HISAB DAN RUKYAT
SERTA PENENTUAN
WAKTU SHOLAT
A. PENDAHULUAN
Hisab adalah perhitungan secara matematis
dan astronomis
untuk menentukan posisi bulan
dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati
visibilitas hilal,
yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi).
Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik
seperti teleskop.
Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari
terbenam (maghrib),
karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari,
serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang
(maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila
hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu
diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari
waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan
(kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan.
Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat 29 atau 30 hari.[1]

Artinya : “Maka laksanakanlah salat, sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang
ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”[2]
(QS.An-Nisa’
(4) : 103).
B.
HISAB
'Hisab secara harfiah perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering
digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan
terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat
Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan
diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode
bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan
awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul
Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah)[3].sebagaimana
yang telah dijelaskan allah dalam al-quran surat yunus ayat :5

Artinya
:”Dia-lah yang menjadikan matahari
bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah
(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan
tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu
melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada
orang-orang yang mengetahui.”(QS.Yunus (10):5)[4]
Dewasa ini,
metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang
tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada.
Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab
adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu
saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula
konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika
diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu
periode sinodik.
C.
SISTEM HISAB DI INDONESIA
Sistem hisab yang dipakai
oleh pemerintah di Indonesia saat ini mengacu kepada sistem hisab hakiki
kontemporer yang berpedoman pada ufuk Mar’i, menggunakan kriteria MABIMS. Kriteria
ini merupakan kriteria Departemen Agama Republik Indonesia yang diterima
sebagai kriteria bersama dalam forum MABIMS yang mencakup negara: Brunei
Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura adalah sebagai berikut:
a. Tinggi hilal minimum 20
b. Jarak dari matahari minimum 30, atau
c. Umur bulan dihitung saat ijtimak atau bulan baru
atau bulan dan matahari segaris bujur
saat matahari terbenam minimal 8 jam Sebagai pegangan utama sistem hisab yang
dipakai oleh Departemen Agama saat ini adalah sistem Ephemeris Hisab Rukyat.
Buku yang memuat data-data ephemeris tabel posisi bulan dan Matahari setiap
tahun dicetak oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen
Bimas Islam Departemen Agama RI.[5]
D. RUKYAT
Rukyat adalah
aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama
kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata
telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.[6]
Aktivitas
rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah
ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam
sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang
(Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.[7]
Namun, tidak
selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan
terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil
terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan
"cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan
bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of
light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.
Dewasa ini
rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang
dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana
penerapan kedua ilmu tersebut
E. KRITERIA
PENENTUAN AWAL BULAN KALENDER HIJRIYAH
Penentuan awal
bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah
dalam agama Islam, seperti bulan
Ramadhan (yakni umat
Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana
terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).
Sebagian umat
Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan
benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain
berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab
(perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal.
Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.[8]
Berikut adalah
beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender
Hijriyah, khususnya di Indonesia:
1.
Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal
adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat
(mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau
gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi
30 hari.
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan
berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah
(istikmal) menjadi 30 hari".
Kriteria ini di
Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan
dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para
ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai
alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.[9]
2.
Wujudul Hilal
Wujudul Hilal
adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua
prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima'
qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset
after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan
(kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude)
Bulan saat Matahari terbenam.[10]
Kriteria ini di
Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam
penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan
datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria
wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul
Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau
tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan
Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang
digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al
An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin:
36-40.[11]
3.
Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat
adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan
berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk
penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, , dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
- Pada
saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas
cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari
minimum 3°, atau
- Pada
saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah
mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat
dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3
kemungkinan kondisi.[12]
- Ketinggian
hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga
malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam
kondisi ini.
- Ketinggian
hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada
ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi
terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode
rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
- Ketinggian
hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat
dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas
cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal
bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi
ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat
menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal
bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang
berbeda.
Meski demikian ada juga yang
berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat
dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi
ini.[13]
4.
Rukyat Global
Rukyat Global
adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip
bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri
berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang
lain mungkin belum melihatnya. Prinsip ini antara lain dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.[14]
F. PENENTUAN WAKTU SHALAT
banyak dalil baik dari al-Qur’an maupun
hadis yang
menyebutkan tentang kewajiban mengerjakan salat. Dalam menunaikan kewajiban salat, kaum
muslimin tidak bisa memilih waktu seperti yang dikehendakinya. Salat
tidak dikerjakan saat kaum muslimin memiliki waktu luang akan tetapi kaum
muslimin harus meluangkan waktu untuk mengerjakan salat, karena kewajiban salat
telah terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan.Sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dan Turmudzi yang Artinya: ”Bahwasannya Nabi
Saw didatangi oleh malaikat Jibril lalu berkata Jibril kepada Nabi Saw:
Berdirilah dan bersalatlah. Maka Nabi melaksanakan salat
Zuhur ketika Matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril datang kepada
Nabi Saw di waktu Asar dan berkata: Berdirilah dan bersalatlah. Maka
Nabi Saw melaksanakan salat Asar di ketika bayangan tiap-tiap sesuatu
telah menjadi sama. Kemudian Jibril datang di waktu Magrib dan
berkata: Berdirilah dan laksanakan salat. Maka Nabi Saw melaksanakan
salat Magrib di ketika Matahari telah terbenam. Kemudian
malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw pada waktu Isya dan berkata:
Berdirilah dan bersalatlah. Maka Nabi Saw mengerjakan salat Isya
diketika terbenam syafak. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw di
waktu fajar dan berkata: Berdiri dan bersalatlah. Maka Nabi Saw bersalat
fajar ketika fajar telah bersinar atau dia berkata: Ketika fajar telah
cemerlang. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw pada esok harinya.
Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu Zuhur dan berkata: Berdirilah
dan bersalatlah. Maka Nabi Saw bersalat Zuhur di ketika bayangan
sesuatu telah sama. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw pada
waktu Asar dan berkata: Berdirilah dan bersalatlah. Maka Nabi Saw
mengerjakan salat Asar di ketika bayangan sesuatu telah menjadi dua
kali lebih panjang. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw pada waktu
Magrib di waktu kemarin juga, tidak berbeda. Kemudian jibril datang
kepada Nabi Saw bersalat Isya ketika telah lewat separuh malam atau
sepertiga malam. Kemudian jibril datang kepada Nabi Saw untuk salat
fajar diketika cahaya telah terang sekali dan berkata: Berdiri dan bersalatlah.
Maka Nabi Saw melaksanakan salat fajar. Kemudian jibril berkata:
Antara dua waktu ini, itulah waktu salat”. (HR. Imam Ahmad dan
Nasa’i dan Turmudzi).[15]
Berdasarkan
hadis tersebut terdapat keterangan mengenai rincian batasan
waktu salat yakni sebagai berikut:
1. Waktu Zuhur, yakni saat Matahari tergelincir dan disebutkan pula
saat panjang bayang-bayang benda sama panjangnya dengan dirinya.
2. Waktu Asar, yakni saat panjang bayang-bayang sama panjangnya dengan
dirinya dan dijelaskan pula saat bayang-bayang benda dua kali panjang
dirinya.
3. Waktu Magrib, yakni saat Matahari terbenam sampai terbenamnya
mega merah.
4. Waktu Isya, yakni saat terbenamnya mega merah sampai tengah
malam atau sampai terbitnya fajar.
5. Waktu Subuh, yakni saat terbitnya fajar sampai Matahari terbit. Ketentuan
waktu salat yang diterangkan dalam hadis diatas dapat dideteksi
melalui fenomena alam. Hal ini akan memunculkan persoalan bagi kita
jika langit mendung dan Matahari tidak memancarkan sinarnya dengan maksimal,
kita tidak bisa mendeteksi posisi Matahari sebagai acuan waktu
salat. Dengan adanya persoalan seperti ini, perlu sebuah rumusan
konkrit dalam
menentukan waktu salat. Artinya perlu konsep kejelasan waktu yang tepat
yaitu pada jam-jam berapa mulai awal waktu salat itu. [16]
Terdapat
beberapa asumsi yang menyatakan bahwa cara menentukan waktu-waktu
salat adalah dengan menggunakan cara melihat langsung pada tanda-tanda
alam, seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa’. Sedangkan
sebagian yang lain mempunyai pemahaman secara kontekstual, dimana
awal dan akhir waktu salat ditentukan oleh posisi Matahari dilihat dari suatu
tempat di Bumi, sehingga dapat diketahui kedudukan Matahari tersebut pada
bola langit di saat-saat tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghitung
kapan Matahari akan menempati posisi-posisinya pada waktuwaktu salat.
Metode atau cara yang seperti ini dinamakan dengan hisab (menghitung
waktu salat).[17]
Ada beberapa metode hisab yang berkembang sampai saat ini, diantaranya
adalah perhitungan dengan menggunakan data-data Ephemeris, Nautika,
perhitungan yang di jabarkan dalam
kitab-kitab klasik seperti yang diterangkan
dalam kitab Natijah al-Miqaat, dan lain-lain. Metode-metode hisab
tersebut memiliki beberapa perbedaan
baik dalam proses perhitungan, data-data
yang digunakan dalam perhitungan, ataupun hasil yg didapatkan
meskipun kadang tidak terlampau jauh perbedaannya.
Istiwa’ (tongkat istiwa’)
merupakan tongkat yang biasa ditancapkan tegak lurus pada bidang datar di tempat terbuka
(sinar matahari
tidak terhalang). Kegunaannya untuk menentukan arah secara tepat dengan
menghubungkan dua titik (jarak kedua titik ke tongkat harus sama) ujung
bayangan tongkat saat matahari disebelah timur dengan ujung bayangan setelah
matahari bergerak ke barat. Kegunaan lainnya adalah untuk mengetahui secara
persis waktu Zuhur, tinggi matahari, dan menentukan arah kiblat. [18]
Adapun yang disebut dengan istiwa’ (waktu
istiwa’) adalah
waktu yang didasarkan pada perjalanan matahari hakiki. Menurut waktu hakiki,
matahari berkulminasi pada pukul 12.00 dan berlaku sama untuk setiap hari dan
untuk dijadikan waktu rata-rata, dikoreksi dengan perata waktu .
Seperti dalam
kitab Natijah al-Miqaat misalnya, kitab ini merupakan kitab
falak yang dikarang oleh Ahmad Dahlan Al-Simarani. Salah satu isi dari kitab
tersebut adalah menjelaskan tentang perhitungan awal waktu salat dengan
menggunakan alat hitung rubu’ mujayyab. Seperti
yang telah di ketahui bahwasanya rubu’ mujayyab merupakan alat
bantu hitung berbentuk seperempat lingkaran yang dipakai pada zaman dahulu
yang dalam perhitungannya cenderung masih menghasilkan nilai yang kasar
karena dipengaruhi oleh tingkat kecermatan dari orang yang menggunakannya.
G.Rumus menentukan waktu shalat berdasarkan ilmu falak
Untuk mendapatkan
data-data matahari dapat dipergunakan rumus dalam penentuan arah dan bayang
kiblat. Kemudian dilanjutkan dengan rumus berikut ini:
|
1.
|
Waktu Zuhur
WW
Keterangan
:
WZ = Waktu Zuhur
MP = Meridian Pass (waktu menengah
matahari)
KWK = Koreksi Waktu Kesatuan tempat
2.
|
Waktu
Ashar
Keterangan
:
WA = Waktu Ashar
MP = Meridian Pass
KWK = Koreksi Waktu Kesatuan
TSAsh = Sudut waktu matahari
pada pada saat waktu Ashar
i = ihtiyah + 2 menit
zA = zenith Ashar (jarak titik pusat
matahari dari titk zenith/puncak).
LE = Bujur Tempat
DS = Declination Of Sun (Deklinasi
Matahari)
PE = Lintang Tempat
3.
|
Waktu
Magrib
Keterangan :
WM
= Waktu Magrib
MP
= Meridian Pass
KWK
= Koreksi Waktu Kesatuan
TSMagh
= Sudut waktu matahari pada saat awal waktu magrib
i
= ihtiyah + 2 menit
zM
= zenith Magrib ( jarak titik pusat matahari dari titik zenith/puncak).
4.
|
Waktu
Isya
Keterangan :
WI
= Waktu ‘Isya
MP
= Meridian Pass
KWK
= Koreksi Waktu Kesatuan
TSIsy
= sudut waktu matahari pada saat awal waktu ‘Isya
I
= ihtiyah + 2 menit
Zl
= zenith ‘Isya ( jarak titik pusat matahari dari titik zenith/puncak).
5.
|
Waktu
Shubuh
Keterangan :
WS
= Waktu Shubuh
MP
= Meridian Pass
KWK
= Koreksi Waktu Kesatuan
TSSh
= sudut waktu matahari pada saat masuknya awal waktu shalat shubuh.
i
= ihtiyah + 2 menit
ET
= Equation of Time (perata waktu )
LE
= Bujur Tempat
DS
= Declination of Sun (Deklinasi Matahari)
PE
= lintang Tempat
zS
= zenith Shubuh ( jarak titik pusat matahari dari titik zenith/ puncak)
G. kesimpulan
Hisab dan Rukyah, sebagai alat yang
diperlukan bagi setiap muslim untuk menimbulkan keyakinan masuknya awal bulan
Qamariyah dan bagi para penguasa dalam menetapkan awal bulan Qamariyah mengenai
kekuatan hukumnya, telah diatur baik dalam Al-Qur’an ataupun Al Hadits. Akan
tetapi dalam menginterpretasikan teks-teks dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits itu,
terdapat aneka ragam pola, sehingga menyebabkan perbedaan faham. Maka
keikutsertaan perkembangan pikiran sangat diperlukan, justru dalam mencari
interpretasi yang paling berimbang dengan perkembangan zaman, terutama di
saat-saat memberi keputasan tentang masuknya awal bulan Qamariah.
hlm.
138.
hlm. 208.
[5] Widiana, W., 2004, , Hisab dan
Rukyat:Permasalahannya di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama,
Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.
[15] Muhammad Hasby Ash-Shidieqi, Mutiara Hadis, Semarang:
Pustaka Rizki Putra, buku ke3, 2003, hlm.148.
[16] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab – Rukyah
Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006, hlm.52.
Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours
BalasHapusWell over 160 thousand women and men are trying a simple and SECRET "liquid hack" to drop 1-2lbs every night as they sleep.
It's very simple and it works all the time.
Here's how you can do it yourself:
1) Hold a drinking glass and fill it up with water half full
2) And then use this weight losing HACK
and you'll be 1-2lbs lighter in the morning!
Apakah file dari makalah ini bisa didapatkan?
BalasHapus