Powered By Blogger

Sabtu, 21 Mei 2016

kepemimpinan dalam islam

A.     Pendahuluan
Agar kehidupan suatu umat berjalan secara teratur dan hubungan sesama manusia berjalan dengan rukun dan damai. Maka diangkatlah seorang pemimpin yang diberikan kewenangan untuk mengomandoi pelaksanaan aturan yang telab ditetapkan. Mengingat peranannya yang sangat signifikan, maka dalam Islam pengangkatan seorang pemimpin adalah sesuatu yang sangat urgen. Bahkan jika ada tiga orang muslim melakukan perjalanan jauh,  Rasulullah menganjurkan agar salah seorang mereka diangkat sebagai pemimpin.

Seorang pemimpin dalam Islam mempunyai tanggung jawab yang sangat besar, bukan hanya menjadi pengarah dalam pelaksanaan kebijakan yang dibuat oleh manusia. Tetapi ia merupakan khalifah Alfah di dunia yang berperan mengomandoi dan mengarahkan umat manusia agar mereka melaksanakan aturan dan hukum Allah.

Dalam era globalisasi ini, masalah kepemimpinan bukan hanya masalah lokal atau wilayah suatu negara saja. Pengangkatan seorang pemimpin lebih banyak dipengaruhi oleh permasalahan politik dunia. Apalagi dengan adanya sistem demokrasi, seorang  pemimpin yang akan diangkat adalah yang mempunyai dukungan terbanyak.

B.     Dasar dan dalil
Surat Ali Imran ayat 28
 







Artinya: Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali[192] dengan meninggalkan orang-orang mukmin. barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. dan hanya kepada Allah kembali (mu).

Ayat ini menurut Ibnu Abbas turun berkenaan dengan peristiwa adanya hubungan akrab antara orang Yahudi al-Hajjaj bin Amar, Kahmas bin Abi al-Hagiq dan Qais bin Zaid dengan beberapa orang anshar. Hubungan itu untuk menimbulkan fitnah dalam agama. Maka beberapa orang sahabat seperti Rifa'ah bin al-Munzir. Abdullah bin Jubair dan Sa'id bin Khaitsamah menasehati mereka agar menjauhi orang Yahudi tersebut dan waspada terhadap fitnah mereka. Namun mereka enggan untuk mengikuti nasehat mereka dan tetap saja mengadakan hubungan akrab dengan mereka, maka Allah menurunkan ayat ini[1].

 Menurut riwayat Jubair bin al­ Dahhak dari Ibnu Abbas Ayat ini turun berkenaan dengan tindakan 'Ubadah bin Shamit ketika terjadi perang al-Ahzab. 'Ubadah pemah mengikat perjanjian untuk saling membantu dengan lima ratus orang Yahudi, maka ketika perang'al-Ahzab tersebut ia berinisiatif dan mengusulkan kepada Rasulullah untuk minta bantuan mereka menghadapi musuh. Maka Allah menurunkan ayat ini berkenaan dengan peristiwa tersebut[2]

Ayat ini secara sharih melarang orang-orang yang beriman menjadikan orang kafir menjadi wali. Kalau dilihat asbab al-nuzul yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ayat ini. yang dimaksud menjadikan wali adalah menjalin hubungan akrab dengan mereka ( Yahudi ) Sehingga wali itu dijadikan tempat meminta nasehat dan tempat bercerita, termasuk hal-hal yang sangat pribadi.
Kalau dilihat dari asbab al-nuzul riwayat Jubair, maka larangan menjadikan mereka wali maksudnya adalah meminta bantuan kepada. mereka dalam menghadapi musuh. Namun menurut Abdurrahman al-Sa'di larangan di sini tidak hanya terbatas seperti dalam asbab al-nuzul, tetapi mencakup larangan untuk menjadikan mereka pemimpin diwilayah kaum muslimin[3].
Ayat ini juga memberikan pengecualian. Ketika seseorang terpaksa untuk berwali kepada non muslim, maka dalam rangka menjaga jiwanya ia dibolehkan Allah mengakui hal tersebut secara lahir, tetapi tidak secara batin.
2. Surat al-Nisa' ayat 144

 





Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu Mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)

Ayat ini secara sharih juga melarang orang mukmin menjadikan orang kafir sebagai wali. Dan Allah mengancam orang yang melakukan itu dengan siksaan-Nya.Ayat ini berhubungan dengan masalah orang munafiq, yang tidak punya pendirian. Karena itu al-Syaukani menafsirkan ayat ini dengan mangatakan :'' Jangan kamu jadikan orang-orang kafir itu tempat curhat dan membuka rahasia seperti yang dilakukan oleh orang munafik terhadap orang-orang kafir[4].



3. Surat al-Maidah ayat 51




Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu); sebahagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, Maka Sesungguhnya orang itu Termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.

Menurut Athiyah al-'Aufa ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa yang terjadi antara 'Ubadah bin al-Shamit ( salah seorang tokoh Islam dari bani Auf bin Khazraj) dengan Abdullah bin Ubay bin Salul ( tokoh munafiq ) terikat oleo suatu perjanjian untuk saling membela dengan Yahudi Bani Qainuqa’. Ketika Qainuqa’ memerangi Rasulullah SAW Abdullah bin Ubai tidak melibatkan diri, dan Ubadah bin Shamit berangkat menghadap kepada Rasulullah saw. Untuk membersihkan dirir kepada Allah dan Rasulnya dari ikatan Bani Qinuqa’ itu, serta serta menggabungkan diri kepada Rasulullah dan menyatakan diri taat hanya kepada Allah dan Rasullnya. Maka turunlah ayat ini. Yang mengingatkan orang beriman untuk tetap taat kepada Allah dan Rasulnya dan tidak mengangkat kaum yahudi dan nashara menjadi pemimpin mereka[5].
Ayat ini juga menjelaskan dengan sharih tentang larangan menjadikan orang Yahuni dan Nasrani menjadi wali. Allah mangancam orang-orang yang menjadikan mereka wali adalah termasuk golongan mereka. Menurut Sayyid Quthub, menjadikan mereka wali adalah dengan mengadakan kesepakatan dalam hal mengikuti agama mereka[6].

4.  Surat al-Mumtahanah ayat 1:
Surat Al Mumtahanah Ayat 1
 












Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita Muhammad), karena rasa kasih sayang; Padahal Sesungguhnya mereka telah ingkar kepada kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad di jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). kamu memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa kasih sayang. aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. dan Barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, Maka Sesungguhnya Dia telah tersesat dari jalan yang lurus.

Ayat ini turun berkenaan dengan peristiwa Hatib bin Abi Balta'ah. Ketika Nabi SAW dan para sahabatnya melakukan persiapan untuk futuh Mekah, maka datanglah ke Madinah Sarah maula Abi Amar bin Shuhaib bin Hisyam. Ia datang bukan karena ia telah masuk Islam. Tetapi, untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa makanan dan pakaian. Maka Rasulullah menyerahkannya kepada bani Abdil Muttalib. Mereka memberinya makanan dan pakaian.
Pada saat itu datanglah Hatib bin Abi Balta'ah . Mereka menulis surat untuk penduduk Mekah. Hatib memberikan uang sebanyak sepuluh dinar kepada Sarah dan menyuruhnya menyampaikan surat tersebut kepada penduduk Mekah. Di dalam surat itu Hatib memberitahukan bahwa Rasulullah SAW ingin menyerang mereka dan meminta mereka untuk waspada.
Setelah sarah berangkat menuju Mekah , maka turunlah Jibril memberi tahu Nabi SAW tentang perbuatan Hatib. Nabi memerintahkan beberapa orang pasukan bekudanya untuk menyusul Sarah. Mereka adalah Ali , Ammar, al-Zubair, Talhah, al-Migdad bin al-Aswad dan Ali Martsad. Mereka diperintahkan untuk mengambil surat tersebut dan membiarkan Sarah berangkat ke Mekah. Tapi kalau Sarah tidak mau menyerahkan surat itu, maka Nabi memerintahkan untuk membunuhnya.
Setelah para sahabat tersebut menemukan Sarah, maka ditanyakanlah perihal surat tersebut. Sarah tidak mengakuinya. Bahkan ia bersumpah atas nama Allah, bahwa ia tidak membawa surat. Para sahabatpun memeriksa barang-barangnya, tetapi mereka tidak menemukan surat tersebut. Ketika mereka ingin kembali ke Mekah, maka berdirilah Ali dan berkata :" Demi Allah , kami tidak dusta dan tidak bisa didustai". Ali menghunus pedangnya dan berkata:" Keluarkan surat itu ! kalau tidak aku akan menyemblih dan memotong lehermu".
Melihat kesungguhan Ali tersebut. akhimya Sarah mengeluarkan surat itu dari dalam rambutnya. Para sahabat membebaskan Sarah dan membawa surat tersebut kehadapan Rasulullah SAW. Rasulullah memanggil Hatib dan bertanya kepadanya perihal surat tersebut. Hatib mengakui perbuatanya. Ia melakukan itu untuk mengambil perhatian kaum musyrikin agar keluarganya yang berada di Mekah dijaga. Karena pada dasarnya Hatib bukanlah orang Mekah asli.
Hatib menyatakan bahwa ia melakukannya bukan karena ia telah kafir dan berbuat curang, bukan pula karena Hatib mencintai kaum musyrikin. Akhimya Rasulullah SAW menerima alasannya dan memaafkan Hatib. Maka turunlah ayat ini, berkenaan dengan peristiwa tersebut[7].
Ayat ini juga melarang dengan sharih, menjadikan musuh Allah dan kaum musyrikin sebagai wali. Meskipun dari segi sebab turun ayat ini, tertuju kepada kaum musyrikin Mekah, namun para ulama tafsir juga memahami bahwa larangan ini berlaku untuk semua orang non Islam. Karena pada hakikatnya mereka adalah musuh Allah. Larangan di sini juga diikuti oleh ancaman bahwa yang melakukan hal itu telah tersesat dari jalan yang lurus.
Ayat pertama dan kedua ada larangan untuk orang-orang munafik,dalam ayat pertama secara umum dan pada ayat kedua secara khusus yakni membantu orang-orang kafir yahudi dan nasrani yang memusuhi Rasulullah dan kaum mukminin dalam hal-hal yang tidak membawa mamfaat dan maslahat bagi kaummuslimin.
Hadist - Hadist yang berhubungan dengan masalah kepemimpinan dalam Islam diantaranya adalah:
a. Hadits Pertama
Artinya: Diriwayatkan dari Auf bin Malik dari Rasulullah SAW, beliau berkata : " Sebaik-balk pemimpin kamu adalah mereka yang kamu cintai dan merekapun mencintai kamu, mereka mendoakan kamu dan kamupun mendoakannya. Dan seburuk-buruk pemimpin kamu adalah mereka yang kamu benci dan kamupun dibenci oleh mereka, kamu melaknat mereka dan merekapun melaknat kamu ". Lalu ditanyakan kepada Rasulullah saw. Apakah tidak sebaiknya kamu perangi saja mereka dengan pedang? Beliau menjawab: jangan, selama mereka mendirikan sholat. Dan apabila kamu nielihat dari pemimpinmu sesuatu yang kamu benci,bencilah perbuatannya dan jangan kamu melepaskam diri dari ketaatan. (HR Muslim.)[8]
Kata-kata menunjukkan bahwa, tidak diizinkan membangkang terhadap pemimpin (khalifah) dengan semata-mata kedhaliman dan kefasikannya selagi ia mendirikan sholat[9]. Dan kaum mukmimin dianjurkan mencari pemimpim yang mereka cintai dan selalu mendoakan mereka. Hal ini tentu lebih layak ditujukan kepada sesama muslim dari pada terhadap orang non muslim.
b. Hadits Kedua
Artinya: Diriwayatkan dari Junaadah ibn Abi Umayyah, dia berkata : "Kami datang kepada Ubadah ibn Shomid sementara ia berada dalam keadaan sakit, kami berkata kepadanya: Semoga Allah SWT menyehatkan engkau, sampaikanlah sebuah hadits yang engkau dengarkan dari Nabi SAW yang akan bermamfaatt bagi engkau di sisi Allah SWT Belau berkata : Telah mendakwahi akan kami Nabi SAW dan kami kemudian membai'atnya, lalu beliau melanjutkan perkataanny : Beliau telah mengambil baial kami yaitu untuk selalu setia mendengarkan dan taat dalam keadaan suka ataupun tidak suka dalam keadaan susah ataupun mudah dan menekankan kepada kami, bahwa tidak akan mencabut suatu kepemimpinan dari pemegangnya kecuali setelah melihat dia melakukan kekafiran yang nyata dan kamu punya bukti disisi Allah swti. (HR. Bulchari)[10]
Al khothabi mengatakan bahwa maksud adalah,sedangkan dalam riwayat At-Tibrani dari Ahmad bin Shaleh dari Ibnu Wahab disebutkan sedangkan riwayat dari Ismail Ibnu Ubaid yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Hakim lafaznya berbunyi:.[11]
Maksud kata-kata   adalah, adanya nash dari ayat al-Qur'an atau riwayat Hadist sahih yang tidak mungkin ditakwil selain makna yang dimaksud[12].

c. Hadits ketiga
Artinya: " Siapa yang mentaatiku, maka sungguh Ia telah mentaati Allah SWT. Dan siapa yang durhaka kepadaku, sungguh ia telah durhaka kepada Allah SWT. Siapa yang mentaati amir berarti ia telah taat kepadaku, dan Siapa yang mendurhakai amir berarti ia durhaka kepadaku.( HR: Muslim )[13]

Hadist ini menunjukkan bahwa mentaati amir adalah bagian dari mentaati Rasul SAW, mentaati Rasul SAW adalah dalam rangka taat kepada Allah SWT. Maka mentaati amir adalah bagian dari ibadah bagi seorang muslim. Maka seorang amir haruslah orang yang taat kepada Allah SWT dan Rasul-Nya. Kekafiran seseorang sudah menjadi bukti yang amat nyata betapa ia tidak mau takut kepada Allah swt dan Rasul-Nya
Tafsir Ulama
Al-Razi mengomentari ayat 51 dari surat al-Maidah dengan memaparkan sebuah riwayat dari Abu Musa al-Asyari, dia berkata kepada Umar bin Khattab bahwa dia memiliki seorang sekretaris yang beragama nasrani. Apa urusanmu, Allah telah memerangimu. Sungguh kamu telah mengambil orang yang bengkok. Tidakkah kau mendengar firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 51. Kemudian Abu Musa menyanggah, baginya agamanya (nasrani) sedangkan saya hanya membutuhkan tulisannya. Umar berkata “ saya tidak akan memuliakan mereka yang dihina oleh Allah, tidak akan memuliakan mereka yang dicela oleh Allah, dan mendekati mereka yang dijauhi oleh Allah. berkata Abu Musa, ‘tidak akan sempurna perkara Basrah kecuali dengan ada dia (nasrani). [14]
Masih menurut al Razi, makna ayat yang berbunyi wa la tattakhidzuhum awliya’ adalah jangan kamu memohon pertolongan dan meminta belas kasih kepada mereka. 
Sementara al-Zamakhsyari menfasirkan ayat pertama dan kedua sebagai bentuk laranagan umum untuk menjadikan kaum yahudi dan nasrani sebagai penolong / pemimpin baik karna adanya kekerabatan mereka dengan kaum muslimin, atau sadaqat mereka. Karna perkara Cinta dan benci pada Allah adalah suatu bagian yang agung dan penting dan fundamental serta menjadi salah satu dasar dari keimanan. Sehinga bagi mereka yang menjadikan kaum yahudi dan nasrani sebagai pemimpin dan penolong maka pertolongan Allah tidak akan dia peroleh. Artinya dia telah melepasa diri darai pertolongan Allah. [15]
Lebih spesifik lagi , al-Sya’rawi mengomentari ayat-ayat yang berlafadh awliya’. Kata awliya’ terkadang diidhofah (sandar) kan kepada Allah sebagai Khaliq dan terkadang kepada makhluk.  Namun sesungguhnya Allah subhanahu wa ta’ala melalui metode-Nya ingin mengangkat pemimpin berdasarkan keimanan makhluk-Nya kepada diri-Nya. Dan siapa yang menjadikan mereka penolong, maka tiada baginya pertolongan dari Allah kenapa ?, karna dia berkeyakinan bahwa orang-orang kafir tersebut mampu melakukan sesuatu untuk kaum muslimin. Maka oleh karna itu Allah memperingatkan kita menambahkan penjelasan setelahnya, itu artinya jauhilah untuk mengharap kekuatan orang kafir dan menjadikan diantara mereka penolong / pemimpin. [16]
Dari beberapa komentar Sarjana Tafsir diatas, baik yang berasal dari abad pertengahan maupun yang hidup diera modern. memiliki kesamaan dalam menafsirkan awliya’ dengan penolong dan pemimpin. Namun perlu menjadi catatan penting bahwa menjadikan pemimpin non-Muslim disini adalah pemimpin dalam komunitas muslim / negara Islam. Sedangkan dalam konteks pemimpin non-muslim dalam negara kafir/ masyarakat mayoritas yang non-muslim maka itu boleh2 saja. Karna dalam ayat 51 surat al-Maidah diatas dimaknai seperti hal tersebut.
            Dengan hal ini dapat disimpulkan untuk sementara ada kalangan ulama yang mengharamkan kaum muslimin untuk mengangkat orang yang tidak Islam sebagai pemimpin. Baik karna alasan meminta pertolongan kepada mereka atau sekedar menjadikan mereka pembantu. Karna pada dasarnya tuntutan untuk kaum non-Muslim adalah mentaati pemimpin yang Muslim. Ini jugalah yang dipahami oleh Imam al-Sya’rawi dalam kitabnya Tafsir al-Sya’rawi.
            Menurut al-Jashash larangan mengangkat pemimpin dari kalangan non-Muslim tidak hanya dalam menjadikannya sebagai kepala negara, tetapi juga tidak boleh melibatkkan non-Muslim dalam segala urusan umat Islam, sekalipun ada pertalian darah [17].
            Masih ada ayat-ayat lain yang berbicara tentang mengangkat non-muslim sebagai pemimpin dan penolong. Setidaknya ada 12 termasuk dengan tiga ayat diatas. Ayat 1 Al- Mumtahanah, ayat 118 dan 100 Ali Imran, ayat 22 Al Mujadalah, ayat 141 dan 144 An-Nisa, ayat 73 surat Al-Anfal, ayat 71 dan 8 surat Al-Taubah, kenadati memiliki redaksi yang berbeda namun mengacu pada satu inti persoalan yang sama. Yaitu Umat Islam tidak diperkenankan memilih non-Muslim sebagai pemimpinnya.
            Secara garis besar pelarangan memilih pemimpin non-Muslim dalam ayat-ayat tersebut dibedakan dalam dua kategori. Pertama laranagan secara eksplisit, Kedua larangan secara implsit. Laranagn secara eksplisit terdapat pada ayat 22 surat Ali imran diatas, ayat 51 dan 57 surat al- Maidah, dan ayat 118 surat Ali Imran. Sedangkan larangan secara implisit terdapat pada ayat 22 surat Al-Mujadalah, ayat 8 surat al- Taubah, dan ayat 141 surat an-Nisa’.
            bila dicermati Ayat-ayat yang berisi larangan secara eksplisit juga dapat dibagi menjadi dua kategori, Pertama, Larangan yang bersifat khusus, yakni larangan terbatas bagi umat Islam memilih non-Muslim dari kalangan yahudi dan nasrani sebegai pemimpin mereka. Laranagan yang khusus ini terdapat dalam ayat 51 surat Al Maidah, Kedua larangan yang bersifat umum. Yaitu larangan bagi umat Islam untuk memilih semua kalangan non-Muslim, baik yahudi, nasrani maupun yang lainnya sebagai pemimpin mereka.
            Argumentasi mengenai tidak bolehnya umat Islam mengangkat non-Muslim sebagai pemimpin mereka didasarkan pada ayat-ayat diatas. Pertama karna non-Muslim tidak percaya terhadap kebenaran agama yang dianut oleh umat Islam, dan ketiika mereka berkuasa mereka bias bertindak sewenang-wenang terhadap umat Islam, semisla mengusir umat Islam dari tanah kelahirannya. Kedua karena non-Muslim sering mengejek dan mempermainkan agama yang dianut oleh umat Islam. Ketiga, karena non-Muslim tidak henti-hentinya menimbulkan kemudharatan bagi umat Islam, suka melihat umat Islam hidup susah, sengsara dan mulut serta hati mereka menyimpan kebencian terhadap umat Islam. Keempat, karena ketika telah berhasil menjadi penguasa atas umat Islam non-Muslim tidak akan memihak kepada kepentingan umat Islam ( al-Taubah :8 ), sebab biasanya mereka akan lebih berpihak pada perjuangan membela kepentingan umat non-Muslim. Kelima, karena pada saat berkuasa atas umat Islam , kepala Negara non-Muslim bisa memaksakan umat Islam untuk murtad dari agama Islam. Dan Kedelapan, karna hakikatnya orang-orang non-Muslim adalah musul Allah dan umat Islam. 
            Dengan begitu dapat diperoleh konklusi apa yang melatarbelakangi dilarangnya menjadikan non-muslim sebagi pemimpin. Jawaban ini sangat variatif, namun alasan yang sangat penting adalah adanya ketakutan akan terancamnya umat Islam jika yang menjadi pemimpin adalah orang yang non-muslim.       
C.    Mereka yang kontra dan Pro
            Ulama, cendikiawan yang tergolong kepada mereka yang menolak pemimpin non-Muslim diantaranya adalah al- Jashshas, Ibnu al ‘Arabi, al-Zamakhsyari, Sayyid Qutub, al-Mawardi, al-Juwaini, al-Maududi, Hasan al-Banna, Wahbah Zuhaili.  
            Adapun ulama dan cendikiawan yang tergolong membolehkan pemimpin non-Muslim, mereka adalah 1) Mahmoud Muhammad Taha -cendikiawan asal Sudan, 2) Abdullah Ahmed an-Na’im- ahli hukum asal sudan yang sering dipandang sebagai jurubicara bagi gagasan gurunya Mahmoud Muhammad Taha, 3)Thariq al-Bisri – seorang sejarawan asal Mesir, 4) Asghar Ali Engineer, 5) Muhammad Sa’id al-Asymawi- sarjana hukum asal Mesir dan pegiat HAM.[18] 
            Untuk pendapat para ulama / cendikiawan Muslim Indonesia, kita tetap menemukan ada yang pro dan kontra tentang bolehnya non-Muslim menjadi kepala Negara di negara yang mayoritas Muslim. Mereka yang kontra adalah KH Ali Yafi, Prof.Dr.KH.Didin Hafiduddin, Dr. AM Saefuddin, KH. Abdullah Faqih dan KH. Ma’ruf Amin. Sementara mereka yang mendukung presiden non-Muslim seperi KH. Abdurrahman Wahid ( Alm ), Prof.Dr.Syafi’I Ma’arif, KH. Hasyim Muzadi, Prof.Dr. Azyumardi Azra. [19]
             Ayat-ayat larangan tentang menjadikan orang non-muslim sebagai penolong/ pemimpin sudah pasti memiliki konteksnya. Ini tentunya memerlukan penelitian lebih jauh lagi, apakah konteks ayat yang berisi larangan tersebut masihj sesuai dengan konteks saat ini. Semua pemikiran ulama dan cendikiawan berangkat dari teks atau ada yang berangkat dari konteks. ini semua masalah interpretasi. betapa tidak karna semua ayat/ hadits yang berkaitan dengan kepemimpinan dalam Islam memiliki keragaman pendapat diantara para ulama. Boleh jadi ulama-ulama yang masih memegang teks-teks yang melarang masih menganggap berlakunya konteks ayat tersebut dengan kontkes sekarang, namun sebaliknya para ulama atau cendikiawan melihat bahwa ayat tersebut tidak lagi sesuai dengan konteks saat ini.
            Contoh terjadinya perbedaan pendapat para ulama adalah apakah pemimpin mesti berasal dari kalangan Quraiys. Perdebatan ini berdasarkan apa yang selalu dipandang sebagai hadits Nabi al Aimmatu min Qurays “  pemimpin mesti berasal dari Qurays ”.  Imam al- Baqillani ,al–Bagdhadi, Al-mawardi, al–Juwaini, dan al-Ghazali tetap menjadikan dalil wajibnya pemimpin dari Qurays. Berbeda dengan mainstream yang ada, Ibnu Taimiyah dan Ibnu Khaldun mereka menyatakan, bahwa jika tidak ada maslahat lagi menjadikan orang qurays sebagai pemimpin maka boleh untuk diserahkan kepada suku lain.
            Ibnu Taimiyah sendiri dalam tulisannya lebih menekankan konsep keadilan yang ditegakkan dari pada melihat status sang pemimpin, baik dia muslim / kafir boleh saja memimpin selama ditegakkannya pemerintahan yang berkeadilan. Ini terbukti dalam sebuah pernyataannya
...ان الله يقيم الدولة العادلة و ان كانت كافرة ولايقيم الظالمة وان كانت مسلمة
... sesungguhnya Allah mendirikan (mendukung) negara yang adil meskipun negara itu kafir, dan Allah tidak mendukung (negara) yang zalim sekalipun negara itu Muslim.
            Pernytaan Ibnu Taimiyah ini, menurut Munawir Syadzali, dapat ditafsirkan bahwa negara yang adil meskipun tidak beragam Islam itu lebih baik dari pada kepala negara yang tidak adil meskipun dia Muslim. [20]
            Untuk konteks dunia saat ini dimana sudah sangat jauh berbeda dengan konteks 8  bahkan 10 abad sebelum ini, apalagi isu HAM menjadi sedemikian marak di dengungkan dan Cicil Society sehingga sangat tepat sekali jika kita memegang pendapat Ibnu Taimiyah ini sebagai sandaran akan bolehnya mengangkat non-muslim sebagai pemimpin di negara mayoritas muslim. Contoh konkritnya adalah negara Nigeria yang 76% dari warganya beragama muslim pernah saat ini dipimpin oleh seorang kristiani yakni Olusegun Obasanjo – bahkan sangat mengejutkan beliau memimpin nigeria selama 3 periode. Dan begitu juga Senegal yang penduduknya 91% beragama  Muslim pernah dipimpin oleh seorang presiden yang beragam nasrani yakni Leopold Sedar Sengor. Dan negara berikutnya adalah Libanon, dimana penduduknya yang 75% selalu dipimpin dari kalangan Kristiani Maronite. [21]
D.    Penutup
Dari bahasan di atas dapat dipahami bahwa pengankatan non muslim untuk menjadi pemimpin di wilayah kaum muslimin merupakan suatu perbuatan yang melanggar hukum Islam

Dalam pandangan Islam- para pemimpin dan rakvat dalam mencapai t(ijuan haruslah saling mendukung. Rakyat membutuhkan pemimpin dan pemimpinpun membutuhkan rakyat. Dan jika pemimpin itu dari non Islam, maka al-Qur'an sudah menyatakan dengan jelas, larangan untuk menjadikan mereka wali.



[1]Al-Syaukani, Muhammad bin Ali, Fath al-Qadir, (Beriut, Dark alFikr, 1994) Juz I, h. 418
[2] Al-Wahidi,, Abi al-Hasan Ali bin Ahmad, Asbab al-Nuzul, ( Kairo, Matba’ah al-manar, 1968) h, 58
[3]Al-Sa’did, Abdurahman bin Nashir, Tafsir al-karim al-Rahman fi Tafsir kalam al-Manar, ( Mu’assasah al-Risalah, 2001), h.128
[4] Al-Syaukani, Jilid I, h. 669
[5] Al-Wahidi,h. 113
[6] Sayyid Qutub, Fi Zhilal al-Qur’an, ( Beriut, Ihya’ al-Turast al-‘Arabi, 1971) Juz IV, h. 759
[7]AI-Wahidi,240, lihat juga Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur'an al-Azhim, (Beirut, Dar al­Fikr, 1994), Jilid 4, h. 414
[8] Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, ( Kairo: Dar al Hadits, 1994), Jilid 6h.486
[9] Ibid
[10] Imam al-Hafidz ibn Ali ibn Hajar al-Asqalani, Fathul Ba'ri Bi al-Syarh Sahih al-Bukhari, ( Kairo: Dar al-Hadits, 1998 ), jilid 13. h.10
[11] Ibid h, 11
[12] Ibid
[13] imam an-Nawawi,h.463
[14]Abu Abdullah Muhammad bin ‘Umar bin al-Hasan masyhur dipanggil Fakhru al-Din al-Razi , Mafatih al-Gaib Ibid vol. 6 hal. 77
[15] Abul Qasim Mahmud al-Zamakhsyari, Al-Kasyyaf vol. 1 hal. 265
[16] Muhammad Mutawaali al-Sya’rawi, Tafsri al-Sya’rawi hal 420
[17] Abu Bakar Ahmad Ibn Ali al-Razy al Jashash, Ahkam al-Quran. Vol.2 hal. 290
[18] Mujar Ibnu Syarif, Presiden non-Muslim dinegara Muslim, dalam sebuah kata pengantar oleh Gus Solahudin Wahid. Hal vi
[19] Ibid
[20] Munawwir Syadzali, Islam dan Tata Negara Ajaran, Sejarah dan Pemikiran. Hal. 89-90
[21] Mujar Ibnu Syarifhal. 76

Tidak ada komentar:

Posting Komentar