Powered By Blogger

Sabtu, 21 Mei 2016

hisab dan rukyat

HISAB DAN RUKYAT
SERTA PENENTUAN WAKTU SHOLAT

A.    PENDAHULUAN
Hisab adalah perhitungan secara matematis dan astronomis untuk menentukan posisi bulan dalam menentukan dimulainya awal bulan pada kalender Hijriyah.
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang nampak pertama kali setelah terjadinya ijtimak (konjungsi). Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang atau dengan alat bantu optik seperti teleskop. Rukyat dilakukan setelah Matahari terbenam. Hilal hanya tampak setelah Matahari terbenam (maghrib), karena intensitas cahaya hilal sangat redup dibanding dengan cahaya Matahari, serta ukurannya sangat tipis. Apabila hilal terlihat, maka pada petang (maghrib) waktu setempat telah memasuki bulan (kalender) baru Hijriyah. Apabila hilal tidak terlihat maka awal bulan ditetapkan mulai maghrib hari berikutnya.
Perlu diketahui bahwa dalam kalender Hijriyah, sebuah hari diawali sejak terbenamnya matahari waktu setempat, bukan saat tengah malam. Sementara penentuan awal bulan (kalender) tergantung pada penampakan (visibilitas) bulan. Karena itu, satu bulan kalender Hijriyah dapat 29 atau 30 hari.[1]
Salat merupakan ibadah yang paling utama yang di syari’atkan kepada umat islam. Oleh karena itu, banyak dalil baik dari al-Qur’an maupun hadis yang menyebutkan tentang kewajiban mengerjakan salat. Dalam menunaikan kewajiban salat, kaum muslimin tidak bisa memilih waktu seperti yang dikehendakinya. Salat tidak dikerjakan saat kaum muslimin memiliki waktu luang akan tetapi kaum muslimin harus meluangkan waktu untuk mengerjakan salat, karena kewajiban salat telah terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan. Hal ini sebagaimana yang telah diisyaratkan dalam surat an-Nisa’: 103.

Artinya : “Maka laksanakanlah salat, sesungguhnya salat itu adalah kewajiban yang ditentukan waktunya atas orang-orang yang beriman.”[2] (QS.An-Nisa’ (4) : 103).
B.     HISAB
'Hisab secara harfiah perhitungan. Dalam dunia Islam istilah hisab sering digunakan dalam ilmu falak (astronomi) untuk memperkirakan posisi Matahari dan bulan terhadap bumi. Posisi Matahari menjadi penting karena menjadi patokan umat Islam dalam menentukan masuknya waktu salat. Sementara posisi bulan diperkirakan untuk mengetahui terjadinya hilal sebagai penanda masuknya periode bulan baru dalam kalender Hijriyah. Hal ini penting terutama untuk menentukan awal Ramadhan saat muslim mulai berpuasa, awal Syawal (Idul Fithri), serta awal Dzulhijjah saat jamaah haji wukuf di Arafah (9 Dzulhijjah) dan Idul Adha (10 Dzulhijjah)[3].sebagaimana yang telah dijelaskan allah dalam al-quran surat yunus ayat :5



Artinya :”Dia-lah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah (tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kamu mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran-Nya) kepada orang-orang yang mengetahui.”(QS.Yunus (10):5)[4]
Dewasa ini, metode hisab telah menggunakan komputer dengan tingkat presisi dan akurasi yang tinggi. Berbagai perangkat lunak (software) yang praktis juga telah ada. Hisab seringkali digunakan sebelum rukyat dilakukan. Salah satu hasil hisab adalah penentuan kapan ijtimak terjadi, yaitu saat Matahari, bulan, dan bumi berada dalam posisi sebidang atau disebut pula konjungsi geosentris. Konjungsi geosentris terjadi pada saat matahari dan bulan berada di posisi bujur langit yang sama jika diamati dari bumi. Ijtimak terjadi 29,531 hari sekali, atau disebut pula satu periode sinodik.
C. SISTEM HISAB DI INDONESIA
Sistem hisab yang dipakai oleh pemerintah di Indonesia saat ini mengacu kepada sistem hisab hakiki kontemporer yang berpedoman pada ufuk Mar’i, menggunakan kriteria MABIMS. Kriteria ini merupakan kriteria Departemen Agama Republik Indonesia yang diterima sebagai kriteria bersama dalam forum MABIMS yang mencakup negara: Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia dan Singapura adalah sebagai berikut:
a. Tinggi hilal minimum 20
b. Jarak dari matahari minimum 30, atau
c. Umur bulan dihitung saat ijtimak atau bulan baru atau bulan dan matahari  segaris bujur saat matahari terbenam minimal 8 jam Sebagai pegangan utama sistem hisab yang dipakai oleh Departemen Agama saat ini adalah sistem Ephemeris Hisab Rukyat. Buku yang memuat data-data ephemeris tabel posisi bulan dan Matahari setiap tahun dicetak oleh Direktorat Urusan Agama Islam dan Pembinaan Syariah Ditjen Bimas Islam Departemen Agama RI.[5]
D. RUKYAT
Rukyat adalah aktivitas mengamati visibilitas hilal, yakni penampakan bulan sabit yang pertama kali tampak setelah terjadinya ijtimak. Rukyat dapat dilakukan dengan mata telanjang, atau dengan alat bantu optik seperti teleskop.[6]
Aktivitas rukyat dilakukan pada saat menjelang terbenamnya Matahari pertama kali setelah ijtimak (pada waktu ini, posisi Bulan berada di ufuk barat, dan Bulan terbenam sesaat setelah terbenamnya Matahari). Apabila hilal terlihat, maka pada petang (Maghrib) waktu setempat telah memasuki tanggal 1.[7]
Namun, tidak selamanya hilal dapat terlihat. Jika selang waktu antara ijtimak dengan terbenamnya Matahari terlalu pendek, maka secara ilmiah/teori hilal mustahil terlihat, karena iluminasi cahaya Bulan masih terlalu suram dibandingkan dengan "cahaya langit" sekitarnya. Kriteria Danjon (1932, 1936) menyebutkan bahwa hilal dapat terlihat tanpa alat bantu jika minimal jarak sudut (arc of light) antara Bulan-Matahari sebesar 7 derajat.
Dewasa ini rukyat juga dilakukan dengan menggunakan peralatan canggih seperti teleskop yang dilengkapi CCD Imaging. namun tentunya perlu dilihat lagi bagaimana penerapan kedua ilmu tersebut
E. KRITERIA PENENTUAN AWAL BULAN KALENDER HIJRIYAH
Penentuan awal bulan menjadi sangat signifikan untuk bulan-bulan yang berkaitan dengan ibadah dalam agama Islam, seperti bulan Ramadhan (yakni umat Islam menjalankan puasa ramadan sebulan penuh), Syawal (yakni umat Islam merayakan Hari Raya Idul Fitri), serta Dzulhijjah (dimana terdapat tanggal yang berkaitan dengan ibadah Haji dan Hari Raya Idul Adha).
Sebagian umat Islam berpendapat bahwa untuk menentukan awal bulan, adalah harus dengan benar-benar melakukan pengamatan hilal secara langsung. Sebagian yang lain berpendapat bahwa penentuan awal bulan cukup dengan melakukan hisab (perhitungan matematis/astronomis), tanpa harus benar-benar mengamati hilal. Keduanya mengklaim memiliki dasar yang kuat.[8]
Berikut adalah beberapa kriteria yang digunakan sebagai penentuan awal bulan pada Kalender Hijriyah, khususnya di Indonesia:
1.      Rukyatul Hilal
Rukyatul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan merukyat (mengamati) hilal secara langsung. Apabila hilal (bulan sabit) tidak terlihat (atau gagal terlihat), maka bulan (kalender) berjalan digenapkan (istikmal) menjadi 30 hari.
Kriteria ini berpegangan pada Hadits Nabi Muhammad:
Berpuasalah kamu karena melihat hilal dan berbukalah kamu karena melihat hilal. Jika terhalang maka genapkanlah (istikmal) menjadi 30 hari".
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Nahdlatul Ulama (NU), dengan dalih mencontoh sunnah Rasulullah dan para sahabatnya dan mengikut ijtihad para ulama empat mazhab. Bagaimanapun, hisab tetap digunakan, meskipun hanya sebagai alat bantu dan bukan sebagai penentu masuknya awal bulan Hijriyah.[9]
2.      Wujudul Hilal
Wujudul Hilal adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah dengan menggunakan dua prinsip: Ijtimak (konjungsi) telah terjadi sebelum Matahari terbenam (ijtima' qablal ghurub), dan Bulan terbenam setelah Matahari terbenam (moonset after sunset); maka pada petang hari tersebut dinyatakan sebagai awal bulan (kalender) Hijriyah, tanpa melihat berapapun sudut ketinggian (altitude) Bulan saat Matahari terbenam.[10]
Kriteria ini di Indonesia digunakan oleh Muhammadiyah dan Persis dalam penentuan awal Ramadhan, Idul Fitri dan Idul Adha untuk tahun-tahun yang akan datang. Akan tetapi mulai tahun 2000 PERSIS sudah tidak menggunakan kriteria wujudul-hilal lagi, tetapi menggunakan metode Imkanur-rukyat. Hisab Wujudul Hilal bukan untuk menentukan atau memperkirakan hilal mungkin dilihat atau tidak. Tetapi Hisab Wujudul Hilal dapat dijadikan dasar penetapan awal bulan Hijriyah sekaligus bulan (kalender) baru sudah masuk atau belum, dasar yang digunakan adalah perintah Al-Qur'an pada QS. Yunus: 5, QS. Al Isra': 12, QS. Al An-am: 96, dan QS. Ar Rahman: 5, serta penafsiran astronomis atas QS. Yasin: 36-40.[11]
3.      Imkanur Rukyat MABIMS
Imkanur Rukyat adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang ditetapkan berdasarkan Musyawarah Menteri-menteri Agama Brunei Darussalam, Indonesia, Malaysia, dan Singapura (MABIMS), dan dipakai secara resmi untuk penentuan awal bulan Hijriyah pada Kalender Resmi Pemerintah, , dengan prinsip:
Awal bulan (kalender) Hijriyah terjadi jika:
  • Pada saat Matahari terbenam, ketinggian (altitude) Bulan di atas cakrawala minimum 2°, dan sudut elongasi (jarak lengkung) Bulan-Matahari minimum 3°, atau
  • Pada saat bulan terbenam, usia Bulan minimum 8 jam, dihitung sejak ijtimak.
Secara bahasa, Imkanur Rukyat adalah mempertimbangkan kemungkinan terlihatnya hilal. Secara praktis, Imkanur Rukyat dimaksudkan untuk menjembatani metode rukyat dan metode hisab.Terdapat 3 kemungkinan kondisi.[12]
  • Ketinggian hilal kurang dari 0 derajat. Dipastikan hilal tidak dapat dilihat sehingga malam itu belum masuk bulan baru. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Ketinggian hilal lebih dari 2 derajat. Kemungkinan besar hilal dapat dilihat pada ketinggian ini. Pelaksanaan rukyat kemungkinan besar akan mengkonfirmasi terlihatnya hilal. Sehingga awal bulan baru telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini.
  • Ketinggian hilal antara 0 sampai 2 derajat. Kemungkinan besar hilal tidak dapat dilihat secara rukyat. Tetapi secara metode hisab hilal sudah di atas cakrawala. Jika ternyata hilal berhasil dilihat ketika rukyat maka awal bulan telah masuk malam itu. Metode rukyat dan hisab sepakat dalam kondisi ini. Tetapi jika rukyat tidak berhasil melihat hilal maka metode rukyat menggenapkan bulan menjadi 30 hari sehingga malam itu belum masuk awal bulan baru. Dalam kondisi ini rukyat dan hisab mengambil kesimpulan yang berbeda.
Meski demikian ada juga yang berpikir bahwa pada ketinggian kurang dari 2 derajat hilal tidak mungkin dapat dilihat. Sehingga dipastikan ada perbedaan penetapan awal bulan pada kondisi ini.[13]
4.      Rukyat Global
Rukyat Global adalah kriteria penentuan awal bulan (kalender) Hijriyah yang menganut prinsip bahwa: jika satu penduduk negeri melihat hilal, maka penduduk seluruh negeri berpuasa (dalam arti luas telah memasuki bulan Hijriyah yang baru) meski yang lain mungkin belum melihatnya. Prinsip ini antara lain dipakai oleh Hizbut Tahrir Indonesia.[14]
F. PENENTUAN WAKTU SHALAT
banyak dalil baik dari al-Qur’an maupun hadis yang menyebutkan tentang kewajiban mengerjakan salat. Dalam menunaikan kewajiban salat, kaum muslimin tidak bisa memilih waktu seperti yang dikehendakinya. Salat tidak dikerjakan saat kaum muslimin memiliki waktu luang akan tetapi kaum muslimin harus meluangkan waktu untuk mengerjakan salat, karena kewajiban salat telah terikat pada waktu-waktu yang sudah ditentukan.Sebagaimana     hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan Nasa’i dan Turmudzi yang Artinya: ”Bahwasannya Nabi Saw didatangi oleh malaikat Jibril lalu berkata Jibril kepada Nabi Saw: Berdirilah dan bersalatlah. Maka Nabi melaksanakan salat Zuhur ketika Matahari telah tergelincir. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu Asar dan berkata: Berdirilah dan bersalatlah. Maka Nabi Saw melaksanakan salat Asar di ketika bayangan tiap-tiap sesuatu telah menjadi sama. Kemudian Jibril datang di waktu Magrib dan berkata: Berdirilah dan laksanakan salat. Maka Nabi Saw melaksanakan salat Magrib di ketika Matahari telah terbenam. Kemudian malaikat Jibril datang kepada Nabi Saw pada waktu Isya dan berkata: Berdirilah dan bersalatlah. Maka Nabi Saw mengerjakan salat Isya diketika terbenam syafak. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu fajar dan berkata: Berdiri dan bersalatlah. Maka Nabi Saw bersalat fajar ketika fajar telah bersinar atau dia berkata: Ketika fajar telah cemerlang. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw pada esok harinya. Jibril datang kepada Nabi Saw di waktu Zuhur dan berkata: Berdirilah dan bersalatlah. Maka Nabi Saw bersalat Zuhur di ketika bayangan sesuatu telah sama. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw pada waktu Asar dan berkata: Berdirilah dan bersalatlah. Maka Nabi Saw mengerjakan salat Asar di ketika bayangan sesuatu telah menjadi dua kali lebih panjang. Kemudian Jibril datang kepada Nabi Saw pada waktu Magrib di waktu kemarin juga, tidak berbeda. Kemudian jibril datang kepada Nabi Saw bersalat Isya ketika telah lewat separuh malam atau sepertiga malam. Kemudian jibril datang kepada Nabi Saw untuk salat fajar diketika cahaya telah terang sekali dan berkata: Berdiri dan bersalatlah. Maka Nabi Saw melaksanakan salat fajar. Kemudian jibril berkata: Antara dua waktu ini, itulah waktu salat”. (HR. Imam Ahmad dan Nasa’i dan Turmudzi).[15]
Berdasarkan hadis tersebut terdapat keterangan mengenai rincian batasan waktu salat yakni sebagai berikut:
1. Waktu Zuhur, yakni saat Matahari tergelincir dan disebutkan pula saat panjang bayang-bayang benda sama panjangnya dengan dirinya.
2. Waktu Asar, yakni saat panjang bayang-bayang sama panjangnya dengan dirinya dan dijelaskan pula saat bayang-bayang benda dua kali panjang dirinya.
3. Waktu Magrib, yakni saat Matahari terbenam sampai terbenamnya mega merah.
4. Waktu Isya, yakni saat terbenamnya mega merah sampai tengah malam atau sampai terbitnya fajar.
5. Waktu Subuh, yakni saat terbitnya fajar sampai Matahari terbit. Ketentuan waktu salat yang diterangkan dalam hadis diatas dapat dideteksi melalui fenomena alam. Hal ini akan memunculkan persoalan bagi kita jika langit mendung dan Matahari tidak memancarkan sinarnya dengan maksimal, kita tidak bisa mendeteksi posisi Matahari sebagai acuan waktu
salat. Dengan adanya persoalan seperti ini, perlu sebuah rumusan konkrit dalam menentukan waktu salat. Artinya perlu konsep kejelasan waktu yang tepat yaitu pada jam-jam berapa mulai awal waktu salat itu. [16]
Terdapat beberapa asumsi yang menyatakan bahwa cara menentukan waktu-waktu salat adalah dengan menggunakan cara melihat langsung pada tanda-tanda alam, seperti menggunakan alat bantu tongkat istiwa’. Sedangkan sebagian yang lain mempunyai pemahaman secara kontekstual, dimana awal dan akhir waktu salat ditentukan oleh posisi Matahari dilihat dari suatu tempat di Bumi, sehingga dapat diketahui kedudukan Matahari tersebut pada bola langit di saat-saat tertentu. Hal ini dapat dilakukan dengan cara menghitung kapan Matahari akan menempati posisi-posisinya pada waktuwaktu salat. Metode atau cara yang seperti ini dinamakan dengan hisab (menghitung waktu salat).[17]
Ada beberapa metode hisab yang berkembang sampai saat ini, diantaranya adalah perhitungan dengan menggunakan data-data Ephemeris, Nautika, perhitungan yang di jabarkan dalam kitab-kitab klasik seperti yang diterangkan dalam kitab Natijah al-Miqaat, dan lain-lain. Metode-metode hisab tersebut memiliki beberapa perbedaan baik dalam proses perhitungan, data-data yang digunakan dalam perhitungan, ataupun hasil yg didapatkan
meskipun kadang tidak terlampau jauh perbedaannya.
 Istiwa’ (tongkat istiwa’) merupakan tongkat yang biasa ditancapkan tegak lurus pada bidang datar di tempat terbuka (sinar matahari tidak terhalang). Kegunaannya untuk menentukan arah secara tepat dengan menghubungkan dua titik (jarak kedua titik ke tongkat harus sama) ujung bayangan tongkat saat matahari disebelah timur dengan ujung bayangan setelah matahari bergerak ke barat. Kegunaan lainnya adalah untuk mengetahui secara persis waktu Zuhur, tinggi matahari, dan menentukan arah kiblat. [18]
Adapun yang disebut dengan istiwa’ (waktu istiwa’) adalah waktu yang didasarkan pada perjalanan matahari hakiki. Menurut waktu hakiki, matahari berkulminasi pada pukul 12.00 dan berlaku sama untuk setiap hari dan untuk dijadikan waktu rata-rata, dikoreksi dengan perata waktu .
Seperti dalam kitab Natijah al-Miqaat misalnya, kitab ini merupakan kitab falak yang dikarang oleh Ahmad Dahlan Al-Simarani. Salah satu isi dari kitab tersebut adalah menjelaskan tentang perhitungan awal waktu salat dengan menggunakan alat hitung rubu’ mujayyab. Seperti yang telah di ketahui bahwasanya rubu’ mujayyab merupakan alat bantu hitung berbentuk seperempat lingkaran yang dipakai pada zaman dahulu yang dalam perhitungannya cenderung masih menghasilkan nilai yang kasar karena dipengaruhi oleh tingkat kecermatan dari orang yang menggunakannya.
G.Rumus menentukan waktu shalat berdasarkan ilmu falak
            Untuk mendapatkan data-data matahari dapat dipergunakan rumus dalam penentuan arah dan bayang kiblat. Kemudian dilanjutkan dengan rumus berikut ini:



W= MP + KWK + TS
TS= ACS ((cos z – sin DS x sin PE ) / cos DS X cos PE) / 15
zS = 110     Za = ATN (tan / DS – PE / + 1)
Zm = 91                   zI = 108
zZ = 0 (tidak ada)

 
 







1.     
WZ =  MP + KWK + i






 
Waktu  Zuhur
WW

Keterangan :
WZ = Waktu Zuhur
MP = Meridian Pass (waktu menengah matahari)
KWK = Koreksi Waktu Kesatuan tempat
2.     
WA = MP+ KWK TSAsh + i
TSAsh  = ACS (( cos z – sin DS x sin PE)/cosDS x cos P)/15
zA = ATN ( tan /DS –PE / + 1), di mana bila nilai (DS – PE ) hasilnya negatif harus di positifkan
 
Waktu Ashar
                                                                                                                                   



Keterangan :
WA = Waktu Ashar
MP = Meridian Pass
KWK = Koreksi Waktu Kesatuan
TSAsh = Sudut waktu matahari pada pada saat waktu Ashar
i = ihtiyah + 2 menit
zA = zenith Ashar (jarak titik pusat matahari dari titk zenith/puncak).
LE = Bujur Tempat
DS = Declination Of Sun (Deklinasi Matahari)
PE = Lintang Tempat


3.     
WM = MP + KWK + TSMagh = + i
TSMagh = ACS ((cos z- sin DS x sin PE)/cos DS x cos PE)/15
zM = 91
 
Waktu Magrib



Keterangan :
WM = Waktu Magrib
MP = Meridian Pass
KWK = Koreksi Waktu Kesatuan
TSMagh = Sudut waktu matahari pada saat awal waktu magrib
i = ihtiyah + 2 menit
zM = zenith Magrib ( jarak titik pusat matahari dari titik zenith/puncak).
4.     
WI = MP + KWK + TSIsy = + i
TS = ACS ((cos z- sin DS x sin PE) cos DS x cos PE)/15
zL = 108
 
Waktu Isya



Keterangan :
WI = Waktu ‘Isya
MP = Meridian Pass
KWK = Koreksi Waktu Kesatuan
TSIsy = sudut waktu matahari pada saat awal waktu ‘Isya
I = ihtiyah + 2 menit
Zl = zenith ‘Isya ( jarak titik pusat matahari dari titik zenith/puncak).
5.     
WS = MP + KWK + TSsh + i
MP = 12 – ET
KWK = (WK – LE) /15
TSSh = ACS ((cos z – sin DS x sin PE)/cos DS x cos PE)/15
zS = 110.





 
Waktu Shubuh


Keterangan :
WS = Waktu Shubuh
MP = Meridian Pass
KWK = Koreksi Waktu Kesatuan
TSSh = sudut waktu matahari pada saat masuknya awal waktu shalat shubuh.
i = ihtiyah + 2 menit
ET = Equation of Time (perata waktu )
LE = Bujur Tempat
DS = Declination of Sun (Deklinasi Matahari)
PE = lintang Tempat
zS = zenith Shubuh ( jarak titik pusat matahari dari titik zenith/ puncak)

G. kesimpulan
Hisab dan Rukyah, sebagai alat yang diperlukan bagi setiap muslim untuk menimbulkan keyakinan masuknya awal bulan Qamariyah dan bagi para penguasa dalam menetapkan awal bulan Qamariyah mengenai kekuatan hukumnya, telah diatur baik dalam Al-Qur’an ataupun Al Hadits. Akan tetapi dalam menginterpretasikan teks-teks dalam Al-Qur’an dan Al-Hadits itu, terdapat aneka ragam pola, sehingga menyebabkan perbedaan faham. Maka keikutsertaan perkembangan pikiran sangat diperlukan, justru dalam mencari interpretasi yang paling berimbang dengan perkembangan zaman, terutama di saat-saat memberi keputasan tentang masuknya awal bulan Qamariah.
















[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat.  jam 9:11 hari jumat, 10 oktober 2014.
[2] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Penerbit Al Hidayah, 1998,
hlm. 138.
[3] http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat.  jam 9:11 hari jumat, 10 oktober 2014.
[4] Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, Surabaya: Penerbit Al Hidayah, 1998,
hlm. 208.
[5] Widiana, W., 2004, , Hisab dan Rukyat:Permasalahannya di Indonesia, Direktorat Pembinaan Peradilan Agama, Ditjen Bimas Islam dan Penyelenggaraan Haji.
[6] http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat.  jam 9:11 hari jumat, 10 oktober 2014.
[7] ibid
[8] ibid
[9] ibid
[10] ibid
[11]  http://id.wikipedia.org/wiki/Hisab_dan_rukyat.  jam 9:11 hari jumat, 10 oktober 2014.
[12] ibid
[13] ibid
[14] ibid
[15] Muhammad Hasby Ash-Shidieqi, Mutiara Hadis, Semarang: Pustaka Rizki Putra, buku ke3, 2003, hlm.148.
[16] Ahmad Izzuddin, Ilmu Falak Praktis (Metode Hisab – Rukyah Praktis dan Solusi Permasalahannya), Semarang: Komala Grafika, 2006, hlm.52.
[17] ibid
[18] Susiknan azhari, Ensiklopedi Hisab Rukyah, yogyakarta: Pustaka Pelajar, cet II, 2008, hlm.105.

2 komentar:

  1. Use this diet hack to drop 2 lb of fat in just 8 hours

    Well over 160 thousand women and men are trying a simple and SECRET "liquid hack" to drop 1-2lbs every night as they sleep.

    It's very simple and it works all the time.

    Here's how you can do it yourself:

    1) Hold a drinking glass and fill it up with water half full

    2) And then use this weight losing HACK

    and you'll be 1-2lbs lighter in the morning!

    BalasHapus
  2. Apakah file dari makalah ini bisa didapatkan?

    BalasHapus