Powered By Blogger

Sabtu, 21 Mei 2016

KEBOLEHAN MELIHAT TUBUH WANITA YANG DI PINANG MENURUT MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB AZH-ZHAHIRI


KEBOLEHAN MELIHAT TUBUH WANITA YANG DI PINANG MENURUT MAZHAB SYAFI’I DAN MAZHAB AZH-ZHAHIRI
A.    Kebolehan Melihat Anggota Tubuh Wanita Yang Dipinang Menurut Mazhab Syafi’i
Mayoritas ulama berpendapat bolehnya laki-laki memandang wajah dan kedua telapak tangan dari wanita yang dipinang, dan ia tidak diperkenankan memandang selain itu. Mereka beralasan pada sabda Rasulullah Saw:
عن عائشة رضي الله عنهما أن أسماء بنت أبي بكر دخلت على رسول الله صلى الله عليه  وسلم وعليها ثيا ب رقا ق فأعر ض عنها رسو ل الله صلى الله عليه وسلم وقال يا أسماء إن المرأة إذا بلغت المحيض لم تصلح أن يرى منها إلا هذا وأشار إلى وجهه وكفيه
Artinya: dari Aisyah ra, Asma’ binti Abi Bakar masuk ke rumah Nabi SAW. Sedangkan ia memakai pakaian yang sempit, Nabi berpaling daripadanya dan berkata : Hai Asma’ bila seorang perempuan telah haid tidak boleh terlihat kecuali ini dan ini” Nabi mengisyaratkan kepada muka dan telapak tanggannya. (HR. Abu Daud dan Baihaqi).
Mazhab Asy-Syafi’i, Imam Malik, dan Ahmad dalam salah satu pendapatnya mengatakan bahwa anggota tubuh wanita terpinang yang boleh dilihat wajah dan kedua telapak tangan. Adapun dalil mereka firman Allah SWT:
ولا يبدين زينتهن إلا ما ظهر منها.....
Artinya : Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa (nampak) dari mereka. (QS, An-Nur 31)[1]

B.     Kebolehan Melihat Anggota Tubuh Wanita Yang Dipinang Menurut Mazhab Az-Zhahiri.
Imam Dawud Al-zhahiri dan Ibn Hazm, seorang ulama tekstualis punya pendapat nyentrik, bahwa boleh melihat semua anggota badan perempuan kecuali alat kelaminnya, bahkan tanpa baju sekalipun. Alasannya hadist yang memperbolahkan melihat calon isteri tidak membatasi sampai dimana diperbolehkan melihat.
Dalam pendapatnya ia berkata
Artinya: “barang siapa yang ingin menikahi perempuan, perempuan merdeka, perempuan hamba maka ia boleh melihat secara terang-terangan atau tersembunyi, baik secara tersembunyi ataupun terlihat”.
Dalam masalah aurat wanita, Ibn Hazm mengatakan bahwa batas aurat perempuan hamba dan perempuan merdeka adalah sama dalam keadaan apapun, karena tidak ada teks syara’ yang otoritatif untuk membedakan antara perempuan hamba dan perempuan merdeka. maka sesungguhnya agama Allah itu satu, karakter dan tabiat juga satu, apa yang terdapat pada wanita yang merdeka dan budak, wanita adalah sama, sampai ada dalil yang membedakan antara keduanya, barulah kita bisa untuk menerimanya.
Sedangkan pendapat yang dikemukakan oleh Ibn Hazm, beliau mengatakan kebolehan untuk melihat seluruh tubuh wanita yang akan dipinang karena beliau mendasarkan pada hadist Nabi. Dalam memahami hadis diatas Ibn Hazm mengartikan kalimat “ما يد عوهitu masih mempunyai arti yang umum kepada tubuh ; baik itu muka, kaki, tangan, dan sebagainya yang bisa menarik peminang untuk menikahinya.
Dalam menafsirkan Al-qur’an maupun hadis Ibn Hazm ini menggunakan pendekatan secara dhahiriyah, yaitu apa yang tertulis dalam teks itu langsung dimaknai secara dhahir sesuai teks yang ada, berbeda dengan para jumhur ulama yang lebih kepada substansinya. Bahkan beliau menolak adanya qiyas karena menurut beliau sesuatu itu cukup dimaknai secara dhahir teks saja sudah dapat dipahani maknanya.[2]
Metode pendekatan dhahiriyah ini dipegang erat-erat oleh Ibn Hazm dalam menafsirkan sesuatu. Inilah yang membuat perbedaan dan karakteristik yang berbeda dengan ulama-ulama yang lain. Beliau memilih jalur pemahaman tekstualis dalam memahami syariat ini, bukan semata-mata karena taqlid kepada pendahulunya.
Imam Auza’i berpendapat bahwa laki-laki boleh berupaya malihat apa yang ia kehendeki untuk dilihat dari wanita yang dipinag kecuali aurat. Kedua ulama ini berikut dengan Imam Al-Auza’i berhujjah dengan kemutlakan hadist Rasullulah SAW berikut:
عن جا بر قا ل: قا ل رسول الله صلى الله عليه وسلم إذا خطب أحدكم المرأة  فإن اسطاع أن ينظر إلى ما يد عوه إلى ما يد عوه إلى نكا حها فليفعل (روه احمد)
Artinya : apabila salah seorang diantara kamu meminang seorang perempuan, sekiranya dia dapat melihat perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah (Riwayat Ahmad Dan Abu Daud).[3]
Mereka juga berpendapat dengan beralasan dengan sabda Nabi SAW berikut ini :
فا نظر إليها فإنه أحرى أن يؤ دم بينكما[4]
Artinya : “lihatlah perempuan itu agar kalian berdua bisa bergaul lebih langgeng”
            Maksud dari ungkapan ini, “bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya” dan “lihatlah perempuan itu “ bersifat mutlak (tidak terbatas).
C.    Asbabul Ikhtilaf.
Adapun asbab al-khilaf  antara Imam Syafi’i dan Imam Azh-Zhahiri dalam menetapkan pendapat mereka masing-masing menurut penulis adalah:
1.      adanya nas al-Qur’an yang menjelaskan tentang batas kebolehan melihat anggota tubuh wanita yang dipinang.
2.      Adanya perbedaan pandangan mereka terhadap kebolehan melihat anggota tubuh wanita yang akan dipinang.
3.      Adanya perbedaan batas yang membolehkan melihat anggota tubuh wanita yang akan di pinang.
Imam syafi’i hanya membolehkan melihat wajah dan kedua telapak tangan berdasarkan QS An-Nur ayat 31: Dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa (nampak) dari mereka.
Berkata Imam Syafi’i “dan apabila seorang (lelaki) hendak menikah perempuan maka yang boleh dipandangnya  dari perempuan itu hanyalah wajah dan kedua telapak tangannya saja. Sedangkan perempuan itu dalam kondisi tertutup (berpakaian) baik dengan izinya  ataupun tidak.
Jelaslah menurut Imam Syafi’i bahwa melihat pinangan tersebut hanya dilihat dari wajah dan kedua telapak tangan tersebut menandakan bahwasannya wanita tersebut benar-benar dalam keadaan mulia dan menjaga kehormatannya.
 Sedangkan Al-Auza’i mengatakan boleh melihat bagian yang dikehendaki. Adapun Ibn Hazm Azh-Zhahiri mengatakan “boleh melihat pada bagian depan atau belakang dari wanita yang hendak dilamarnya. Pendapat kedua dan ketiga di atas menyatkan boleh melihat anggota tubuh wanita yang dipinang dengan keseluruhan kecuali kemaluannya tersebut.
Dan dalil yang mereka pakai dengan kemutlakan hadis rasulullah sebagai berikut:
“Apabila salah seorang diantara kamu meminag seorang perempuan itu, hendaklah dilihatnya sehingga bertambah keinginannya pada pernikahan, maka lakukanlah.”
Dan mereka juga mengambil dari sabda Nabi SAW:
“lihatlah perempuan itu agar kalian berdua bisa bergaul lebih langgeng.” Maksud dari ungkapan ini, bila ia bisa melihat sesuatu dari padanya dan lihatlah perempuan itu bersifat mutlak (tidak terbatas).[5]
Pendapat Azh-Zhahiriyah diatas ditolak mayoritas ulama, karena pendapat mereka menyalahi ijma’ ulama dan menyalahi prinsip tuntutan kebolehan sesuatu karena darurat diperkirakan sekadarnya.[6]
Karena menurut penulis apabila manusia menggunakan pendapat mazhab Azh-Zhahiri akan menimbulkan suatu permasalahan dari wanita yang akan dipinang. Karena apabila ketika seorang laki-laki hendak meminang seorang perempuan, maka terlebih dahulu laki-laki tersebut melihat tubuh wanita tersebut baik dari segi kekurangan atau kelebihan yang dia miliki (wanita). Kemudian terjadi suatu permasalahan yang mana laki-laki tersebut membatalkan pinangannya terhadap wanita yang dipinang, maka wanita itu merasa disepelekan atau dirugikan. Karena wanita itu sudah menjadi cacat dalam artian dipermalukan. 
D.    Munaqasyah Adillah Dan Pendapat Yang Paling Rajih
Dari beberapa pendapat mengenai hal ini, terjadi perbedaan diantara kedua ulama diatas. Yang pertama, hanya sebatas wajah dan kedua telapak tangan, seperti yang dikatakan jumhur ulama. Pengertian dari pendapat kedua, melihat apa yang biasa terlihat dalam keadaan tidak mengenai tabir penutup (jilbab) atau melihat secara mutlak (tidak terbatas).
Dalam kebolehan melihat wanita yang dipinang jumhur ulama juga berpendapat : diperbolehkan melihatnya, jika ia menghendaki, tanpa harus meminta izin terlebih dahulu dari wanita yang hendak dilamar (secara sembunyi-sembunyi). Adapun menurut Imam Malik, dari sebuah riwayat yang disebutkan, bahwa beliau mensyaratkan adanya izin dari wanita tersebut. Dijelaskan juga oleh Ath-Thahawi dari suatu kaum, dimana disebutkan: bahwasanya tidak diperbolehkan melihat wanita yang hendak dilamar sebelum diadakannya akad nikah. Karena, pada saat itu wanita tersebut belum menjadi istrinya.
Demikian penulis menyatakan pendapat yang kuat (tarjih), yakni bolehnya memandang wanita yang dipinang adalah pendapat mazhab syafi’i, hanyalah wajah dan kedua telapak tangan. Baginya boleh berbincang-bincang sehingga mengetahui kelebihan yang ada pada wanita yang dipinang, baik secara fisik, suara, pemikiran dan segala isi hatinya agar tumbuh rasa kecintaannya dan keinginan untuk melanjutkan pinangannya tersebut sampai perkawinan. Karena apabila seorang laki-laki meminang wanita, laki-laki tersebut hanya melihat wajah dan kedua telapak tangannya (wanita). Dan apabila terjadi suatu pembatalan dalam pinangan itu, maka tidak akan ada yang dirugikan atau membuat malu terhadap kedua belah pihak. Sebagaaimana Rasulullah berkata dalam hadistnya.
“arwah adalah pasukan yang terhimpun, apa yang dikenal dari padanya akan menjadi menyatu dan apa yang dibenci dari padanya akan membuat bepisah.” (HR. Bukhari, Muslim, Abu Daud, dan Ahmad).
Terkadang wanita yang dipinang tidak terlalu cantik, tetapi bukan melihat hanya dari fisik saja melainkan baik sifat-sifat dan tingkah lakunyadalam hal itu laki-laki dapat terpedanya karena sifat baik, akhlak, dan kecerdasannya.[7]


[1] Depag RI.Al-qur’an Dan Terjemahannya, h.54
[2]Ibn Hazm, al-Ihkam Fi Ushul al-Ahkam (jilid I, Beirut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah), h. 32.
[3] Ahmad Ibn Hambal Abu Abdullah Asy-Syaibany, Musnad Imam Ahmad Ibn Hambal (Muasasah Qurthabah : Kairo), h.334, Juz. 3
[4] HR. Abu daud no. 2082 dihasankan Al-Imam Al- Albani rahimahullahu dalam Ash-Shahiha no. 99.
[5] Syaikh Kamil Muhammad Uwaidah, Fiqh Wanita (cet. 1,Jakarta : Al-Kautsar,1998), h.421
[6] Abd Al-Fatih Abi Al-Aynain,Al-Islam Wa Al-Usrah,h.130
[7] Abdul Aziz Muhammad Azzam & Abdul Wahhabsayyed Hawwas,Fiqh Munakahat, H13.
�!- h � 0� major-bidi'> 




















BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Para hakim yang berkecimpung dalam dunia peradilan terbagi menjadi tiga golongan yang berbeda, dua golongan disebutkan akan menjadi penghuni neraka, dan satu golongan akan menjadi penghuni surga. Hakim yang mengetahui kebenaran dan menetapkan hukuman berdasarkan kebenaran maka akan masuk ke dalam surga. hakim yang mengetahui kebenaran, tetapi tidak menetapkan hukum  berdasarkan kebenaran maka kedudukannya adalah di neraka. Hakim yang menetapkan hukum dengan benar secara kebetulan, ataupun memutuskan tetapi tidak berdasarkan pengetahuannya, maka dia terancam masuk ke dalam neraka.
Apabila hakim memutuskan sebuah perkara maka terdapat larangan memutuskannya dalam keadaan marah/emosi. Hal itu dianjurkan supaya keputusan yang diambil itu objektif, dan berlaku adil. Seorang hakim yang memiliki dan memenuhi persyaratan tertentu sebagai seorang hakim, apabila memutuskan perkara kebenaran dan ketepatan penetapan hukum terdapat dua balasan pahala dan di dalam proses pencarian kebenaran, meskipun salah terdapat pula satu balasan pahala.

B.     Kritik dan Saran
Kedudukan hakim dalam lingkup peradilan sangatlah urgen, karena hakim merupakan pertahanan terakhir dalam penegakan hukum, memberikan pelayanan , kepuasan hukum terhadap masyarakat, akan tetapi dalam tugasnya hakim seringkali bertindak tidak adil, karena ada beberapa faktor, diantaranya kurangnya ilmu ataupun ada suatu sandiwara.
Diharapkan, para hakim yang menjalankan tugas-tugasnya dapat bertindak adil dan sesuai dengan tuntutan syariat. Agar penegakan hukum dapat berjalan sesuai yang kita harapkan.




[1]Maftuh Ahnan Asy, Kumpulan Hadist-hadist Pilihan Sahih Bukhari, Surabaya : Terbit Terang, tt, h. 241.  
[2] Sayyid Sabiq, Fikih Sunnah 14,  Cet. 2, Bandung : Alma’arif, 1988, h. 20.

kadar susuan yang mengharamkan nikah

KADAR SUSUAN YANG MENHARAMKAN NIKAH
A.    Pendapat para ulama
Para ulama telah sepakat bahwa susuan juga mengharamkan nikah sebagaimana haram dengan sebab hubungan darah dan hubungan semuanja. Sesudah itu mereka berbeda pendapat mengenai berapa kadar susuan itu yang mengharamkan.
Ulama Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa baik banyak maupu sedikit sama saja tentang mengharamkan. Itu adalah pendapat kebanyakan Ulama Salaf dan Ulama Chalaf dan sati riwayat dari Imam Ahmad.
Satu golongan Ulama berpendapat bahwa yang mengharamkan itu adalah kadar tertentu, akan tetapi berbeda pendapat mengenai kadar itu. Abu Ubaid, Abu Tsaur, Daud Ad-Dhahiry dan Ibnu ‘I-Mundzir berbendapat bahwa satu kali atau dua kali menyusu tidak mengharamkan; yang mengharamkan ialah tiga kali atau lebih. Itu adalah riwayat dari Imam Ahmad. Kata yang lain, bahwa menyusu kurang dari lima kali berpisah-pisah, tidak mengharamkan. Itu adalah madzhab Syafi’i dan dhahir riwayat dari Imam Ahmad dan salah satu riwayat dari tiga riwayat Aisyah.
Riwayat yang kedua dari Aisyah, tidak haram kalau kurang dari tujuh kali, sedang riwayat ketiga dari dari padanya, tidak haram kalau kurang dari sepuluh kali susuan. Dan kami akan membatasi diri membahas dan membandingkannya mengenai yang bukan dua riwayat yang terakhir.
B.     Dalil dari Masing-masing Pendapat
    Abu ‘ubaid dan yang sependapat dengan dia mengambil dalil :Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Jama’ah kecuali Bukhori dari Aisyah bahwa Nabi SAW. Bersabda :  
اْلمَصَّتَانِ الْمَصَّةَ وَلاَ لاَتُحَرِّمُ
sekali menghisap dan dua kali menyusu tidak mengharamkan.
2.    Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Ahmad dan Muslim dari Ummi. ‘I-Fadlal bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Nabi SAW. Apakah sekali hisap dapat mengharamkan? Beliau menjawab :
والمصتان والمصة والرضعتان الرضعة تحرم لا لا
“Tidak; satu kali menyusu atau dua kali tidak mengharamkan dan juga sekali atau dua kali menghisap”
    Pada satu riwayat Ummi ‘I-Fadlal berkata : Seorang Arab dusun masuk kepada Nabi SAW. Waktu beliau dirumah saja, lalu ia berkata : Wahai Nabi Allah. Saya mempunyai seorang istri, kemudian sya mengawini istri yang kedua. Lalu istri saya yang pertama mendakwa bahwa ia pernah menyusui istri saya yang baru, satu kali susuan atau dua kali. Maka bersabda Rasulullah SAW :
“Sekali atau dua kali menyusui tidak mengharamkan”
    Mereka mengatakan : Hadits-hadits ini adalah sahahih, diriwayatkannya oleh orang-orang yang dapat dipercaya, dan hadist-hadist itu tegas menafikan haram pada susunan yang kurang dari tiga kali. Maka dengan demikian hadist-hadist ini adalah muqajjid kepada muthlaq menyusu yang terdapat dalam Firman Allah : Wa Ummahaatukum Al-laathi ardla’ nakum (dan ibu-ibumu yang telah menyusuimu) dan hadist-hadist yang serupa itu yang datang menqaidkannya dengan bukan sekali atau dua kali susuan, yaitu tiga kali atau lebih.
    Ulama Syafi’iyah mengambil dalil :
1.    Denagn hadist yang diriwayatkan oleh Muslim, Abu Daud dan Nasaaiy dari Aisyah bahwa ia berkata : Pernah turun dari Qur’an sepuluh kali susuan mengharamkan, kemudian dimansukhkan dengan lima kali. Lalu Rosulullah SAW. Wafat dan itu tetap dibaca dari Qur’an.
2.    Dengan hadist yang diriwayatkan oleh Malik dalam Muwattha’ dan oleh Ahmad, dari Aisyah bahwa ia berkata :
Bahwa Abu Hudzalifah mengambil Salim menjadi anaknya sedang ia adalah budak seorang wanita Anshar, sebagaimana mengambil Zaid menjadi anaknya. Pada masa Jahiliyah seorang yang mengambil anak, betul-betul orang memanggil anaknya dan menerima warisan sampai Allah SWT menurunkan ayat :
öNèdqãã÷Š$# öNÎgͬ!$t/Ky uqèd äÝ|¡ø%r& yZÏã «!$# 4 bÎ*sù öN©9 (#þqßJn=÷ès? öNèduä!$t/#uä öNà6çRºuq÷zÎ*sù Îû ÈûïÏe$!$# öNä3Ï9ºuqtBur 4 }§øŠs9ur öNà6øn=tæ Óy$uZã_ !$yJÏù Oè?ù'sÜ÷zr& ¾ÏmÎ/ `Å3»s9ur $¨B ôNy£Jyès? öNä3ç/qè=è% 4 tb%Ÿ2ur ª!$# #Yqàÿxî $¸JŠÏm§ ÇÎÈ  
5. Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu[1199]. dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[1199] Maula-maula ialah seorang hamba sahaya yang sudah dimerdekakan atau seorang yang telah dijadikan anak angkat, seperti Salim anak angkat Huzaifah, dipanggil maula Huzaifah.
    Oleh karena itu maka kembalikanlah sebutannya kepada ayah mereka ; dan orang yang tidak diketahui ayahnya, naka ia adalh sahabat karib dan saudara seagama. Maka datanglah Sahlah dan berkata : Wahai Rasulullah, Saya telah menganggap Salim sebagai anak saya, ia tinggal bersama saya dan bersama Abi Hudzaifah, dan dia senang tinggal bersama saya, sedang Allah telah menurunkan ayat mengenai itu, apa yang Anda sendiri sudah mengetahuinya. Maka bersabda Rasulullah :
الرضاعة من ولده بمنزلة فكان رضعات خمس ارضعيه
“Susuilah dia lima kali susuan, maka ia menjadi anaknya karena susuan “
Mereka (Ulama Syafi’iyah) berkata : Aisyah adalah yang paling mengetahui hukum masalah ini diantara umat Muhammad, sedang Aisyah apabila ingin memasukkan seseorang kepadannya, ia menyuruh salah seorang anak perempuan saudaranya untuk menyusuinya lima kali susuan. Ini amaliyahnya dan itu diriwayatkan dari padanya. Kedua-duanya tegas bahwa yang mengharamkan itu hanya tergantung pada lima kali susuan.
3.    Mereka mengambil dalil pula bahwa ma’na yang mengharamkan dengan seabab menyusu ialah subhat djuz-ijah yang terjadi dengan sebab susu yang menumbuhkan daging dan tulang. Sedang ini tidak terjadi dengan susuan yang sedikit: oleh karena itu maka menyusu sedikit tidak mengharamkan, sehingga untuk mengharamkan haruslahkembali kepada yang tersebut dalam hadist, yaitu lima kali susuan.
Ulama Djumhur mengambil dalil :
1.    Dengan Firman Allah SWT :
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé& öNä3è?$oYt/ur öNà6è?ºuqyzr&ur öNä3çG»£Jtãur öNä3çG»n=»yzur ßN$oYt/ur ˈF{$# ßN$oYt/ur ÏM÷zW{$# ãNà6çF»yg¨Bé&ur ûÓÉL»©9$# öNä3oY÷è|Êör& Nà6è?ºuqyzr&ur šÆÏiB Ïpyè»|ʧ9$# àM»yg¨Bé&ur öNä3ͬ!$|¡ÎS ãNà6ç6Í´¯»t/uur ÓÉL»©9$# Îû Nà2Íqàfãm `ÏiB ãNä3ͬ!$|¡ÎpS ÓÉL»©9$# OçFù=yzyŠ £`ÎgÎ/ bÎ*sù öN©9 (#qçRqä3s? OçFù=yzyŠ  ÆÎgÎ/ Ÿxsù yy$oYã_ öNà6øn=tæ ã@Í´¯»n=ymur ãNà6ͬ!$oYö/r& tûïÉ©9$# ô`ÏB öNà6Î7»n=ô¹r& br&ur (#qãèyJôfs? šú÷üt/ Èû÷ütG÷zW{$# žwÎ) $tB ôs% y#n=y 3 žcÎ) ©!$# tb%x. #Yqàÿxî $VJŠÏm§ ÇËÌÈ  
23. diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan[281]; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), Maka tidak berdosa kamu mengawininya; (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan menghimpunkan (dalam perkawinan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau; Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

[281] Maksud ibu di sini ialah ibu, nenek dan seterusnya ke atas. dan yang dimaksud dengan anak perempuan ialah anak perempuan, cucu perempuan dan seterusnya ke bawah, demikian juga yang lain-lainnya. sedang yang dimaksud dengan anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu, menurut jumhur ulama Termasuk juga anak tiri yang tidak dalam pemeliharaannya.
Firman ini menggantungkan haram dengan menyusui tanpa menentukan kadar tertentu. Bagaimana saja terjadi penyusuan, maka terkenalah hukum itu.
2.    Dengan hadist yang diriwayatkan dari ‘Uqbah bin Al-Harist, bahwa ia mengawini Ummu Jahja binti Abi Ilhab. Maka datang seorang budak hitam mengatakan : Saya telah menyusukan kamu berdua. ‘Uqbah berkata : Maka saya menceritakan hal itu kepada Nabi SAW lalu beliau berpaling dari saya. Saya menyusui beliau dan menyebutkan hal itu lagi, lalu beliau bersabda :
ارضعتكما قد انها زعمت وقد كيف
“Bagaimana,sedang budak itu sudah mendakwa bahwa ia sudah menyusukan kamu berdua”
    Maka beliau melarangnya mendekati Ummu Jahja. Beliau memerintahkan ‘Uqbah untuk meninggalkan Ummu Jahja dan melarangnya mendekati, karena semata-mata pemberitaan budak itu bahwa kedua orang itu susunan tanpa minta penjelasan berapa kali dan bagaimana tjaranja.
Para Ulama mengatakan :
المقال عموم منزلة ينزل الاحوال فى الإستفصال ترك ان
“Sungguh meninggalkan minta penjelasan dalam sesuatu hal ditempatkan pada tempat pembitjaraan yang umum”
3.    Dengan atsar-atsar yang diriwayatkan dari para sahabat. Telah diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas’ud dan Ibnu Abbas bahwa mereka itu berkata : Susuan yang sedikit dan yang banyak adalah sama. Dan diriwayatkan dari Ibnu Umar ia berkata : Satu kali susuan adalah mengharamkan. Dan diriwayatkan bahwa Ibnu Umar tatkala sampai berita kepadanya bahwa Abdullah Ibnu Zubair mengatakan : “Sekali susuan dan dua kali susuan tidak mengharamkan”. Ibnu Umar berkata : “Hukum Allah adalah lebih baik dari hukum Ibnu Zubair”. Lalu beliau membaca ayat tersebut. Dan tatkala sampai berita kepadanya bahwa Aisyah mengatakan : “sekali hisap dan dua kali hisap tidak mengharamkan; Ibnu Umar berkata ;Hukum Allah adalah lebih utama dan lebih baik dari hukum Aisyah.”
4.    Bahwa menyusu adalah perbuatan yang tergantung padanya haram nikah, maka tentulah sama saja antara sedikit dan banyak, seperti juga persetubuhan yang mengakibatkan haram. Itu disebabkan karean Syara’ menggantungkan hukum dengan hakikat, terlepas dari syarat berulang-ulang dan banyak kali : Bilamana hakikat itu sudah terwujud, maka hukum itupun datang.
Kemudian mereka berkata : bahwa rasio yang mengharamkan nikah karena susuan, walaupun pada hakikatnya ialah bagian yang terjadi dengan berubah makanan kepada daging dan tulang, akan tetapi itu merupakan hal yang tersembunyi, tidak nampak. Dan yang ma’ruf pada syara’ ialah menggantungkan hukum dengan sifat-sifat yang nyata dan mempunyai tanda-tanda. Maka hukum tidak bergantung pada Djuzijah disini karena tersembunyinya, tetapi hanya bergantung pada menyusui karena jelas dan nyata. Bandingannya ialah digantungkan wajib mandi pada bersetubuh dan menggantungkan rukhsah shalat ada safar.
    Ketika Ibnu ‘Abbas ditanyai tentang apakah sekali susuan dapat mengharamkan? Beliau menjawab :
حرم فقد الصبى عقى اذا
Apabila susuan itu mengeluarkan tahi mula jadi, maka itu mengharamkan
    Perkataan ‘aqju adalah nama benda yang keluar dari perut bayi waktu dilahirkan apabila susu sampai kedalam perutnya.
Orang mengatakan :
صبيكم عقيتم
Anda telah memberi minum bayi anda supaya keluar tahinya.
    Dan tahi itu tidak keluar kecuali apabila susu berjalan kedalam perutnya. Maka ini menunjukkan bahwa yang diperhitungkan ialah sampainya susu kedalam perut. Dan disini diperjelaslah cara menafsirkan hadist-hadist itu sebagai yang telah disebutkan.
    Dan dikatakan kepada Ulama Syafi’iyah : Bahwa pada hadist Aisyah yang pertama ada idlthirab dan inqitha’ dari segi ma’naya. Adapun idlthirabnya ialah :
Menurut riwayat Muslim, Abu Daud dan Nasaaiy dan riwayat Muslim yang kedua, hadist itu berbunyi :
ت معلوما خمس ايضا نزل ثم تمعلوما عشررضعات القران فى نزل
Dan pada riwayat yang ketiga oleh Tarmidzy :
معلومات رضعات خمس الى رضعات خمس ذلك من فنسخ رضعات عشر القران فىلانز ذلك والأمرعلى وسام عليه الله صلى اللهرسول فتوفي
Dan pada riwayat keempat oleh Ibnu Maadjah :
اوخمس الاعشررضعات يحرم لا سقط ثم القران من عزوجل الله انزل فيما ن كا معلومات
    Riwayat yang pertama menunjukkan bahwa haram dengan lima susuan, tetap dibaca sesudah wafat Rasulullah, sedang riwayat Ibnu Majah menunjukkan nasakh yang disebutkan dengan gugur, sebagaimana juga hadist ini menunjukkan bahwa hukum sepuluh dan lima kali susuan turun sekaligus dalam satu kalimat kemudian kedua-duanya gugur bersama-sama oleh karena hadist lain menunjukkan bahwa hukum sepuluh susuan turun duluan, kemudian baru turun hukum lima susuan sebagai yang memansuchkan terhadap yang lebih dari lima. Dan hal semacam itu adalah idlthirab yang melemahkan hadist dan menghilangkan fungsinya sebagai dalil.
    Jika orang mengatakan bahwa yang rajih adalah riwayat yang bukan riwayat Ibnu Maadjah, yaitu bahwa yang sepuluh turun duluan kemudian dimansuchkan dengan turun yang lima dan yang lima itu tetap sampai Rasul wafat (Wa Hunna fiimaa juqra-u minal Qur’an), kami mengatakan : Bagaimana mungkin itu, sedang batjaan itu tidak tsabit dalam Qur’an? Apakah ini bukan merupakan pendapat yang mengatkan bahwa ada sesuatu yang hilang dari ayat Qur’an sesudah Nabi wafat? Kita berlindung dengan Allah dari pada ini dan mencari-cari jawaban itu.
    Berkata Ibnu ‘I-Qaijjim dalam kitabnya Zaadu ‘I-Ma’aad :
Bacaan itu adalah Qur’an yang tidak mutawatir dan lafadnya sudah dimansuchkan dan hukumnya masih tetap, sebagai juga Firman-Nya :
فارجموهما اذازنيا والشيخة الشيخ
    Termasuk diantaranya yang cukup dinukilkan dengan tingkat Aahaad, dan hukumnya adalah tsabit. Adapun perkataan ‘Aisyah : “Maka wafatlah Rasul sedang ayat-ayat itu masih dibaca “, itu dimaksudkan ialah karena dekat masa nasakhnya dengan masa Rasulullah, maka orang-orang yang belum mengetahui nasachnya, masih membaca ayat-ayat itu.
    Ini adalah ta’wil yang jauh yang tidak dibantunya oleh lahir riwayat. Kalaupun kita terima ta’wil itu dan kita mengatakan bahwa itu lebih baik dari pada dakwaan ada sesuatu yang hilang dari Al-Qur’an atau bahwa itu tidak mutawatir sehingga tidak dicantumkan dalam Al-Qur’an, maka itu menunjukkan mansuch seluruhnya, bukan nasach mengenai sebagian sebagaimana mereka katakan. Dan pendapat yang mengatakan mansuch lafad dan hukumnya tetap, itu memerlukan dalil, karena yang asal ialah bahwa menasachkan sesuatu yang menunjukkan, tentu menghilangkan hukumnya juga. Berdasarkan kata Alkamal : Adapun bandingannya :
فارجموهما اذازنيا والشيخة الشيخ
Kalau tidak ada Sunnah dan ijma’, tentu itupun tidak tsabit
Adapun hadist salim maka Muslim disana tidak menyebut bilangan, sedangkan Ulama Syafi’iyah yang berdalil dengan hadist itu berpendapat bahwa yang mengharamkan ialah lima kali susuan yang mengenyangkan, pada hal tidak masuk akal seorang perempuan menyusui orang laki-laki dapat mengenyangkannya. Al-Kamal berkata : Karena laki-laki tidak akan kenyang dengan sekali atau dua kali susu. Maka dari mana seorang perempuan memperoleh susunya yang dapat mengenyangkan seorang laki-laki? Ini adalah mustahil menurut adat. Tetapi yang masu akal ialah bahwa bilangan lima itu, adalah lima kal hisap.
Kemudian ia berkata : Mana boleh orang laki-laki itu menyentuh aurat perempuan dengan dua bibirnya. Barangkali yang dimaksudkan, perempuan itu memerah susunya untuk orang-orang laki-laki itu sekedar lima kali hisap, lalu diminumnya.
Kemudian lagi itu mengenai menyusu laki-laki dewasa, padahal telah shahih bahwa menyusu orang dewasa tidak menjadikan haram nikah. Dalam kitab Muwattha’ dan dalam Sunan Abu Daud dari Jahja bin Said bahwa seorang laki-laki bertanya kepada Abu Musa Al-Asy’ary katanya : Saya telah menghisap susu dari tetek istri saya dan susu itu telah masuk perut saya. Abu Musa menjawab : Saya berpendapat bahwa istri anda sudah haram kepada anda. Maka berkata Abdullah Ibnu Mas’ud : Tinjau kembali yang telah anda muftikan kepada orang itu.
Abu Musa bertanya : Bagaiman pendapat Tuan ?
    Abdullah menjawab : Tidak ada susuan kecuali dalam umur dua tahun, Berkata Abu Musa : Jangan tanya lagi kepada saya selama khabar ini ada dikalangan Saudara-saudara.
Tersebut dalam dua kitab Shahih dari ‘Aisyah sendiri bahwa Rasulullah SAW bersabda :
عة المجا من عة الرضا انما
Hanya ada susuan karena kelaparan
    Dan berita bahwa Aisyah r.a , apabila ingin mengijinkan sesorang masuk kerumahnya, ia memerintahkan salah seorang kerabatnya untuk menyusui orang itu, adalah berita yang tidak sesuai dengan kesutjian Aisyah r.a dan dengan kedudukannya mengenai Agama yang mencegahkan mencari-cari  helah, sedang dia pulalah yang meriwatkan Sabda Nabi kepadanya :
عة المجا من عة الرضا انما اخوانكم من انظرن
Lihatlah kepadanya saudamu. Hanya susuan dari kelaparan.
    Dan orang yang menerima kisah salim, berpendapat bahwa itu suatu dispensasi kepada Sahlah Chusus, mengingat karena ia besar dikalangan keduanya dan suadah datang penegasan begitu dari lidah Ummahaati ‘I-Mu’miminin (istri-istri Nabi). Dan yang jelas ialah tidak haram dengan kurang dari satu kali susuan, karena yang mengharamkan menurut nash Qur’an ialah menyusu, dan menyusu itu hanya ada dengan satu kali susuan. Satu kali susuan ialah si bayi mengambil tetek dan melepaskanya sampai ia kenyang, bandingkan ia makan, tidur, dan yang serupa dengan itu. Dengan demikian ayat Qur’an itu adalah Mutlaq mengenai menyusu, baik sedikit maupun banyak, dan hadist-hadist mengenai satu kali hisab adalah sesuai dengan mutlaq ini, karena itu belum sampai satu kali susuan.

Kata Ibnu ‘I-Araby : Malik dan Abu Hanifah berpendapat mengambil mutlaq Qur’an, dan itulah yang betul, karena itu beramal dan berpegang pada umum Qur’an. Hal itu dikuatkan lagi bahwa pesoalan ini dalam bidang mengharamkan budlu’ dan memelihara kehormatan, maka wajiblah berpendapat begitu bagi orang berpendapat umum. Wallahu a’lam.