-Qur'an al-Azhim, (Beirut, Dar alFikr, 1994), Jilid 4, h. 414
[10] Imam
al-Hafidz ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Ba'ri Bi al-Syarh Sahih
al-Bukhari, ( Kairo: Dar al-Hadits, 1998 ), jilid 13. h.10
[11] Ibid h, 11
[12] Ibid
[13] imam an-Nawawi,h.463
[14]Abu Abdullah Muhammad bin ‘Umar
bin al-Hasan masyhur dipanggil Fakhru al-Din al-Razi , Mafatih al-Gaib Ibid
vol. 6 hal. 77
[15] Abul Qasim Mahmud
al-Zamakhsyari, Al-Kasyyaf vol. 1 hal. 265
[16] Muhammad Mutawaali al-Sya’rawi, Tafsri
al-Sya’rawi hal 420
[17] Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy
al Jashash, Ahkam al-Quran. Vol.2 hal. 290
[18] Mujar Ibnu Syarif, Presiden
non-Muslim dinegara Muslim, dalam sebuah kata pengantar oleh Gus Solahudin
Wahid. Hal vi
[19] Ibid
[20] Munawwir Syadzali, Islam dan
Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Hal. 89-90
[21] Mujar Ibnu Syarifhal. 76
Tidak ada komentar:
Posting Komentar