Powered By Blogger

Sabtu, 14 Mei 2016

HUDUD SYIRQAH (PENCURIAN)

A.     Pendahuluan
Dalam cakupan fikih jarimah dalam syariat islam dikenal prinsip bahwa suatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika telah dinyatakan dalam nash atau dengan bahasa kenegaraan,sesuatu perbuatan dapat dipandang sebagai jarimah jika telah diundangkan.
Dengan adanya prinsip tersebut macam jarimah dan sangsinya akan dapat diketahui dengan jelas dan pasti.dengan demikian orang akan berhati-hati agar jangan sampai melakukan jarimah yang akan berakibat penderitaan terhadap diri sendirinya juga.dari segi lain adanya prinsip tersebut akan mencegah terjadinya penyalah gunaan wewenang penguasa atau pengadilan untuk menjatuhkan suatu hukumankepada seseorangt berbeda dengan hukuman yang akan dijatuhkan terhadap orang lain yang melakukan jarimahyang sama dengan motif yang sama pula.
Adanya prinsip tersebut dimaksudkan juga untuk memberikan kepastian hukum terhadap bermacam macam jarimah.jangan sampai suatu hukuman dijatuhkan terhadap sesuatu jarimah yang diatur kemudian.Meskipun demikian,dapat dikecualikan untuk hal yang dipandang yang amat besar bahayanya terhadap masyarakat.aturan dapat dibuat kemudian kemudian setelah perbuatan jarimah dilakukan,guna menjadi dasar hukum dalam hendak menjatuhkan hukuman.
Macam jarimah yang ditentukan ancaman pidananya dalam al-quran ialah pembunuhan ,penganinayaan ,pencurian ,perampokan,pemberontakan,zina,dan menuduh zina.Hadis naba saw.kecuali memberikan perincian jarimah-jarimah yang ditunjuk didalam al’quran tujuh macam tersebut,juga menentukan sangsi pidana terhadap dua macam jarimah lainnya,yaitu:minuman keras,dan riddah keluar dari agama islam.
Sebagai contoh kongkrit didalam QS al-baqarah188 disebutkan larangan makan harta dengan cara tidak sah,yang bentuknya disebutkan dengan jalan suap menyuap.Atas dasar adanya larangan tersebut dank arena al-quran tidak menyebutkan sangsi terhadap pelanggarannya,penguasa dibenarkan untuk membuat undang-undang yang mengatur jarimah suap menyuap misalnya lagi dalam sunah rasul disebutkan larangan bersunyi-sunyi antara laki-laki dan perempuan bukan suami istri dan juga bukan muhrimnya juna menjaga agar jangan sampai terjadi perjinahan.Atas dasar adanya larangan tersebut dan karena sunah rasul tidak menentukan sangsinya,penguasa dibenarkan mengeluarkan undang undang yang mengatur jerimah khalwat.
Dari uraian tersebut diatas jarimah hudud dapat diartikan yaitu jarimah yang diancam dengan hukuman hadd adalah hukuman yang telah ditentukan dalam nass al-quran atau sunah rasul dan telah pasti ancamannya serta menjadi hak allah,tidak dapat diganti dengan macam hukuman lain atau dibatalkan sama sekali oleh manusia yang termasuk njarimah ini ialah pencurian ,perampokan ,pemberontakan ,zina,menuduh zina ,minum-minuman keras dan riddah.
B.     Pengertian pencurian
انواع السرقة : السرقة في الشريعة السلامية نوعان : {1} سرقة عقوبتها. {2} سرقه عقو بتها التعزير والسرقة المعاقب عليها بالحد نوعان : ـسرقة صغري, ـ سرقة الكبريز
فأما السرقة الصغري فهي اخذ مال الغير خفية أي على سبيل الإختفاء . أما السرقة الكبرى فهي أخذ مال الغيرعلى سبيل المغا لبة وتسمّى السرقة الكبري حرابة و سنفصل القول فيها بعد
Jenis pencurian: pencurian di barisan hukum dari dua jenis: {1} pencurian dihukum. {2} dicuri memutuskan apakah kontrak diskresioner dan pencurian dihukum dengan pengurangan dari dua jenis: pencurian kecil, besar pencurian
Adapun pencurian kecil itu mengambil non-tersembunyi uang untuk hilangnya. Akbar pencurian Mereka mengambil uang untuk pihak ketiga meningkat berperang disebut pencurian
besar.
            Menurut bahasa sariqah adalah bentuk masdar dari kata سَرَقَ - يَسْرِق – سَرَقــًاdan secara etimologis berartiأَخَذَ مَـالَهُ خُفْيَةً وَ حِيْلَةً mengambil harta milik seseorang secara sembunyi-sembunyi dan dengan tipu daya.[1]Pencurian berarti mengambil barang orang lain secara sembunyi-sembunyi. Ada beberapa definisi dari beberapa ulam sebagai berikut :
1)   Wahbah Al-Zuhaili: “Sariqah ialah mengambil hara milik orang lain dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan secara diam-diam dan sembunyi-sembunyi. Termasuk dalam katagori mencuri adalah mencuri informasi dan pandangan jika dilakukan dengan sembunyi-sembunyi”[2]
2)   Abdul Qadir Audah: “Ada dua macam sariqah menurut syariat islam, yaitu sariqah yang diancam dengan had dan sariqah yang diancam dengan ta’zir, sariqah yang diancam dengan had dibedakan menjadi dua, yaitu pencurian kecil dan pencurian besar. Pencurian kecil ialah mengambil harta milik orang lain secara diam-diam. Sementara itu, pencurian besar ialah mengambil hak orang lain dengan kekerasan. Pencurian jenis ini juga disebut perampokan.[3]
3)   Muhammad Al-Khatib As-Sarbini: “Sariqah ialah mengambil harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dan dzalim, diambil dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan dengan berbagai syarat.[4]
4)   Ibnu Arafah mengatakan: "Menurut masyarakat Arab, pencuri adalah orang yang datang secara sembunyi-sembunyi ke tempat penyimpanan barang orang lain untuk mengambilnya dengan cara yang tidak benar.”
5)   menurut Mahmud Syaltut adalah pengambil harta orang lain dengan sembunyi-sembunyi yang dilakukan oleh orang yang tidak dipercayai menjaga barang tersebut.[5]
Dari beberapa definisi sariqah diatas, dapat disimpulkan bahwa sariqah ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut.
Jenis pencurian itu bertingkat-tingkat. Kalau diurutkan dari tingkat terendah sampai tertinggi berdasarkan cara melakukannya adalah penjarahan, pejambretan, perampasan dan perampokan.

penggelapan harta orang lain dianggap sebagai jarimah pencurian dan tidak dihukumdengan hukuman potong tangan namun dihukum dengan bentuk hukuman lain. Formulasi pencurian menurut Ibn Rusyd adalah pengambilan harta milik orang lain secara sembunyi tanpa dipercayakn kepadanya terlebih dahulu. Sedangkan menurut hukum positif baha pencurian adalah mengambil sesuatu yang bersifat harta secara sembunyi tanpa izin pemiliknya.[6]  Di samping itu, defenisi di atas mengeluarkan pengambilan harta orang lain secara terang-terangan dari kategori pencurian, seperti pencopet.
H.A. Djazuli membedakan antara pencuriandengan penggelapan sebagai berikut:
a)      Dilihat dari segi hukuman. Pencurian dikenai hukuman had potong tangan , sedangkan penggelapan dikenai hukuman ta’zir.
b)      Dilihat dariaspek pelaksanaan pengambian harta tersebut. Pada pencurian pengambian dilakukan secara sembunyi-sembunyi dan tanpa sepengetahuan pemiliknya. Sedangkan pada kasus penggelapan dilakukan dengan terang-terangan
c)      Dilihat dari segi tempat objek harta tersebut. Dalam pencurian harta yang diambil tersimpan pada tempat tertentu yang memang sengaja disimpan pemiliknya, sedangkan pada penggelapan penyimpanan harta tersebut tidak diketahui pemiliknya dan hanya diketahui orang yang dipercayainya dan pemilik hanya mengetahui bahwa harta itu ada.
d)     Dilihat dari ukuran harta. Pada pencurian dikenal ukuran-ukuran tertentu yang mengakibatkan jatuhnya hukuman had aau yang dikenal dengan term nishab. Adapun penggelapan tidak dikenal ukuran tertentu sejauh mana penggelapan tersebut harus dikenakan hukuman.
C.    Unsur-unsur Pencurian
Adapun unsur-unsur pencurian mengacu pada defenisi pencurian itu sendiri dan dapat kita rinci unsur-unsur sebagai berikut:
a)      Pengambian dilakukan secara sembunyi-sembunyi.
b)      Yang dicuri itu harus berupa harta konkret sehingga barang yang dicuri adalah barang yang dapat bergerak dipindah-pindahkan tersimpan oleh pemiliknya pada penyimpanan yang layak dan dianggap sebagai sesuatu yang berharga.
c)      Harta yang dicuri adalah sesuatu yang berharga, setidaknya menurut versi pemiliknya. Dan unsur ini menjadi pertimbangan  bukan atas pandangan si pencuri.
d)     Harta yang diambil (dicuri) pada awaktu terjadinya pemindahan harta orang lain secara murni dan orang yang mengambilnya tidak mempunyai hak pemillikan sedikitpun terhadap harta tersebut.
e)      Seperti jarimah yang lainnya, terdapat unsur kesengajaan untuk memilki barang tersebut atau ada itikad jahat pelakunya.
Dalam referensi lain sesuai dengan definisinya unsur pencurian adalah mengambil harta orang lain secara diam-diam, yang diambil berupa harta, harta yang diambil merupakan milik orang lain dan ada itikad yang tidak baik diantaranya:
1.      Mengambil Harta Secara Diam-DiamMengambil harta diam-diam adalah mengambil barang tanpa sepengetahuan pemiliknya dan tanpa kerelaanya, seperti mengambil barang dari orang lain ketika penghuninya sedang tidur. Pengambila harta itu dapat dianggap sempurna jika:
a)      Pencuri mengeluarkan harta dari tempatnya.
b)      Barang  yang dicuri itu telah berpindah tangan dari pemiliknya
c)      Barang yang dicuri itu telah berpindah tangan ketangan si pencuri.
Mazhab empat dan syi’ah serta KUH pidana di Indonesia menetapkan bahwa pencurian terhadap barang yang tidak ada tempatnya( hiriz) tidak dapat diancam dengan hukuman had ( potong tangan), melainkan hukuman ta’zir. Misalnya seorang pencuri binatang yang akan kembali kekandangnya dan masih dijalan serta tidak ada pengembalanya.
2.      Barang Yang Dicuri Berupa Harta
Diisyaratkan yang dicuri itu berupa harta:
a)      Yang bergerak
b)      Bergerak
c)      Memiliki tempat penyimpanan yang layak Sampai nisabnya.
Mazhab maliki,syafi’I, dan hambali menyatakan bahwa harta itu berupa harta yang mungkin dimiliki dan diperjual belikan, meskipun dalam penerapan prinsip ini mereka berbeda pendapat dalam kasus pencurian mushaf al-Quran, kitab-kitab ilmiah, buah-buahan, alat musik, dan sebagainya.
Sedangkan menurut Abu Hanifah, tidak wajib dikenakan hukuman potong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang mahram, karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Menurut imam syafi’I dam imam Ahmad seorang ayah tidak dapat dikenai hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya sampai kebawah. Demikian pula sebaliknya anak tidak dapat dikenai sanksi hukuman potongan tagan, karena mencuri harta ayahnya., kakeknya, dan seterusnya ke atas. Menurut imam abu hanifah, tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian antara suami istri.

D.    Syarat dan Rukun Pencurian
Dalam memberlakukan hukum potong tangan, harus diperhatikan aspek-aspek yang berkaitan dengan syarat dan rukunya. Dalam masalah ini Shalih Sa’id Al-haidan, dalam bukunya Hal Al-Muttaham fi Majlis Al-Qada mengemukakan lima syarat untuk dapat diberlakukannya hukum ini, yaitu sebagai berikut.
1.      Syarat Jarimah Sariqah
a)      Pelaku telah dewasa dan berakal sehat. Kalau pelakunya gila, anak kecil, belum baligh dan orang yang dipaksa maka tidak dapat dihukum dan dituntut.
b)       Pencurian tidak dilakukkan karena pelakunya sangat terdesak oleh kebutuhan. Comtohnya dalam kasus seorang hamba sahaya milik hatib bin Abi Balta’ah yang mencuri dan menyembelih seekor unta milik seseorang yang akhirnya dilaporkan kepada Umar bin Khattab. Namun Umar bin Khattab justru membebaskan pelaku karena terpaksa melakukannya.
c)      Tidak terdapat hubungan kerabat antara pihak korban dan pelaku, seperti anak mencuri harta ayahnya dan sebaliknya.
d)     Tidak terdapat unsur syubhat dalam hal kepemilikan, seperi harta yang dicuri itu menjadi hak bersama antara pencuri dan pemilik.
e)      Pencurian tidak terjadi saat peperangan di jalan Allah. Pada saat seperti itu, Rasulullah tidak memberlakukkan hukuman poong tangan. Meskipun demikian, jarimah ini dapat diberikan sanksi dalam bentuk lain, seperti dicambuk atau dipenjara.[7]
2.    Rukun Jarimah Pencurian.[8]
a)      Mengambil secara sembunyi-sembunyi.hal ini harus memenuhi tiga syarat seperti penjelasan berikut.Proses pengambilan ini harus sempurna, tidak cukup hanya dengan adanya pelaku yang berada didekat barang curian. Perihal pengambilan barang orang lain ini harus memenuhi tiga syarat. Pertama, pencuri mengambil barang curian itu dari tempat penyimpanan. Kedua, barang curian itu dikeluarkan dari pihak korban. Ketiga, barang curian berpindah tangan dari pihak korban kepada pihak tersangka. Jadi kalau syarat-syarat yang tiga ini tidak terpenuhi, maka hukum potong tangan ini tidak berlaku, dan si pelaku hanya dikenakan ta’zir saja.
b)      Barang yang diambil berupa harta.Sebagaimana peryataan yang telah dikemukakkan oleh Abdul Qadir Audah: Harta yang dicuri harus memenuhi beberapa syarat agar pelaku dapat dihukum potong tangan. Syarat-syarat yang dimaksud adalah pertama, berupa harta yang bergerak. Kedua, berupa benda yang berharga. Ketiga, harus mencapai nisab
c)      Harta yang diambil merupakan milik orang lain
d)     Melawan hukum
Mengenai hal ini, Abdul Qadir Audah berpendapat sebagai berikut:
Mengambil secara sembunyi-sembunyi tidak dapat dianggap sebagai pencuri kecuali ada didalam benak si pelaku terdapat unsur melawan hukum. Sikap melawan hukum ini dapat terjadi pada saat pelaku mengambil harta orang lain, padahal ia tau bahwa perbuatan itu diharamkan.

Bunyi Hadist

حَدَّثَنَا اِسْمَاعِيْلَ بْنُ اَبِى اَوْيَسٍ عَنْ اِبْنِ وَهْبٍ عَنْ يُوْنُسَ عَنْ اِبْنِ شِهَابٍ عَنْ عُرْوَةَ بْنَ الزَّبِيْرُوَعُمْرَةَ عَنْ عَا ئِشَةَ عَنْ النَّبِى صَلَى اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَمَ قَالَ تُقْطَعُ يَدُالسَّارِقِ فِى رُبُعِ دِيْنَارٍ( اخرجه البخارى فى كتاب الحدودباب قول الله تعال والسارقه فقطعواايديهاَ

Artinya:
..Aisyah Ra, Nabi SAW bersabda. “ Tangan pencuri dipotong jika mencuri serempat Dinar.” ( HR.-Bukhairy pada kitab Hudud bab perman Allah pencuri laki-laki dan pencuri wanita maka potonglah tangan mereka).
Berdasarkan hadits diatas diterangkan bahwa mencuri dapat dipotong tangannya jika ia mencuri sesuatu seharga serempat Dinar.
Perintah yang mewajibkan memberikan hukuman kepada pencuri ditetapkan dalam Al-quran, dan tidak disebutkan batas ukuran( nishab) yang mewajibkan tangan si pelaku dipotong, maka terjadilah perbedaan ulama dalam menentukan masalah-masalah terkait dengan hal tersebut.
Jumhur ulama mensyaratkan harus sampai nishab berdasarkan ketetapan hadits- hadits terkait dalam hal itu. Sedangkan Al-khawarij tidak mensyaratka,  bahkan berpendapat langsung dipotong  tangan, baik yang dicuri tidak sampai nishab apalagi lebih, karena ayat yang Bukhari bahwa Rasulullah SAW. 

لَعَنَ اللهُ السَّارِقُ يَسْرِقُ البَيْضَهَ فَتَقْطَعُ يَدَهُ وَيَسْرِقُ الحَبْلَ فَتُقْطَعُ يَدُهُ

....“ Allah melaknat pencuri yang mencari telur kemudian dipotong tangannya, dan pencuri tali lalu dipotong tangannya”...
Maksud hadits tersebut “ mencuri telor ” itu bukan benar-benar dipotong tangannya, melainkan menginformasikan betapa hina dan meruginya perbuatan mencuri,karena bila ia sudah bisa dan terbiasa mengambil hal-hal sepele, tentu ia akan berani mencuri barang yang nilainya mencapai nishab yang wajib dipotong tangannya. Demikian juga maksud hadits tersebut untuk mengancam dan menimbulkan rasa takut bagi yang ingin mencuri.
Jumhur ulama berbeda pendapat menentukan ukuran nishab itu setelah sepakat mensyaratkan harus sampai nishab 20 pendapat, yang berdasarkan dalil hanya 2 pendapat yaitu:
Pendapat pertama, nishab barang yang dicuri harus mencapai ¼ dinar emas dan 3 dirham perak,ini pendapat para ulama fiqih dari Hijaz, Asy-Syafi’i dan lainnya berdasarkan hadits Aisya tersebut diatas merupakan penjelasan bagi ayat Al- quran yang muthlak.
Pendapat kedua,Al-Hadawiyyah dan kebanyakan pakar fiqih irak tidak mewajibkan potong tangan kecuali mencapai nishab 10.000 dirham perak.
Dari berbagai riwayat tersebut riwayat disimpulkan, adanya perbedaan ulama menentukan harga perisai tersebut dari mulai harga 3 dirham 10 dirham atau lainnya, dan riwayat ¼ dinar pada hadits Aisya jelas-jelas menentukan berapa nilai/ harga.

E.     Sanksi Hukuman
Asas legalitas berikut hukuman tertera pada surat Al-Maidah ayat 38:
وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا جَزَاءً بِمَا كَسَبَا نَكَالًا مِنَ اللَّهِ وَاللَّهُعَزِيزٌ حَكِيمٌ.


Artinya:
Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan potonglah kedua tangan keduanya , sebagai pembalasan bagi apa yang dia kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah Yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”.
Dan dipertegas oleh Hadist rasulullah SAW yang artinya: “ Tidak dipotong tangan pencuri kecuali barangnya sampai seperempat dinar atau lebih”.
Diperkuat oleh hadist yang diriwayatkan oleh Aisyah, yang artinya: “ Potonglah tangan pada pecurian yang nilainya seperempat dinar, apabila kurang jangan dipotong”.
Di dalam ayat diatas ALLAH menyatakan secara tegas bahwa laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus dippotong tanganya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian dan tangan sebelah mana yang harus dipotong.
Sejak zaman jahiliah pencuri telah diancam dengan hukuman potong tangan. Orang pertama yang memberi keputusan hukuman ini adalah Al-Walid bin Al-Mughirah. Kemudian Allah memerintahkan untuk memberlakukan hukuman ini dalam islam. Laki-laki pencuri pertama yang tangannya dipotong oleh Rasulullah adalah Al-Khiyar bin Adi bin Naufal bin Abdi Manaf. Perempuan pencuri  yang pertama dipotong tangan oleh Rasulullah adalah Murrah binti Sufyan bin Abdi Al-Asad dari bani Mahzum. Abu bakar pernah memotong tangan Ibnu Samurah, saudara Abdurahman bin Samurah. Hal ini telah disepakati bersama sepintas ayat ini bersifat umum setiap pencuri harus dipotong tangan. Akan tetapi ternyata tidak demikian, sebab terdapat sabda Rasulullah SAW beliau bersabda bahwa pencuri akan dipotong tangan apabila pencuri jika harganya seperempat dinar atau lebih.
Jadi jelaslah bahwa hukuman ini hanya berlaku pada sebagian pencuri, bukan setiap pencuri. Pencurian kurang dari seperempat dinar tidak terkena hukuman potong tangan. Inilah pendapat Umar bin Al-Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thallib, Umar bin Abdul Aziz, Al-Laits, As-Syafi’i dan Abu Saur. Imam Malik berkata:
“tangan pencuri dipotong juga karena mencuri seperempat dinar atau tiga dirham. Kalu mencuri sesuatu seharga dua dirham yang senilai seperempat dinar, karena selisih nilai tukarnya, tangan pencuri tersebut tidak boleh dipitong.[9]
1.      Nisab Hukuman
Jumhur ulama berbeda pendapat mengenai nisab. Setelah mereka mengisyaratkan (harus mencapai nisab) bagi pencuri yang harus dihukum potong tangan, muncul keberagaman pendapat:
a)    Abu hanifah dan dua orang sahabat (Abu Yusuf dan Muhammad bin Hasan As-Syaibani) berpendapat bahwa tangan pencuri tidak harus dipotong, kecuali ia mencuri sesuatu senilai sepuluh dirham, baik berupa takaran, uang dinar, maupun timbangan.[10]
b)   Fuqaha Hijaj, As-Syafi’i: nisab barang curian yang harus dipotong yaitu seperempat dinar atau tiga dirham.
Dan adapun pendapat yang benar adalah apa yang dikemukakan As-Syafi’i dan ulama-ulama yang bersependapat dengannya, karena Nabi Muhammad SAW menyebutkan tentang nisab sebesar seperempat dinar. Dalam beberapa hadis dengan berbagai redaksinya. Oleh karena itu, semua informasi yang berbeda dengan ukuran ini tidak dapat diterima, sebab bertentangan dengan hadist-hadis tersebut.
Untuk dapat mengatahui nilai tiga dirham dalam kurs rupiah, terlebih dahulu harus mengukur dengan dolar Ameriks Serikat. Satu dolar Amerika Serikat sama dengan 5,7 pound Mesir. Dengan demikian, tiga puluh pound Mesir sama dengan 10,52 dolar Amerika Serikat. Jika satu dolar Amerika Serikat 9,500 rupiah, maka 10,52 dolar Amerika Serikat sama dengan 99.940 rupiah dan dapat dibulatkan menjadi 100.000 rupiah. Inilah perkiraan seperempat dinar atau tiga dirham, yaitu 100.000 rupiah.[11]
2.      Syarat Pelaksanaan Hukum Potong Tangan
Tangan pencuri harus dipotong dengan tiga syarat yaitu :
1.      Pencuri sudah dewasa.
2.      Pencuri berakal sehat
3.      Nilai barang yang dicuri telah mencapai nisbah serempat dinar dan diambil dari tempat penyimpanan yang layak, dan si pencuri tidak ikut memilikinya serta bukan barang yang syubhat.

Pencuri yang telah memenuhi syarat untuk dipotong tangannya ada 2 hukuman yaitu:
1.   Ia harus mengembalikan barangnya kalau masih ada, dan mengganti kalau sudah tidak ada.
2.    Harus potong tangannya.( baik pencuri yang miskin atau yang kaya).
Keharusan memotong tangan pencuri berdasarkan firman ALLAH ta’ala” potonglah tangannya”. Mendahulukan memotong tangan yang kanan, adalah tafsiran ibnu Abbas tentang ayat tersebut. Yaitu karena tangan kanan lah yang biasa mempunyai kekuatan[12].
Menurut Qadli Abu Thayib: boleh mendahulukan yang kiri sebab untuk pengajaran, yang memotongnya sampai pergelangan tangan, begitu juga pendapat Abu Bakar dan Umar akan tetapi kalau mencuri lagi, dipotong kaki kirinya, Apabila mencuri lagi dipotong tangannya dan apabila mencuri juga kaki kirinya yang tinggal dipotong juga. Demikianlah perintah Rasulullah SAW, “ Kalau sudah tidak mempunyai tangan dan kaki masih mencuri, harus dibunuh.”
Abu Dawud dan Nasa’i meriwayatkan  bahwa:

اَمَرَبِقَطْعِ السَّارِقِ فِي الْأَرْبَعَةِ وَقَالَ فِي الْخَمْسَةِ اُقْتُلُوْهُ
Artinya:
“ Nabi memerintahkan untuk memotong tangan pencuri sampai 4 anggota ( 2 tangan 2 kaki ) dan beliau bersabda  pada pencuri yang kelima “ Bunuhlah dia”. ( H.R. Abu Dawud dan Nasai).

Dalil pemotongan tangan kanan pencuri yang telah memenuhi syarat dihukum potong :

لَئِنْ بَسَطتَ اِلَىَّ يَدَكَ لِتَقُتلنِى مَا اَنَا بِبَاسِطٍ يَدِيَ اليك لِاَقُتُلَكَ اِنِّى اَخَافُ اللّهَ رَبَّ الْعَالَمِيْنَ

"Sungguh kalau kamu menggerakkan tanganmu kepadaku untuk membunuhku, aku sekali-kali tidak akan menggerakkan tanganku kepadamu untuk membunuhmu. Sesungguhnya aku takut kepada Allah,Tuhan sekalian alam” ( QS Al-maidah: 28).
Sedangkan menurut bacaan Ibnu mas’ud ra’ yai
Artinya:
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan kanan mereka”.
            Ta’ziran untuk mencuri yang telah menjalani had potong tangan, kaki sampai empat kali itu menurut kebijakan hakim, boleh berupa cambukan, penahan atau pengasingan ditempat yang jauh, karena mencuri adalah perbuatan maksiat dan meresahkan.
            Adapun pendapat  yang menyebutkan hukum membunuh atas pencuri yang melakukan pencurian kelima kalinya itu, berdasarkan  hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dan lainnya. Pendapat ini adalah marjuh dan dhaif, karena hadisnya dhaif. Menurut imam An Nasai hadis yang menerangkan hukum membunuh  pencurian kelima kali adalah hadis munkar. Apabila hadis tentang kasus ini tetap adanya, maka sudah dimansukh. Demikian kata imam as-syafi’I  dan az-Zuhri dan az-Zuhri.
            Adapun ketetapan untuk memotong tangan pencuri yang mengambil tiga dirham atau lebih serta tidak menerapkan hukuman seperti itu pada  pencopet atau pada orang yang merampas harta orang lain, karena pencuri tidak mungkin dihindari( perbuatannya). Andaikata tidak ditetapkan hukuman potong tangan bagi pencuri, niscaya pencurian akan merajalela dan manusia akan saling mencuri satu sama lain. Berbeda dengan perampokan dan pencopet, perampuk adalah orang yang mengambil hak orang lain secara terang-terangan dihadapan khalayak, sehingga memungkinkan bagi orang-orang yang meliahat kejadian itu untuk menangkapnya, lalu mengambalikan harta yang di zhalimi atau menjadi saksi atas kejadian itu di depan mahkamah. Sedangkan pencopet, sesungguhnya ia hanya dapat  mengambil harta disaat pemiliknya lengah, sehingga ada sedikit unsur kecerobohan dari sang pemilik harta.
            Adapun ketetapan untuk memotong tangan pencuri yang mencuri barang senilai seperempat dinar, lalu menetapkan ganti rugi atas terpotongnya sebuah tangan tangan tanpa senganja senilai lima ratus dinar, juga termasuk diantara bukti-bukti keagungan maslahat dan hikmah yang dikandung oleh syariat islam. Karena, dalam kedua hal itu syariat telah memberi perhatian serius pada dua sisi yang berbeda. Dalam masalah pencurian, tangan itu dinilai seperempat.dinar demi menjaga keamanan harta.sementara dalam masalah diyat( ganti rugi atas terpotongnya tangan seseorang tanpa sengaja), tangan itu dinilai lima ratus dinar, yakni  demi menjaga keamanan tangan.
            Adapun pengkhususan kadar ini(serempat dinar) batasan dperbolehkannya memotong tangan pencuri. Alasannya adalah, adanya suatu kemestian untuk menetapkan kadar tertentu yang menjadi batasan dilaksanakannya kewajiban untuk memotong tangan. Dan syariat tidak pernah menetapkan hal yag seperti itu. Demikian pula hikmah ALLAH subhanahu wa ta’ala dan rahmat serta kebaikannya sangat jauh dari hal-hal itu.
3.      Pendapat Para Ahli Hadis
Pendapat imam syafi’I dalam buku beliau  Fiqih Imam Syafi’I, beliau berpendapat bahwa yang dimaksud pencurian itu adalah mengambil harta benda orang lain secara sembunyi-sembunyi secara zhalim dari tempat penyimpanan harta benda tersebut.
Sesuai hukum al-quran, sanksi had pencurian wajib dijatuhkan kepada seorang pencuri dengan niat memberikan efek jera, menghentikan tindakan pencuri tersebut .          
Tangan seorang pencuri boleh dipotong jika memenuhi tujuh macam persyaratan.
1.       Orang yang telah baligh
2.       Berakal
3.       Tanpa ada keterpaksaan
4.       Mempunyai tanggung jawab melaksanakan hukum islam
5.       Mengambil harta benda sebanyak nisab (kira-kira ¼ dinar)
6.       Dari tempat penyimpanan harta benda
7.       Tidak ada hubungan kepemilikan dan tidak ada unsur kepemilikan yang samar terkait harta yang dicuri, baik dia seorang muslim, kafir dzimmi atau orang murtad[13].

Jadi hukuman potong tangan tidak dapat diberlakukan kepada anak-anak, orang gila, dan orang yang dipaksa. Sesuai dengan dua hadits yang mahsyur yaitu,” Tanggung jawab hukum dihapuskan dari diri tiga orang ,” dan hadits yang lain mengatakan  “ Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadaku agar mengampuni perbuatan yang dilakukan umatku karena lalai, lupa, dan perbuatan yang terpaksa mereka lakukan.[14]”   
Sedangkan menurut Abu Hanifah, tidak wajib dikenakan hukuman potong tangan pada pencurian harta dalam keluarga yang mahram, karena mereka diperbolehkan keluar masuk tanpa izin. Menurut imam syafi’I dam imam Ahmad seorang ayah tidak dapat dikenai hukuman potong tangan karena mencuri harta anaknya, cucunya, dan seterusnya sampai kebawah. Demikian pula sebaliknya anak tidak dapat dikenai sanksi hukuman potongan tagan, karena mencuri harta ayahnya., kakeknya, dan seterusnya ke atas. Menurut imam abu hanifah, tidak ada hukuman potong tangan pada kasus pencurian antara suami istri
 Bagaimana hukumnya , jika ada seorang anak yang mengambil uang milik orang tuanya sendiri , tanpa diketahui oleh orang tua  tersebut .. tapi anak tersebut mengambil uang itu untuk kebaikan , misalnya untuk menabung , atau yang lain nya .. ?
Jawaban:
Pertama, pada dasarnya, anak tidak boleh mengambil harta orang tua, tanpa sepengetahuan orang tua. Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

فلا يجوز أن تأخذي شيئاً من مال أبيك إلا بإذنه وبطيب من نفسه، لقول النبي صلى الله عليه وسلم : لا يحل مال رجل مسلم لأخيه إلا ما أعطاه بطيب نفسه . أخرجه البيهقي في السنن.
Anda tidak boleh mengambil harta ayah anda sedikitpun, kecuali dengan izin dan kerelaannya. Berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ”Tidak halal bagi seorang muslim untuk mengambil harta saudaranya, kecuali harta yang dia berikan kepadanya dengan kerelaan saudaranya.” riwayat Baihaqi dalam as-Sunan. (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 27073)
Kedua, Apabila orang tua sangat pelit, sehingga tidak memberikan jatah nafkah yang cukup bagi anaknya, maka boleh mengambil harta orang tuanya, meskipun tanpa diketahui ortunya.
Dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darbi dinyatakan,
اذا كان الأب قصّر في النفقة، والولد ضعيف لا يستطيع العمل، عاجز، فإنّه يأخذ من مال أبيه، ويسدّ حاجته، ولو بغير علمه،
“Apabila bapak pelit dalam memberikan nafkah, sementara anak masih lemah tidak bisa bekerja sendiri, maka dia boleh mengambil harta orang bapaknya untuk menutupi kebutuhannya. Meskipun tanpa diketahui orang tua.”
Kemudian Syaikh menyebutkan dalil hadis dari Hindun bintu Uthbah radhiyallahu ‘anha, istri Abu Sufyan yang melaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يا رسول الله إن أبا سفيان رجل شحيح [يعني بخيل] لا يعطيني ما يكفيني ويكفي بنيّ، إلاّ ما أخذته من ماله بغير علمه، فهل علي في ذلك من جناح؟

“Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufyan orang yang pelit, tidak memberikan nafkah yang cukup untukku dan untuk anakku. Kecuali jika aku mengambil hartanya, tanpa sepengetahuannya. Apakah saya berdosa melakukan hal itu?”
Jawab Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

خذي من ماله بالمعروف ما يكفيك ويكفي بنيكِ
”Ambillah hartanya secara wajar, yang mencukupi kebutuhanmu dan mencukupi kebutuhan anakmu.” (Muttafaq ’alaihi). (Simak Fatawa Nur ’ala ad-Darbi, jilid 23, hlm. 307)
4.      Kewajiban Pencuri Setelah di Jatuhi Hukuman
Seorang pencuri berkewajiban menjamin harta atau barang yang dicuri, jika masihberadadi tangannya. Jika mengalami kerusakan, maka dia yang mempertanggungjawabkannya kepada pemiliknya. Para fiiqaha berbeda pendapat mengenai pencuri yang dipotong tangannya, apakah dia berkewajiban mem-pertanggungjawabkan harta yang dicuri tersebut atau tidak. Imam Ahmad dan Imam Syafi’i mengatakan: "Dia harus bertanggung jawab atasnya. "
"Dia hanya bertanggung jawab atas yang ringan saja dan tidak pada yang berat," kata Imam Malik. Sedangkan Abu Hanifah mengatakan: "Dia tidak bertanggung jawab atasnya." Jika syarat-syarat dijatuhkannya had potong tangan itu tidak terpenuhi, maka tanggung jawab barang atau harta yang dicuri tersebut berada di tangan pemiliknya, baik dalam jumlah sedikit maupun banyak, baik pencuri itu kaya maupun miskin.
5.       Cara Eksekusi Pemotongan
a)      Pemotongan pada telapak tangan kanan pencuri.
b)      Setelah dipotong, tangan si pencuri diletakkan pada minyak untuk menghentikan keluarnya darah.



F.     Kesimpulan
mencuri ialah mengambil barang atau harta orang lain secara sembunyi-sembunyi dari tempat penyimpanannya yang biasa digunakan untuk menyimpan barang atau harta kekayaan tersebut. laki-laki pencuri dan perempuan pencuri harus dippotong tanganya. Ulama telah sepakat dengan hal ini, tetapi mereka berbeda pendapat mengenai batas minimal (nisab) barang curian dan tangan sebelah mana yang harus dipotong.









Daftar Putaka
Muhammad Abu Abdullah bin Al-Qurtubi Ahmad Al-Anshari, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, Bairut: Maktabbah Ashriyyah, 2005
Al-Khatib Muhammad, Mughni Al-Muhtaj, (Bairut: Dar Al-Fikr), jilid IV
Al-Zuhaili Wahbah, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, Bairut: Dar Al-Fikr, 1997
            Audah Abdul Qadir, Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami,Bairut: Mu’assah Al-Risalah, 1992
H Zainal Eldin, Hukum Pidana Islam Sebuah Perbandingan, Bandung:Cipta Pustaka Cet.I, 2011
Irfan Nurul, Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta: Bumi Aksara, 2013
Munawwir A.W, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, Surabaya: Pustaka Progressif, 1997




[1]  A. W. Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997), cet. Ke-14, hal. 628.
[2] Wahbah Al-Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islami wa Adillatuh, (Bairut: Dar Al-Fikr, 1997), cet, ke-4, jilid VII, hal. 5422.

[3] Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami, (Bairut: Mu’assah Al-Risalah, 1992), jilid II, hal. 514.
[4] Muhammad Al-Khatib, Mughni Al-Muhtaj, (Bairut: Dar Al-Fikr), jilid IV, hal. 158.
[5]Ibid, Hal.83
[6] Eldin H Zainal, Hukum Pidana Islam Sebuah Perbandingan, (Bandung:Cipta Pustaka Cet.I, 2011), Hal. 139-140
[7]Abdul Qadir Audah, Al-Tasyri Al-Jina’i Al-Islami,  hal. 518.

[8] Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal. 114.
[9] Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad Al-Anshari Al-Qurthubi, Al-Jami’ Al-Ahkam Al-Qur’an, (Bairut: Maktabbah Ashriyyah, 2005), jilid III, hal. 388 
[10]ibid, hal. 389
[11]. Nurul Irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, ( Jakarta: Bumi Aksara, 2013), hal. 110. 
[12]Ibid. 340
[13] Nurul irfan, Masyrofah, Fiqh Jinayah, Jakarta:( Bumi Aksara, 2013) hlm. 145
[14]Ibid. hlm 176

Tidak ada komentar:

Posting Komentar