BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Ketika ada seseorang meninggal yang disebut dengan pewaris
meninggalkan harta warisannya dan ahli waris, maka ahli waris harus mendapatkan harta warisan sesuai dengan
bagiannya masing-masing.
Di dalam Hukum Waris Islam ada masalah-masalah kewarisan
yang diselesaikan secara khusus. Masalah-masalah
khusus dalam kewarisan ini adalah persoalan-persoalan kewarisan yang
penyelesaiannya menyimpang dari penyelesaian yang biasa, dengan kata lain
pembagian harta warisan itu tidak dilakukan sebagaimana biasanya.
Masalah-masalah khusus ini timbul karena adanya kejanggalan apabila
penyelesaian pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara biasa. Untuk
menghilangkan kejanggalan tersebut, maka penyelesaian pembagian harta warisan itu
dilakukan secara khusus.
Dalam makalah ini akan membahas tentang aul dan radd yaitu
ketika pembagian harta warisan terjadi kekurangan ataupun kelebihan harta.
BAB II
PEMBAHASAN
1. ‘Aul
Al-‘aul
dalam bahasa Arab mempunyai banyak
arti, diantaranya zalim dan menyeleweng seperti dalam surat An-Nisa ayat 3
yaitu :
÷bÎ)ur ÷LäêøÿÅz žwr& (#qäÜÅ¡ø)è? ’Îû 4‘uK»tGu‹ø9$# (#qßsÅ3R$$sù $tB z>$sÛ Nä3s9 z`ÏiB Ïä!$|¡ÏiY9$# 4Óo_÷WtB y]»n=èOur yì»t/â‘ur ( ÷bÎ*sù óOçFøÿÅz žwr& (#qä9ω÷ès? ¸oy‰Ïnºuqsù ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNä3ãY»yJ÷ƒr& 4 y7Ï9ºsŒ #’oT÷Šr& žwr& (#qä9qãès? ÇÌÈ
Artinya:
Dan jika kamu takut tidak akan dapat Berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan
yang yatim (bilamana kamu mengawininya), Maka kawinilah wanita-wanita (lain)
yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat Berlaku adil[265], Maka (kawinilah) seorang saja[266], atau budak-budak
yang kamu miliki. yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya. (Q.S.
An-Nisa: 3) [1]
[265] Berlaku adil ialah perlakuan yang adil dalam
meladeni isteri seperti pakaian, tempat, giliran dan lain-lain yang bersifat
lahiriyah.
[266] Islam memperbolehkan poligami dengan
syarat-syarat tertentu. sebelum turun ayat ini poligami sudah ada, dan pernah
pula dijalankan oleh Para Nabi sebelum Nabi Muhammad s.a.w. ayat ini membatasi
poligami sampai empat orang saja.
Definisi al-‘aul menurut istilah yaitu bertambahnya jumlah harta waris dari
yang telah ditentukan dan berkurangnya bagian para ahli waris.
Aul adalah suatu situasi dimana fard
/ saham-saham para ahli waris yang berkumpul dalam mewarisi melebihi dari harta
yang dibagi.[2]
Terjadinya masalah aul apabila
terjadi angka pembilang lebih besar dari angka penyebut (mislanya 8/6),
sedangkan biasanya harta selalu dibagi dengan penyebutnya, namun apabila hal
ini dilakukan akan terjadi kesenjangan pendapatan, dan menimbulkan persoalan
yaitu siapa yang lebih diutamakan dari para ahli waris tersebut.[3]
Apabila ahli waris terdiri atas dzul
faraa-idh dan dzul qarabat maka harta peninggalan akan habis terbagi pada pembagian pertama yaitu dengan cara dzul
faraa-idh mendapat bagiannya masing-masing dan sisanya untuk dzul qarabat.
Demikian pula jika ahli waris hanya terdiri atas dzul qarabat maka harta akan
habis pada pembagian pertama. Tetapi jika ahli waris hanya terdiri dari dzul
faraa-idh maka ada dua kemungkinan yaitu pada pembagian pertama harta akan
habis sedangkan pada pembagian ke dua akan terdapat sisa harta.[4]Dalam
penerima waris itu semuanya adalah dzul faraaidh dapat pula terjadi ketekoran.
Ketekoran ini berupa hasil pembagian pertama lebih dari 1 (satu). Hal ini
diselesaikan dengan pengurangan bagian masing-masing ahli waris tadi secara
berimbang. Pengurangan secara berimbang ini disebut ‘aul.
Contoh masalah aul yaitu apabila
ahli waris terdiri dari suami (1/2), seorang saudara perempuan kandung (1/2)
dan seorang saudara perempuan ibu (1/6) maka tidak dibenarkan penyisihannya
saudara perempuan seibu dengan alasan harta warisan telah habis terbagi kepada
suami dan saudara perempuan kandung. Kasus ini disebut masalah aul.[5]
Pokok
masalah yang ada di dalam ilmu faraid ada tujuh. Tiga diantaranya dapat di 'aul kan sedangkan yang empat tidak
dapat. Ketiga pokok masalah yang dapat di aul
kan adalah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat (24), sedangkan
pokok masalah yang tidak dapat di aul kan
ada empat, yaitu dua (2), tiga (3), empat (4), dan delapan (8).
Sebagai
contoh: seorang wafat dan meninggalkan ayah dan ibu pembagiannya: ibu
mendapatkan sepertiga (1/3) bagian, dan sisanya menjadi bagian ayah. Dalam
contoh ini pokok masalahnya tiga (3) jadi ibu mendapatkan satu bagian dan ayah
mendapatkan dua bagian. Pokok masalah dalam contoh tidak dapat di aulkan, sebab
pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para asbhabul furudh. [6]
Angka-angka
pokok yang dapat diaul kan ialah enam (6), dua belas (12), dan dua puluh empat
(24). Namun, ketiga pokok masalah itu masing-masing berbeda dan mempunyai sifat
tersendiri. Sebagai misal, angka enam (6) hanya dapat di aul kan sehingga angka
sepuluh (10), yakni dapat naik menjadi 7, 8, 9 atau 10. Lebih dari angka itu
tidak bisa. Berarti pokok masalah enam (6) hanya dapat dinaikkan empat kali
saja.
Kemudian
pokok masalah dua belas (12) hanya dapat dinaikkan hingga tujuh belas (17),
namun hanya untuk angka ganjilnya. Lebih dari itu tidak bisa. Maka angka dua
belas (12) hanya dapat di aul kan tiga kali saja.
Sedangkan
pokok masalah 24 hanya dapat di aul kan kepada 27 saja, dan itu pun hanya pada
satu masalah faraid ysng memang masyur dikalangan ulama faraid dengan sebutan
"masalah al-mimbariyyah".
Ø Contoh
‘Aul Pokok Masalah Enam (6)
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan dan
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalah dari
enam (6). Bagian suami setengah (½)
berarti tiga, bagian saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga,
sedangakan saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam
contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok
masalah enam harus dinaikan menjadi 7. Dengan demikian, jumlah bagian (fardh-nya)
cocok dengan pokok masalahnya.
Ø Contoh ‘Aul
Pokok Masalah Dua Belas (12)
Pokok masalah dua belas hanya dapat di’aul kan tiga kali saja, yaitu
menjadi tiga belas (13) lima belas (15) atau tujuh belas (17). Berikut ini saya
berikan contoh-contohnya:
1. Seorang wafat dan meninggalkan istri, ibu, dan dua orang saudara kandung
perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalahnya dari dua belas
(12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6)
berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan dua pertiga
(2/3) berarti delapan bagian. Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah
melebihi pokok masalahnya, yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi
tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.[7]
2. Seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu, seorang saudara
kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah, dan seorang saudara
perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut: pokok masalah 12. Bagian
istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua
bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam
bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) sebagai
penyempurnaan dua pertiga berarti dua bagian, dan bagian saudara perempuan
seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian. Jumlah bagian dalam contoh ini
telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok
masalahnya di aul kan menjadi lima belas (15).
3. Seorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan
orang saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya seperti berikut: pokok masalahnya dua belas. Bagian ketiga orang
istri adalah seperempat (¼) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek
adalah (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah
(2/3)-nya berarti delapan bagian dan bagian keempat saudara perempuan seibu 1/3
yang berarti empat bagian. Karena itu pokok masalahnya di aul kan menjadi tujuh belas (17).
Ø Contoh ‘aul
dua puluh empat (24)
Pokok masalah dua puluh empat hanya dapat di ‘aulkan menjadi angka dua
puluh tujuh. Selain itu, pokok masalah ini hanya ada dalam kasus yang oleh
ulama’ faraidh dikenal dengan masalah al-mimbariyah. Dinamakan al-mimbariyah karena perkara tersebut
diajukan kepada Ali bin Abi Tholib sewaktu masih berada di atas mimbar dan
langsung memutuskannya sewaktu masih di atas mimbar.
Contoh : seorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak
perempuan dan cucu perempuan dari keturunan anak laki-laki. Maka pembagiannya
seperti ini : pokok masalah dua puluh empat, ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memproleh
seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri mendapat seperdelapan (1/8) berarti
tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian,
sedangkan cucu perempuan keturunan dari anak laki-laki mendapat seperenam (1/6)
berarti empat bagian.
Dalam contoh tersebut tampak jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau
yang menjadi hak asbabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena
itu kita harus meng-‘aul-kan pokok masalahnya hingga sesuai dengan jumlah
bagian yang harus diberikan kepada para asbabul furudh. Sekali lagi
ditegaskan, dalam masalah al-mimbariyah ini pokok masalah dua puluh
empat hanya bisa di-‘aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.
Contoh disertai harta warisan:
seorang meninggal harta warisannya Rp.
60.000.000,- Ahli warisnya terdiri dari : istri, ibu, dua saudara perempuan
sekandung dan saudara seibu. Bagian masing-masing :
Penyelesaiannya :
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
12
|
Rp. 60.000.000,-
|
|||
Istri. 1/4.
|
3
|
3 /12 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp. 15.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
2
|
2 /12 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp. 10.000.000,-
|
|
2 Sdr.skd. 2/3.
|
8
|
8 /12 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp. 40.000.000,-
|
|
Sdr.seibu. 1/6.
|
2
|
2 /12 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp. 10.000.000,-
|
|
15
|
Jumlah
|
Rp. 75.000.000,-
|
Hasilnya terjadi kekurangan sebesar
Rp. 15.000.000,-. Apabila diselesaikan dengan cara aul, maka dapat diperoleh :
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
12 menjadi 15
|
Rp. 60.000.000,-
|
|||
Istri. 1/4.
|
3
|
3 /15 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp. 12.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
2
|
2 /15 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp. 8.000.000,-
|
|
2 Sdr.skd. 2/3.
|
8
|
8 /15 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp. 32.000.000,-
|
|
Sdr.seibu. 1/6.
|
2
|
2 /15 x Rp. 60.000.000,-
|
Rp. 8.000.000,-
|
|
15
|
Jumlah
|
Rp. 60.000.000,-
|
2. Radd
Ar-radd artinya
kembali atau berpaling seperti yang terdapat dalam surat Al-Kahfi ayat 64 yaitu
:
Artinya : “Musa berkata:
"Itulah (tempat) yang kita cari". lalu keduanya kembali, mengikuti
jejak mereka semula.”
Menurut
istilah ar-radd adalah berkurangnya
pokok masalah dan bertambahnya jumlah bagian ashhabul furudh. Terjadinya masalah radd apabila pembilang lebih kecil
daripada penyebut dan merupakan kebalikan dari masalah aul. Aul pada dasarnya
kurangnya yang akan dibagi, sedangkan pada radd ada kelebihan setelah diadakan
pembagian.[8] Ar-radd tidak akan
terjadi dalam suatu keadaan, kecuali bila terwujud tiga syarat sebagai berikut
:[9]
1. Adanya ashhabulfurudh
2. Tidak
adanya ashabah
3. Ada sisa
harta waris
Adapun Ayah dan
Kakek, meskipun keduanya termasuk ahli waris ashhâbl al-furûdl dalam beberapa
keadaan tertentu, mereka berdua tidak berhak menerima radd,
karena menurut beliau apabila dalam pembagian harta warisan terdapat ayah
atau kakek, maka tidak mungkin terjadi radd, karena keduanya bagi beliau
akan menjadi „ashâbah dan berhak mengambil seluruh sisa harta warisan.
Sedangkan alasan suami atau
istri tidak berhak mendapatkan sisa harta, karena
kekerabatan mereka bukan didasarkan pada hubungan nasab, melainkan hubungan sababiyah,
yakni semata-mata karena sebab perkawinan yang dapat terputus karena
kematian.
Sejalan dengan
itu Amir Syarifuddin juga membenarkan pendapat Ali Ash Shabuni
dengan memberikan alasan bahwa adanya radd tersebut adalah karena adanya
hubungan rahim, sedangkan suami atau istri kewarisannya disebabkan
hukum dan bukan karena hubungan rahim.[10]
Ada dua ulama berpendapat tentang
radd yaitu kelompok pertama yang mengatakan tidak ada radd, setelah ashabul furud mengambil bagiannya dan tidak ada ashabah
maka sisa harta diberikan kepada Baitul mal.
Kelompok kedua yang mengatakan bahwa harta dikembalikan kepada ashabul
furud selain suami istri sesuai dengan presentase bagian-bagian mereka.
Ahli waris yang berhak mendapat ar-radd yaitu semua ashhabulfurudh kecuali suami dan istri. Suami dan istri tidak
berhak karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab tetapi karena adanya
ikatan tali pernikahan. Ashhabulfurudh yang
berhak menerima ar-radd hanya delapan
orang yaitu anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara
kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari
bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu. Dalam keadaan
bagaimana pun, bila dalam pembagian hak waris terdapat salah satunya ayah atau
kakek tidak mungkin ada ar-radd karena
keduanya akan menerima waris sebagai ashhabah.
Untuk lebih jelasnya dibawah ini adalah
contoh penyelesaian radd. Seseorang meninggal dunia, ahli warisnya terdiri dari
: anak perempuan dan ibu. Harta warisannya Rp. 12.000.000,- Bagian
masing-masing :
1) Jika tidak ditempuh dengan cara radd :
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
6
|
Rp. 12.000.000,-
|
|||
Anak Pr 1/4.
|
3
|
3 /6 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 6.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
1
|
1 /6 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 2.000.000,-
|
|
4
|
Jumlah
|
Rp. 8.000.000,-
|
Terdapat sisa harta sebesar Rp.
4.000.000,-
2) Jika ditempuh dengan cara radd
AW
|
Bag
|
AM
|
HW
|
Penerimaan
|
6 menjadi 4
|
Rp. 12.000.000,-
|
|||
Anak Pr 1/4.
|
3
|
3 /4 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 9.000.000,-
|
|
Ibu. 1/6.
|
1
|
1 /4 x Rp. 12.000.000,-
|
Rp. 3.000.000,-
|
|
4
|
Jumlah
|
Rp. 12.000.000,-
|
Ar-radd mempunyai empat macam yang mempunyai cara atau hukum masing-masing yaitu :
1. Adanya
pemilik bagian yang sama, tanpa suami atau istri.
Dalam kondisi seperti ini, harta
peninggalan dapat langsung dibagikan secara merata kepada seluruh ahli waris
berdasarkan jumlah mereka. Dengan demikian, pembagian harta peninggalan dapat
diselesaikan dengan cara yang mudah
dalam tempo yang singkat.
Semisal, seseorang wafat dan hanya
meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai
jumlah ahli waris. Sebab, bagian mereka sesuai fardh adalah dua per tiga (2/3),
dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing-masing
sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang
sama.
2. Adanya
pemilik bagian yang berbeda, tanpa suami atau istri.
Dalam kondisi seperti ini, harta
dibagi berdasarkan jumlah bagian para ahli waris, bukan didasarkan pada jumlah
mereka. Semisal, seseorang wafat dan
meninggalkan seorang anak perempuan (1/2) dan seorang cucu perempuan
dari anak laki-laki (1/6). Maka pokok masalahnya adalah empat (4) berdasarkan
jumlah bagian kedua ahli waris tersebut. Asal masalah yang semulanya 6 diubah
atau diganti dengan hasil penjumlahan yaitu 4.
3. Adanya
pemilik bagian yang sama, dengan adanya suami atau istri.
Dalam keadaan seperti itu, sesuai
kaidah, maka pokok masalahnya ialah angka penyebut dari bagian orang yang tidak
menerima radd. Sesudah dibagikan kepada orang tersebut, sisanya baru
dibagikan kepada ahli waris lain sesuai dengan jumlah mereka.
Semisal, seseorang wafat dan
meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat
(1/4) bagian, dan sisanya (3/4) dibagikan kepada anak secara merata, yakni
sesuai jumlah kepala. Berarti
bila pokok masalahnya dari empat (4), suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian
berarti satu, dan sisanya (yakni 3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan
dibagi secara rata. Didalam permasalahan seperti ini asal masalah diambil dari
yang tidak menerima radd yaitu suami atau istri sedangkan yang lain dianggap ashabah (sisa). Kemudian
jumlah penerima radd dikali dengan asal masalah.
4. Adanya
pemilik bagian yang berbeda, dengan adanya suami atau istri.
Kaidah pemecahannya dari masalah ini
adalah dengan menetapkan menjadi dua
masalah. Masalah pertama dalam susunan ahli warisnya tanpa ada suami/istri,
sedangkan masalah kedua dalam susunan ahli warisnya ada suami/istri.
Masing-masing diletakkan tersendiri, kemudian kedua asal masalah dibandingkan
dengan salah satu dari tiga perbandingan yaitu tamaatsul (kemiripan), tawaafuq
(sepadan), dan tabaayun (perbedaan).
Seseorang wafat dan meninggalkan
istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut:
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri:
Pokok masalahnya dari enam, dengan
ar-radd menjadi dari tiga (yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek
seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bagian kedua saudara perempuan seibu
sepertiga (1/3) = 2 bagian.
Ilustrasi kedua menyertakan suami atau istri:
Pokok masalahnya dari empat, yaitu
diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di-radd-kan, yaitu istri.
Bagian istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya, yakni
tiga bagian, merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi
tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua
saudara perempuan seibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti
tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat
bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian.
Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya
tidak lagi memerlukan tashih (pengalian), dan cukuplah kita jadikan ilustrasi
masalah kedua itu sebagai pokok masalah.
B.Aul dan
Radd Menurut Kompilasi Hukum Islam
Cara-cara ‘aul dan radd
yang dikehendaki pasal 192 dan 193 tampaknya merupakan jalan keluar terbaik
dalam penyelesaian terhadap dua kasus tersebut. Apakah pembilangnya yang harus
dinaikkan sesuai penyebutnya (faridhah al ‘ailah), ataukah sebaliknya
diturunkan (faridhah al qashirah) supaya pembilang dan penyebutnya
bersesuaian (faridhah al ‘adilah).
Adapun menurut Kompilasi Hukum Islam
dengan memperhatikan pasal 192 bahwa ketika angka pembilang lebih besar dari
angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang.
Dan dalam pasal 193 bahwa ahli waris yang berhak mendapatkan sisa harta dalam
masalah radd adalah semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa
terkecuali, termasuk suami atau istri.
Kompilasi Hukum Islam menyebutkan
dalam Pasal 193 bahwa :
"Apabila dalam pembagian harta
warisan di antara para ahli waris Dzawi al-furûdl menunjukkan bahwa angka
pembilang lebih kecil daripada angka penyebut, sedangkan tidak ada ahli waris
ashabah , maka pembagian harta warisan tersebut dilakukan secara rad, yaitu
sesuai dengan hak masing-masing ahli waris, sedang sisanya dibagi secara
berimbang di antara mereka”.[11]
Dengan demikian dalam pembagian
harta waris andaikata terjadi sisa harta setelah diambil ahli waris ash-hab
al-furudl dan tidak ada ahli waris aashabah, Kompilasi Hukum Islam
memberikan sisa lebih tersebut kepada semua ahli waris ash-hab al-furudl tanpa
terkecuali termasuk dalam hal ini suami atau istri. Karena dalam masalah 'aul
mereka berdua juga terkena pengurangan, maka sebagai konsekuensinya suami
atau istri dalam masalah radd juga mendapat tambahan. Ini sebagai
konsekuensi, apabila terjadi masalah 'aul bagian masing-masing ahli
waris termasuk suami atau istri yang ahli waris sababiyah dikurangi.
Sikap tegas yang ditempuh Kompilasi
Hukum Islam dalam masalah ini lebih mengedepankan kemaslahatannya, tidak lain
agar dalam menyelesaikan pembagian harta waris tidak menimbulkan keraguan bagi
pihak-pihak yang mempedomaninya.
Adapun ayah dan kakek keatas, dengan
memperhatikan Pasal 177 Kompilasi Hukum Islam bahwa:
"Ayah mendapat sepertiga bagian
bila pewaris tidak meninggalkan anak, bila ada anak, ayah mendapat seperenam
bagian".[12]
Dengan demikian jika kita melihat
pasal di atas tentang ayah dan kakek ke atas, Kompilasi Hukum Islam juga
memberi sisa lebih dalam masalah radd, karena tidak terdapat bagian sisa
atau ashabah terhadap mereka berdua.
C.
Persamaan
dan Perbedaan Fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam Mengenai Aul dan Radd
Memperhatikan dari kedua pendapat
diatas, adapun persamaan mengenai aul
yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka angka
penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan radd
yaitu tentang ahli waris yang berhak
mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hâb al-furûdl,
yaitu : anak perempuan, cucu perempuan keturunan anak laki-laki, saudara
kandung perempuan, saudara perempuan seayah, ibu kandung, nenek sahih (ibu dari
bapak), saudara perempuan seibu, dan saudara laki-laki seibu.
Dalam masalah aul tidak ada perbedaan sedangkan dalam masalah radd ada perbedaan yaitu dalam kompilasi
Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan kakek keatas berhak mendapat radd.
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Menurut fiqh Islam dan Kompilasi Hukum Islam apabila terjadi
kekurangan harta ketika pembagian warisan dimana angka pembilang lebih besar
dari angka penyebut, maka angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka
pembilang dan inilah yang dinamakan ‘aul.
Menurut fiqh Islam apabila terjadi kelebihan harta ketika
pembagian warisan dimana pembilang
lebih kecil daripada penyebut maka sisa harta dibagikan ke delapan ahli waris
tanpa suami, istri, ayah, dan kakek ke atas. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum
Islam, sisa harta dibagikan ke semua ahli waris tanpa terkecuali.
Persamaan mengenai aul antara fiqh Islam dan Kompilasi
Hukum islam yaitu ketika angka pembilang lebih besar dari angka penyebut, maka
angka penyebut dinaikkan sesuai dengan angka pembilang. Sedangkan persamaan
radd yaitu tentang ahli waris yang
berhak mendapatkan sisa harta dalam masalah radd terjadi pada delapan ahli waris ash-hab al-furudl.
Dalam masalah aul tidak ada perbedaan
sedangkan dalam masalah radd ada
perbedaan yaitu dalam kompilasi Hukum Islam ahli waris suami, istri, ayah dan
kakek keatas berhak mendapat radd.
[2]
A. Sukris Sarmadi, Trensedensi
Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, Jakarta : PT. RajaGrafindo
Persada, 1997, hlm. 186
[3]
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjutak, Hukum Waris Islam, (Jakarta : Sinar
Grafika, 1995), hlm. 160
[4]
Sajuti Thalib, Hukum
Kewarisan Islam di Indonesia, Jakarta : Sinar Grafika, 1993, hlm. 96
[5]
Amin Husein Nasution, Hukum
Kewarisan,: Suatu Analisis Komparatif Pemikiran Mujtahid dan Kompilasi Hukum
Islam, (Jakarta : Rajawali Pers, 2012), hlm. 147-148
[6]
Muhammmad Ali
Ash-Shabani, Pembagian Waris
Menurut Islam , (Jakarta : Gema Insani Press ,1995), hlm. 99
[9]
Beni Ahmad Saebani, Fiqh
Mawaris, (Bandung : Pustaka Setia, 2009), hlm. 216
[11]Abdurrahman. Kompilasi Hukum
Islam di Indonesia. ( Jakarta:
CV.Akademika Pressindo, 2004), hlm. 160
Tidak ada komentar:
Posting Komentar