KEBOLEHAN MELIHAT TUBUH WANITA YANG DI PINANG MENURUT MAZHAB
SYAFI’I DAN MAZHAB AZH-ZHAHIRI
A.
Kebolehan
Melihat Anggota Tubuh Wanita Yang Dipinang Menurut Mazhab Syafi’i
Mayoritas ulama berpendapat bolehnya laki-laki memandang wajah dan
kedua telapak tangan dari wanita yang dipinang, dan ia tidak diperkenankan
memandang selain itu. Mereka beralasan pada sabda Rasulullah Saw:
عن
عائشة رضي الله عنهما أن أسماء بنت أبي بكر دخلت على رسول الله صلى الله عليه وسلم وعليها ثيا ب رقا ق فأعر ض عنها رسو ل
الله صلى الله عليه وسلم وقال يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم تصلح أن يرى
منها إلا هذا وأشار إلى وجهه وكفيه
Artinya: dari Aisyah ra, Asma’ binti Abi Bakar masuk ke rumah Nabi
SAW. Sedangkan ia memakai pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan
berkata : Hai Asma’ bila seorang perempuan telah haid tidak boleh terlihat
kecuali ini dan ini” Nabi mengisyaratkan kepada muka dan telapak tanggannya.
(HR. Abu Daud dan Baihaqi).
Mazhab Asy-Syafi’i, Imam Malik, dan Ahmad dalam salah satu
pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat
wajah dan kedua telapak tangan. Adapun dalil mereka firman Allah SWT:
ولا يبدين
زينتهن إلا ما ظهر منها.....
Artinya : Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali
yang biasa (nampak) dari mereka. (QS, An-Nur 31)[1]
B.
Kebolehan
Melihat Anggota Tubuh Wanita Yang Dipinang Menurut Mazhab Az-Zhahiri.
Imam Dawud Al-zhahiri dan Ibn Hazm, seorang ulama tekstualis punya
pendapat nyentrik, bahwa boleh melihat semua anggota badan perempuan kecuali
alat kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun. Alasannya hadist yang
memperbolahkan melihat calon isteri tidak membatasi sampai dimana diperbolehkan
melihat.
Dalam pendapatnya ia berkata
Artinya: “barang siapa yang ingin
menikahi perempuan, perempuan merdeka, perempuan hamba maka ia boleh melihat
secara terang-terangan atau tersembunyi, baik secara tersembunyi ataupun
terlihat”.
Dalam masalah aurat wanita, Ibn Hazm mengatakan bahwa batas aurat
perempuan hamba dan perempuan merdeka adalah sama dalam keadaan apapun, karena
tidak ada teks syara’ yang otoritatif untuk membedakan antara perempuan hamba
dan perempuan merdeka. maka sesungguhnya agama Allah itu satu, karakter dan
tabiat juga satu, apa yang terdapat pada wanita yang merdeka dan budak, wanita
adalah sama, sampai ada dalil yang membedakan antara keduanya, barulah kita
bisa untuk menerimanya.
Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Hazm, beliau mengatakan
kebolehan untuk melihat seluruh tubuh wanita yang akan dipinang karena beliau
mendasarkan pada hadist Nabi. Dalam memahami hadis diatas Ibn Hazm mengartikan
kalimat “ما يد عوه”
itu masih mempunyai arti yang umum kepada tubuh ; baik itu muka,
kaki, tangan, dan sebagainya yang bisa menarik peminang untuk menikahinya.
Dalam menafsirkan Al-qur’an maupun hadis Ibn Hazm ini menggunakan
pendekatan secara dhahiriyah, yaitu apa yang tertulis dalam teks itu langsung
dimaknai secara dhahir sesuai teks yang ada, berbeda dengan para jumhur ulama
yang lebih kepada substansinya. Bahkan beliau menolak adanya qiyas karena
menurut beliau sesuatu itu cukup dimaknai secara dhahir teks saja sudah dapat
dipahani maknanya.[2]
Metode pendekatan dhahiriyah ini dipegang erat-erat oleh Ibn Hazm
dalam menafsirkan sesuatu. Inilah yang membuat perbedaan dan karakteristik yang
berbeda dengan ulama-ulama yang lain. Beliau memilih jalur pemahaman tekstualis
dalam memahami syariat ini, bukan semata-mata karena taqlid kepada
pendahulunya.
Imam Auza’i berpendapat bahwa laki-laki boleh berupaya malihat apa
yang ia kehendeki untuk dilihat dari wanita yang dipinag kecuali aurat. Kedua
ulama ini berikut dengan Imam Al-Auza’i berhujjah dengan kemutlakan hadist
Rasullulah SAW berikut:
عن
جا بر قا ل: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب أحدكم المرأة فإن اسطاع
أن ينظر إلى ما يد عوه
إلى ما يد عوه إلى نكا حها فليفعل (روه احمد)
Artinya : apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang
perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga
bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah (Riwayat Ahmad Dan Abu
Daud).[3]
Mereka juga berpendapat dengan beralasan dengan sabda Nabi SAW
berikut ini :
فا
نظر إليها فإنه أحرى أن يؤ دم بينكما[4]
Artinya
: “lihatlah perempuan itu agar kalian berdua bisa bergaul lebih langgeng”
Maksud dari
ungkapan ini, “bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya” dan “lihatlah
perempuan itu “ bersifat mutlak (tidak terbatas).
C.
Asbabul
Ikhtilaf.
Adapun asbab al-khilaf
antara Imam Syafi’i dan Imam Azh-Zhahiri dalam menetapkan pendapat
mereka masing-masing menurut penulis adalah:
1.
adanya
nas al-Qur’an yang menjelaskan tentang batas kebolehan melihat anggota tubuh
wanita yang dipinang.
2.
Adanya
perbedaan pandangan mereka terhadap kebolehan melihat anggota tubuh wanita yang
akan dipinang.
3.
Adanya
perbedaan batas yang membolehkan melihat anggota tubuh wanita yang akan di
pinang.
Imam syafi’i hanya membolehkan melihat wajah dan kedua telapak
tangan berdasarkan QS An-Nur ayat 31: Dan janganlah mereka menampakkan
perhiasan mereka kecuali yang biasa (nampak) dari mereka.
Berkata Imam Syafi’i “dan apabila seorang (lelaki) hendak menikah
perempuan maka yang boleh dipandangnya
dari perempuan itu hanyalah wajah dan kedua telapak tangannya saja.
Sedangkan perempuan itu dalam kondisi tertutup (berpakaian) baik dengan
izinya ataupun tidak.
Jelaslah menurut Imam Syafi’i bahwa melihat pinangan tersebut hanya
dilihat dari wajah dan kedua telapak tangan tersebut menandakan bahwasannya
wanita tersebut benar-benar dalam keadaan mulia dan menjaga kehormatannya.
Sedangkan Al-Auza’i
mengatakan boleh melihat bagian yang dikehendaki. Adapun Ibn Hazm Azh-Zhahiri
mengatakan “boleh melihat pada bagian depan atau belakang dari wanita yang
hendak dilamarnya. Pendapat kedua dan ketiga di atas menyatkan boleh melihat
anggota tubuh wanita yang dipinang dengan keseluruhan kecuali kemaluannya
tersebut.
Dan dalil yang mereka pakai dengan kemutlakan hadis rasulullah
sebagai berikut:
“Apabila salah seorang diantara kamu
meminag seorang perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah
keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.”
Dan mereka juga mengambil dari sabda Nabi SAW:
“lihatlah perempuan itu agar kalian
berdua bisa bergaul lebih langgeng.”
Maksud dari ungkapan ini, bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya dan
lihatlah perempuan itu bersifat mutlak (tidak terbatas).[5]
Pendapat Azh-Zhahiriyah diatas ditolak mayoritas ulama, karena
pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan
sesuatu karena darurat diperkirakan sekadarnya.[6]
Karena menurut penulis apabila manusia menggunakan pendapat mazhab
Azh-Zhahiri akan menimbulkan suatu permasalahan dari wanita yang akan dipinang.
Karena apabila ketika seorang laki-laki hendak meminang seorang perempuan, maka
terlebih dahulu laki-laki tersebut melihat tubuh wanita tersebut baik dari segi
kekurangan atau kelebihan yang dia miliki (wanita). Kemudian terjadi suatu
permasalahan yang mana laki-laki tersebut membatalkan pinangannya terhadap
wanita yang dipinang, maka wanita itu merasa disepelekan atau dirugikan. Karena
wanita itu sudah menjadi cacat dalam artian dipermalukan.
D.
Munaqasyah
Adillah Dan Pendapat Yang Paling Rajih
Dari beberapa pendapat mengenai hal ini, terjadi perbedaan diantara
kedua ulama diatas. Yang pertama, hanya sebatas wajah dan kedua telapak tangan,
seperti yang dikatakan jumhur ulama. Pengertian dari pendapat kedua, melihat
apa yang biasa terlihat dalam keadaan tidak mengenai tabir penutup (jilbab)
atau melihat secara mutlak (tidak terbatas).
Dalam kebolehan melihat wanita yang dipinang jumhur ulama juga
berpendapat : diperbolehkan melihatnya, jika ia menghendaki, tanpa harus
meminta izin terlebih dahulu dari wanita yang hendak dilamar (secara
sembunyi-sembunyi). Adapun menurut Imam Malik, dari sebuah riwayat yang
disebutkan, bahwa beliau mensyaratkan adanya izin dari wanita tersebut.
Dijelaskan juga oleh Ath-Thahawi dari suatu kaum, dimana disebutkan: bahwasanya
tidak diperbolehkan melihat wanita yang hendak dilamar sebelum diadakannya akad
nikah. Karena, pada saat itu wanita tersebut belum menjadi istrinya.
Demikian penulis menyatakan pendapat yang kuat (tarjih), yakni
bolehnya memandang wanita yang dipinang adalah pendapat mazhab syafi’i,
hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Baginya boleh berbincang-bincang
sehingga mengetahui kelebihan yang ada pada wanita yang dipinang, baik secara
fisik, suara, pemikiran dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaannya
dan keinginan untuk melanjutkan pinangannya tersebut sampai perkawinan. Karena
apabila seorang laki-laki meminang wanita, laki-laki tersebut hanya melihat
wajah dan kedua telapak tangannya (wanita). Dan apabila terjadi suatu
pembatalan dalam pinangan itu, maka tidak akan ada yang dirugikan atau membuat
malu terhadap kedua belah pihak. Sebagaaimana Rasulullah berkata dalam
hadistnya.
“arwah adalah pasukan yang
terhimpun, apa yang dikenal dari padanya akan menjadi menyatu dan apa yang
dibenci dari padanya akan membuat bepisah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad).
Terkadang wanita yang dipinang tidak terlalu cantik, tetapi bukan
melihat hanya dari fisik saja melainkan baik sifat-sifat dan tingkah
lakunyadalam hal itu laki-laki dapat terpedanya karena sifat baik, akhlak, dan
kecerdasannya.[7]
[1] Depag RI.Al-qur’an
Dan Terjemahannya, h.54
[2]Ibn Hazm,
al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam (jilid I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah), h. 32.
[3] Ahmad Ibn
Hambal Abu Abdullah Asy-Syaibany, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal (Muasasah
Qurthabah : Kairo), h.334, Juz. 3
[4] HR. Abu daud
no. 2082 dihasankan Al-Imam Al- Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahiha no. 99.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Para hakim yang berkecimpung dalam
dunia peradilan terbagi menjadi tiga golongan yang berbeda, dua golongan
disebutkan akan menjadi penghuni neraka, dan satu golongan akan menjadi
penghuni surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman
berdasarkan kebenaran maka akan masuk ke dalam surga. hakim yang mengetahui
kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum berdasarkan kebenaran maka
kedudukannya adalah di neraka. Hakim yang
menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, ataupun
memutuskan tetapi tidak berdasarkan pengetahuannya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka.
Apabila hakim memutuskan sebuah
perkara maka terdapat larangan memutuskannya dalam keadaan marah/emosi. Hal itu
dianjurkan supaya keputusan yang diambil itu objektif, dan berlaku adil.
Seorang hakim yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu sebagai seorang
hakim, apabila memutuskan perkara kebenaran dan ketepatan penetapan hukum
terdapat dua balasan pahala dan di dalam proses pencarian kebenaran, meskipun
salah terdapat pula satu balasan pahala.
B. Kritik dan
Saran
Kedudukan hakim dalam lingkup
peradilan sangatlah urgen, karena hakim merupakan pertahanan terakhir dalam
penegakan hukum, memberikan pelayanan , kepuasan hukum terhadap masyarakat,
akan tetapi dalam tugasnya hakim seringkali bertindak tidak adil, karena ada
beberapa faktor, diantaranya kurangnya ilmu ataupun ada suatu sandiwara.
Diharapkan, para hakim yang
menjalankan tugas-tugasnya dapat bertindak adil dan sesuai dengan tuntutan
syariat. Agar penegakan hukum dapat berjalan sesuai yang kita harapkan.