KADAR SUSUAN
YANG MENHARAMKAN NIKAH
A.
Pendapat para ulama
Para ulama telah sepakat bahwa susuan juga
mengharamkan nikah sebagaimana haram dengan sebab hubungan darah dan hubungan
semuanja. Sesudah itu mereka berbeda pendapat mengenai berapa kadar susuan itu
yang mengharamkan.
Ulama
Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa baik banyak maupu sedikit sama saja
tentang mengharamkan. Itu adalah pendapat kebanyakan Ulama Salaf dan Ulama
Chalaf dan sati riwayat dari Imam Ahmad.
Satu
golongan Ulama berpendapat bahwa yang mengharamkan itu adalah kadar tertentu,
akan tetapi berbeda pendapat mengenai kadar itu. Abu Ubaid, Abu Tsaur, Daud
Ad-Dhahiry dan Ibnu ‘I-Mundzir berbendapat bahwa satu kali atau dua kali
menyusu tidak mengharamkan; yang mengharamkan ialah tiga kali atau lebih. Itu
adalah riwayat dari Imam Ahmad. Kata yang lain, bahwa menyusu kurang dari lima
kali berpisah-pisah, tidak mengharamkan. Itu adalah madzhab Syafi’i dan dhahir
riwayat dari Imam Ahmad dan salah satu riwayat dari tiga riwayat Aisyah.
Riwayat
yang kedua dari Aisyah, tidak haram kalau kurang dari tujuh kali, sedang
riwayat ketiga dari dari padanya, tidak haram kalau kurang dari sepuluh kali
susuan. Dan kami akan membatasi diri membahas dan membandingkannya mengenai
yang bukan dua riwayat yang terakhir.
B.
Dalil dari Masing-masing Pendapat
Abu ‘ubaid dan yang sependapat dengan dia
mengambil dalil :Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Bukhori
dari Aisyah bahwa Nabi SAW. Bersabda :
اْلمَصَّتَانِ الْمَصَّةَ وَلاَ لاَتُحَرِّمُ
sekali menghisap
dan dua kali menyusu tidak mengharamkan.
2. Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad
dan Muslim dari Ummi. ‘I-Fadlal bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi
SAW. Apakah sekali hisap dapat mengharamkan? Beliau menjawab :
والمصتان والمصة والرضعتان الرضعة تحرم
لا لا
“Tidak; satu kali
menyusu atau dua kali tidak mengharamkan dan juga sekali atau dua kali
menghisap”
Pada satu riwayat Ummi ‘I-Fadlal berkata :
Seorang Arab dusun masuk kepada Nabi SAW. Waktu beliau dirumah saja, lalu ia berkata
: Wahai Nabi Allah. Saya mempunyai seorang istri, kemudian sya mengawini istri
yang kedua. Lalu istri saya yang pertama mendakwa bahwa ia pernah menyusui
istri saya yang baru, satu kali susuan atau dua kali. Maka bersabda Rasulullah
SAW :
“Sekali atau dua
kali menyusui tidak mengharamkan”
Mereka mengatakan : Hadits-hadits ini
adalah sahahih, diriwayatkannya oleh orang-orang yang dapat dipercaya, dan
hadist-hadist itu tegas menafikan haram pada susunan yang kurang dari tiga
kali. Maka dengan demikian hadist-hadist ini adalah muqajjid kepada muthlaq
menyusu yang terdapat dalam Firman Allah : Wa Ummahaatukum Al-laathi ardla’
nakum (dan ibu-ibumu yang telah menyusuimu) dan hadist-hadist yang serupa itu
yang datang menqaidkannya dengan bukan sekali atau dua kali susuan, yaitu tiga
kali atau lebih.
Ulama Syafi’iyah mengambil dalil :
1. Denagn hadist yang diriwayatkan oleh
Muslim, Abu Daud dan Nasaaiy dari Aisyah bahwa ia berkata : Pernah turun dari
Qur’an sepuluh kali susuan mengharamkan, kemudian dimansukhkan dengan lima
kali. Lalu Rosulullah SAW. Wafat dan itu tetap dibaca dari Qur’an.
2. Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Malik
dalam Muwattha’ dan oleh Ahmad, dari Aisyah bahwa ia berkata :
Bahwa Abu
Hudzalifah mengambil Salim menjadi anaknya sedang ia adalah budak seorang
wanita Anshar, sebagaimana mengambil Zaid menjadi anaknya. Pada masa Jahiliyah
seorang yang mengambil anak, betul-betul orang memanggil anaknya dan menerima
warisan sampai Allah SWT menurunkan ayat :
öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& y‰ZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù ’Îû ÈûïÏe$!$# öNä3‹Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6ø‹n=tæ Óy$uZã_ !$yJ‹Ïù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy‰£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Y‘qàÿxî $¸JŠÏm§‘ ÇÎÈ
5.
Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak
mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui
bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama
dan maula-maulamu[1199]. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu
khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan
adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[1199]
Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang
yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil
maula Huzaifah.
Oleh karena itu maka kembalikanlah
sebutannya kepada ayah mereka ; dan orang yang tidak diketahui ayahnya, naka ia
adalh sahabat karib dan saudara seagama. Maka datanglah Sahlah dan berkata :
Wahai Rasulullah, Saya telah menganggap Salim sebagai anak saya, ia tinggal
bersama saya dan bersama Abi Hudzaifah, dan dia senang tinggal bersama saya,
sedang Allah telah menurunkan ayat mengenai itu, apa yang Anda sendiri sudah
mengetahuinya. Maka bersabda Rasulullah :
الرضاعة من ولده بمنزلة
فكان رضعات خمس ارضعيه
“Susuilah dia
lima kali susuan, maka ia menjadi anaknya karena susuan “
Mereka (Ulama
Syafi’iyah) berkata : Aisyah adalah yang paling mengetahui hukum masalah ini
diantara umat Muhammad, sedang Aisyah apabila ingin memasukkan seseorang
kepadannya, ia menyuruh salah seorang anak perempuan saudaranya untuk
menyusuinya lima kali susuan. Ini amaliyahnya dan itu diriwayatkan dari
padanya. Kedua-duanya tegas bahwa yang mengharamkan itu hanya tergantung pada
lima kali susuan.
3. Mereka mengambil dalil pula bahwa ma’na
yang mengharamkan dengan seabab menyusu ialah subhat djuz-ijah yang terjadi
dengan sebab susu yang menumbuhkan daging dan tulang. Sedang ini tidak terjadi
dengan susuan yang sedikit: oleh karena itu maka menyusu sedikit tidak
mengharamkan, sehingga untuk mengharamkan haruslahkembali kepada yang tersebut
dalam hadist, yaitu lima kali susuan.
Ulama Djumhur
mengambil dalil :
1. Dengan Firman Allah SWT :
ôMtBÌhãm öNà6ø‹n=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êö‘r& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/u‘ur ÓÉL»©9$# ’Îû Nà2Í‘qàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6ø‹n=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ‹©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ô‰s% y#n=y™ 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Y‘qàÿxî $VJŠÏm§‘ ÇËÌÈ
23.
diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281];
saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan;
saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari
saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu
yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan;
ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari
isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu
itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan
diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan
(dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi
pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke
atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu
perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang
dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur
ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
Firman ini
menggantungkan haram dengan menyusui tanpa menentukan kadar tertentu. Bagaimana
saja terjadi penyusuan, maka terkenalah hukum itu.
2. Dengan hadist yang diriwayatkan dari ‘Uqbah
bin Al-Harist, bahwa ia mengawini Ummu Jahja binti Abi Ilhab. Maka datang
seorang budak hitam mengatakan : Saya telah menyusukan kamu berdua. ‘Uqbah
berkata : Maka saya menceritakan hal itu kepada Nabi SAW lalu beliau berpaling
dari saya. Saya menyusui beliau dan menyebutkan hal itu lagi, lalu beliau
bersabda :
ارضعتكما قد انها زعمت وقد كيف
“Bagaimana,sedang
budak itu sudah mendakwa bahwa ia sudah menyusukan kamu berdua”
Maka beliau melarangnya mendekati Ummu
Jahja. Beliau memerintahkan ‘Uqbah untuk meninggalkan Ummu Jahja dan
melarangnya mendekati, karena semata-mata pemberitaan budak itu bahwa kedua
orang itu susunan tanpa minta penjelasan berapa kali dan bagaimana tjaranja.
Para Ulama
mengatakan :
المقال عموم منزلة ينزل الاحوال فى الإستفصال ترك ان
“Sungguh
meninggalkan minta penjelasan dalam sesuatu hal ditempatkan pada tempat
pembitjaraan yang umum”
3. Dengan atsar-atsar yang diriwayatkan dari
para sahabat. Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas bahwa
mereka itu berkata : Susuan yang sedikit dan yang banyak adalah sama. Dan
diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata : Satu kali susuan adalah mengharamkan.
Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar tatkala sampai berita kepadanya bahwa Abdullah
Ibnu Zubair mengatakan : “Sekali susuan dan dua kali susuan tidak
mengharamkan”. Ibnu Umar berkata : “Hukum Allah adalah lebih baik dari hukum
Ibnu Zubair”. Lalu beliau membaca ayat tersebut. Dan tatkala sampai berita kepadanya
bahwa Aisyah mengatakan : “sekali hisap dan dua kali hisap tidak mengharamkan;
Ibnu Umar berkata ;Hukum Allah adalah lebih utama dan lebih baik dari hukum
Aisyah.”
4. Bahwa menyusu adalah perbuatan yang
tergantung padanya haram nikah, maka tentulah sama saja antara sedikit dan
banyak, seperti juga persetubuhan yang mengakibatkan haram. Itu disebabkan
karean Syara’ menggantungkan hukum dengan hakikat, terlepas dari syarat
berulang-ulang dan banyak kali : Bilamana hakikat itu sudah terwujud, maka hukum
itupun datang.
Kemudian mereka
berkata : bahwa rasio yang mengharamkan nikah karena susuan, walaupun pada
hakikatnya ialah bagian yang terjadi dengan berubah makanan kepada daging dan
tulang, akan tetapi itu merupakan hal yang tersembunyi, tidak nampak. Dan yang
ma’ruf pada syara’ ialah menggantungkan hukum dengan sifat-sifat yang nyata dan
mempunyai tanda-tanda. Maka hukum tidak bergantung pada Djuzijah disini karena
tersembunyinya, tetapi hanya bergantung pada menyusui karena jelas dan nyata.
Bandingannya ialah digantungkan wajib mandi pada bersetubuh dan menggantungkan
rukhsah shalat ada safar.
Ketika Ibnu ‘Abbas ditanyai tentang apakah
sekali susuan dapat mengharamkan? Beliau menjawab :
حرم فقد الصبى عقى اذا
Apabila susuan
itu mengeluarkan tahi mula jadi, maka itu mengharamkan
Perkataan ‘aqju adalah nama benda yang
keluar dari perut bayi waktu dilahirkan apabila susu sampai kedalam perutnya.
Orang mengatakan
:
صبيكم عقيتم
Anda telah
memberi minum bayi anda supaya keluar tahinya.
Dan tahi itu tidak keluar kecuali apabila
susu berjalan kedalam perutnya. Maka ini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan
ialah sampainya susu kedalam perut. Dan disini diperjelaslah cara menafsirkan
hadist-hadist itu sebagai yang telah disebutkan.
Dan dikatakan kepada Ulama Syafi’iyah :
Bahwa pada hadist Aisyah yang pertama ada idlthirab dan inqitha’ dari segi
ma’naya. Adapun idlthirabnya ialah :
Menurut riwayat
Muslim, Abu Daud dan Nasaaiy dan riwayat Muslim yang kedua, hadist itu berbunyi
:
ت معلوما خمس ايضا نزل ثم تمعلوما عشررضعات القران فى نزل
Dan pada riwayat
yang ketiga oleh Tarmidzy :
معلومات رضعات خمس الى رضعات خمس ذلك من فنسخ رضعات عشر القران فىلانز
ذلك والأمرعلى وسام عليه الله صلى اللهرسول فتوفي
Dan pada riwayat
keempat oleh Ibnu Maadjah :
اوخمس الاعشررضعات يحرم لا سقط ثم القران من عزوجل الله انزل فيما
ن كا معلومات
Riwayat yang pertama menunjukkan bahwa
haram dengan lima susuan, tetap dibaca sesudah wafat Rasulullah, sedang riwayat
Ibnu Majah menunjukkan nasakh yang disebutkan dengan gugur, sebagaimana juga
hadist ini menunjukkan bahwa hukum sepuluh dan lima kali susuan turun sekaligus
dalam satu kalimat kemudian kedua-duanya gugur bersama-sama oleh karena hadist
lain menunjukkan bahwa hukum sepuluh susuan turun duluan, kemudian baru turun
hukum lima susuan sebagai yang memansuchkan terhadap yang lebih dari lima. Dan
hal semacam itu adalah idlthirab yang melemahkan hadist dan menghilangkan
fungsinya sebagai dalil.
Jika orang mengatakan bahwa yang rajih
adalah riwayat yang bukan riwayat Ibnu Maadjah, yaitu bahwa yang sepuluh turun
duluan kemudian dimansuchkan dengan turun yang lima dan yang lima itu tetap
sampai Rasul wafat (Wa Hunna fiimaa juqra-u minal Qur’an), kami mengatakan :
Bagaimana mungkin itu, sedang batjaan itu tidak tsabit dalam Qur’an? Apakah ini
bukan merupakan pendapat yang mengatkan bahwa ada sesuatu yang hilang dari ayat
Qur’an sesudah Nabi wafat? Kita berlindung dengan Allah dari pada ini dan
mencari-cari jawaban itu.
Berkata Ibnu ‘I-Qaijjim dalam kitabnya
Zaadu ‘I-Ma’aad :
Bacaan itu adalah
Qur’an yang tidak mutawatir dan lafadnya sudah dimansuchkan dan hukumnya masih
tetap, sebagai juga Firman-Nya :
فارجموهما اذازنيا والشيخة الشيخ
Termasuk diantaranya yang cukup dinukilkan
dengan tingkat Aahaad, dan hukumnya adalah tsabit. Adapun perkataan ‘Aisyah :
“Maka wafatlah Rasul sedang ayat-ayat itu masih dibaca “, itu dimaksudkan ialah
karena dekat masa nasakhnya dengan masa Rasulullah, maka orang-orang yang belum
mengetahui nasachnya, masih membaca ayat-ayat itu.
Ini adalah ta’wil yang jauh yang tidak
dibantunya oleh lahir riwayat. Kalaupun kita terima ta’wil itu dan kita
mengatakan bahwa itu lebih baik dari pada dakwaan ada sesuatu yang hilang dari
Al-Qur’an atau bahwa itu tidak mutawatir sehingga tidak dicantumkan dalam
Al-Qur’an, maka itu menunjukkan mansuch seluruhnya, bukan nasach mengenai
sebagian sebagaimana mereka katakan. Dan pendapat yang mengatakan mansuch lafad
dan hukumnya tetap, itu memerlukan dalil, karena yang asal ialah bahwa
menasachkan sesuatu yang menunjukkan, tentu menghilangkan hukumnya juga.
Berdasarkan kata Alkamal : Adapun bandingannya :
فارجموهما اذازنيا والشيخة الشيخ
Kalau tidak ada
Sunnah dan ijma’, tentu itupun tidak tsabit
Adapun hadist
salim maka Muslim disana tidak menyebut bilangan, sedangkan Ulama Syafi’iyah
yang berdalil dengan hadist itu berpendapat bahwa yang mengharamkan ialah lima
kali susuan yang mengenyangkan, pada hal tidak masuk akal seorang perempuan
menyusui orang laki-laki dapat mengenyangkannya. Al-Kamal berkata : Karena
laki-laki tidak akan kenyang dengan sekali atau dua kali susu. Maka dari mana
seorang perempuan memperoleh susunya yang dapat mengenyangkan seorang
laki-laki? Ini adalah mustahil menurut adat. Tetapi yang masu akal ialah bahwa
bilangan lima itu, adalah lima kal hisap.
Kemudian ia
berkata : Mana boleh orang laki-laki itu menyentuh aurat perempuan dengan dua
bibirnya. Barangkali yang dimaksudkan, perempuan itu memerah susunya untuk
orang-orang laki-laki itu sekedar lima kali hisap, lalu diminumnya.
Kemudian lagi itu
mengenai menyusu laki-laki dewasa, padahal telah shahih bahwa menyusu orang
dewasa tidak menjadikan haram nikah. Dalam kitab Muwattha’ dan dalam Sunan Abu
Daud dari Jahja bin Said bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abu Musa
Al-Asy’ary katanya : Saya telah menghisap susu dari tetek istri saya dan susu
itu telah masuk perut saya. Abu Musa menjawab : Saya berpendapat bahwa istri
anda sudah haram kepada anda. Maka berkata Abdullah Ibnu Mas’ud : Tinjau
kembali yang telah anda muftikan kepada orang itu.
Abu Musa bertanya
: Bagaiman pendapat Tuan ?
Abdullah menjawab : Tidak ada susuan
kecuali dalam umur dua tahun, Berkata Abu Musa : Jangan tanya lagi kepada saya
selama khabar ini ada dikalangan Saudara-saudara.
Tersebut dalam
dua kitab Shahih dari ‘Aisyah sendiri bahwa Rasulullah SAW bersabda :
عة المجا من عة الرضا انما
Hanya ada susuan
karena kelaparan
Dan berita bahwa Aisyah r.a , apabila ingin
mengijinkan sesorang masuk kerumahnya, ia memerintahkan salah seorang
kerabatnya untuk menyusui orang itu, adalah berita yang tidak sesuai dengan
kesutjian Aisyah r.a dan dengan kedudukannya mengenai Agama yang mencegahkan
mencari-cari helah, sedang dia pulalah
yang meriwatkan Sabda Nabi kepadanya :
عة
المجا من عة الرضا انما اخوانكم من انظرن
Lihatlah
kepadanya saudamu. Hanya susuan dari kelaparan.
Dan orang yang menerima kisah salim,
berpendapat bahwa itu suatu dispensasi kepada Sahlah Chusus, mengingat karena
ia besar dikalangan keduanya dan suadah datang penegasan begitu dari lidah
Ummahaati ‘I-Mu’miminin (istri-istri Nabi). Dan yang jelas ialah tidak haram
dengan kurang dari satu kali susuan, karena yang mengharamkan menurut nash
Qur’an ialah menyusu, dan menyusu itu hanya ada dengan satu kali susuan. Satu
kali susuan ialah si bayi mengambil tetek dan melepaskanya sampai ia kenyang,
bandingkan ia makan, tidur, dan yang serupa dengan itu. Dengan demikian ayat
Qur’an itu adalah Mutlaq mengenai menyusu, baik sedikit maupun banyak, dan
hadist-hadist mengenai satu kali hisab adalah sesuai dengan mutlaq ini, karena
itu belum sampai satu kali susuan.
Kata Ibnu
‘I-Araby : Malik dan Abu Hanifah berpendapat mengambil mutlaq Qur’an, dan
itulah yang betul, karena itu beramal dan berpegang pada umum Qur’an. Hal itu
dikuatkan lagi bahwa pesoalan ini dalam bidang mengharamkan budlu’ dan
memelihara kehormatan, maka wajiblah berpendapat begitu bagi orang berpendapat
umum. Wallahu a’lam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar